”Gunung” Nuggets, ”Pantai” Heat, dan Puncak Everest
Keuntungan kandang Nuggets di dataran tinggi dan kandang Heat di area pantai masih menjadi tanda tanya. Jawabannya ada di ujung final NBA.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Sembilan tahun lalu, megabintang NBA, LeBron James, pernah mencicipi bagaimana rasanya neraka di bumi. Dia datang bersama Miami Heat ke markas San Antonio Spurs untuk menjalani laga pertama final 2014. Pemain berjuluk ”raja” itu tampil habis-habisan, sampai akhirnya menyerah sebelum laga usai.
James ditarik di awal kuarter keempat. Kaki kirinya keram, tidak bisa bergerak lagi. Semua itu diakibatkan pendingin ruangan AT&T Arena yang mati di tengah laga. Arena berubah bagai ”oven manusia”. Kata James, dia baru merasakan udara sepanas itu di lapangan untuk pertama kali.
Pengalaman itu membuktikan, begitu banyak faktor yang memengaruhi laga NBA. Salah satu dan yang sangat krusial adalah kondisi di dalam arena, dari suhu, kelembaban, hingga kadar oksigen. Bahkan, pemain dengan level kondisi fisik terbaik di NBA, seperti James, bisa menjadi korban.
Kisah James dan kondisi arena kembali relevan di final NBA 2023. Kedua tim, Denver Nuggets dan Miami Heat, terpisah bagai bumi dan langit. Markas Nuggets, Ball Arena, berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Markas Heat, Kaseya Center, nyaris setara permukaan laut.
Karena itu, laga kandang diprediksi jadi pemisah terbesar masing-masing tim. Terutama Nuggets. Denver dijuluki ”Mile High City” atau kota yang berada satu mil di atas laut. Di dataran tinggi itu, tekanan udara lebih rendah. Manusia cenderung lebih sulit bernapas dan bisa lebih mudah lelah.
”Jumlah oksigen di Denver sama dengan di Miami. Yang berbeda adalah tekanan barometrik di Denver lebih rendah sehingga Anda mendapatkan lebih sedikit oksigen untuk disuplai ke otot,” kata Randy Wilber, ahli fisiologi olahraga senior Komite Olimpiade & Paralimpiade Amerika Serikat.
Masalah pernapasan dan ketinggian Denver bukan mitos. Saking serius, situs resmi Pemerintah Kota Denver sampai membuat tips khusus. Mulai dari minum air lebih banyak, mengonsumsi makanan dengan kandungan potasium, sampai mengurangi intensitas olahraga sebesar 40 persen.
Pemain veteran Nuggets, Jeff Green, bahkan masih kesulitan beradaptasi di Ball Arena setelah bermain selama dua musim. Dia pernah bermain di 11 tim dalam 15 musim, tetapi tidak pernah mengalami problem serupa di tempat lain. ”Terkadang ketika tidak mendapat kesempatan berlatih (sebelum laga), kami masih merasakannya.”
Keuntungan itulah yang begitu dimanfaatkan Nuggets sejak lama. Menurut ESPN, Nuggets adalah tim dengan disparitas tertinggi antara rekor kemenangan kandang (65,2 persen) dan tandang (35 persen). Sebelum seri final musim ini, Nikola Jokic dan rekan-rekan mencatat rekor sempurna dalam playoff di Ball Arena, delapan kali menang tanpa kalah.
Nuggets menyadari, kondisi fisik para pemainnya akan lebih unggul di ketinggian. Mereka pun memeragakan permainan cepat. Sebagai konteks, mereka adalah tim dengan catatan fast break point atau poin dari serangan kilat terbanyak sepanjang playoff (18,1 kali) di kandang.
Puncak Everest
Keunggulan kandang Nuggets berbicara di laga pertama ketika menang 104-93, tetapi tak terbukti di laga kedua. Heat merampok satu gim lewat keunggulan tipis 111-108. Heat untuk pertama kalinya menang di kandang Nuggets sejak November 2016.
Dari sisi teknis, banyak faktor pendukung kemenangan Heat. Misalnya, mereka mengeksekusi bola nyaris sempurna di kuarter keempat. Akurasi tembakan Jimmy Butler dan rekan-rekan mencapai 68,8 persen atau tertinggi ketiga dalam sejarah playoff 25 musim terakhir. Rencana transisi Nuggets pun berantakan.
Dari sisi lain, Heat mungkin lebih siap menghadapi kondisi Ball Arena. Mereka sudah berada di Denver selama enam hari saat laga kedua berlangsung. Pada laga pertama, mereka minim adaptasi dan masih kelelahan setelah bertarung dalam seri 7 gim versus Bolton Celtics.
Jumlah oksigen di Denver sama dengan di Miami. Yang berbeda adalah tekanan barometrik di Denver lebih rendah s ehingga Anda mendapatkan lebih sedikit oksigen untuk disuplai ke otot.
Pelatih Heat Erik Spoelstra tidak percaya dengan keunggulan tak kasatmata itu. Dia sudah berkata sebelum laga pertama, hal terpenting adalah kesiapan para pemain dari sisi mental dan fisik. ”Pemain kami dalam kondisi terbaik dan siap bersaing. Jika Denver ingin di puncak Everest pun akan kami lakukan,” ujarnya.
Terbukti, Heat memang lebih siap pada laga kedua, terutama dari sisi mental. Wajar saja. Mereka dipimpin Butler, sosok yang dipercaya sebagai pemain dengan mentalitas terkuat di NBA setelah mendiang Kobe Bryant. Belum lagi, mereka diperkuat tujuh pemain berstatus undrafted yang selalu senang jika diragukan.
Desember lalu, Heat juga pulang dengan kemenangan atas Spurs. Laga itu berlangsung di Mexico City yang berada di 2.240 mdpl. Butler berkata, tidak ada persiapan lebih. Mereka hanya mendengar musik, minum anggur, dan bermain kartu. Kuncinya adalah menikmati laga.
Pelatih Nuggets, Michael Malone, mengakui kekalahan mental di awal seri final. Menurut dia, anak asuhannya juga belum mencapai level energi tertinggi di laga pertama meskipun menang. ”Intensitas dan energi kami belum di sana. Kami bisa berbicara banyak kesalahan, tetapi yang utama adalah intensitas. Kami tidak bermain seperti di final,” ujarnya.
Dua laga berikutnya akan berlangsung di Kaseya Center dengan laga ketiga pada Kamis (8/6/2023) WIB. Arena itu berada di pesisir pantai Miami yang terkenal di seluruh dunia. Adapun suhu di Miami bisa 10 derajat celsius lebih tinggi ketimbang Denver, juga lebih lembap.
Meskipun begitu, Spoelstra masih tidak percaya keuntungan kondisi di dalam arena akan memihak timnya kali ini. Kecuali, pendingin udara dimatikan. ”Kami bisa saja mematikan pendingin udara agar mereka bermain di suhu 30 derajat (celsius) yang lembap. Itu akan ’menghilangkan’ kaki mereka,” ujarnya dengan nada bercanda. (AP/REUTERS)