Indonesia dan Kamboja bukan sekadar negara tetangga. Lebih dari itu, keduanya memiliki jejak peradaban erat sejak ribuan tahun silam. Saat ini pun, tak sedikit orang Indonesia yang tinggal dan hidup di Kamboja.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO dari Phnom Penh, Kamboja
·4 menit baca
Jika suatu hari Anda melancong ke Kamboja, tidak usah khawatir bakal kesulitan menemukan makanan yang ramah di lidah. Beberapa orang Indonesia yang hidup di negara seribu candi itu membuka rumah makan yang menyajikan masakan Indonesia. Mulai dari masakan Bali, masakan Padang, hingga masakan Jawa ada di Kamboja.
Firdaus (58), pemilik rumah makan Warung Bali, tak jauh dari Royal Palace di Phnom Penh, Kamboja, adalah salah satunya. Ia sudah 30 tahun tinggal di Kamboja sejak ia masih berusia 28 tahun. Saat itu, pria asal Karawang, Jawa Barat, itu bekerja di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia sebagai kepala dapur, kemudian ia bisa membuka usaha rumah makan sendiri.
Meski kerap pulang ke Karawang, Firdaus mengaku senang tinggal di Phnom Penh. Alasannya tidak hanya kecocokan budaya dan tradisi, tetapi juga karena karakter orang-orangnya. Bahkan ia memiliki setidaknya empat karyawan warga Kamboja yang membantunya memasak dan menyajikan makanan Indonesia maupun makanan khas Kamboja. Semua karyawannya itu kini bisa berbahasa Indonesia cukup baik.
Sudah lama bekerja di sini jadi saya percaya, mereka juga percaya sama saya.
”Sudah lama bekerja di sini jadi saya percaya, mereka juga percaya sama saya,” kata Firdaus saat ditemui di rumah makan miliknya, Jumat (12/5/2023).
Meskipun nama warungnya menggunakan nama Bali, menu masakan yang ada sebagian merupakan masakan yang banyak ditemukan di Indonesia, seperti ayam geprek, gado-gado, sate, semur, dan nasi goreng.
Masakan Kamboja juga punya kemiripan seperti masakan Indonesia, seperti lap khmer. Masakan ini merupakan olahan daging sapi yang diiris tipis lalu direndam perasan jeruk nipis dan beragam rempah dan cabai. Masakan ini mirip sekali masakan suku Dayak yang bernama kandas di mana lauk dicampur dengan rempah dan cabai lalu ditumbuk kasar.
Di Museum Sosoro, Phnom Penh, terdapat relief bergambar perempuan yang sedang memanen hasil bumi, mulai dari padi hingga jagung. Relief ini menunjukkan bahwa ada kesamaan makanan utama orang Kamboja dan Indonesia. Lauknya juga mirip, yaitu ikan dan daging.
Bicara bahasa Indonesia
Tak hanya soal makanan, orang Kamboja juga bisa berbahasa Indonesia walaupun sepotong-potong untuk kepentingan berdagang. Seperti saat masuk di Central Market, Phnom Penh, Kamboja, beberapa pedagang mengerti beberapa kata bahasa Indonesia seperti ”beli satu…beli satu” sambil menunjukkan kaus khas Kamboja atau baju tradisional Kamboja.
Orang Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Kamboja juga sering berbelanja di tempat itu sehingga para pedagang pasar merasa perlu bisa berbicara menggunakan bahasa para pembelinya.
Kemampuan berbicara bahasa Indonesia itu juga berkat jasa seorang pedagang yang merupakan orang Indonesia. Pedagang itu banyak membantu mereka melatih bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Namun sayang, pedagang yang tak diketahui namanya itu sudah kembali ke Indonesia.
Selain belajar dari pasar, sejumlah orang Kamboja juga bisa berbahasa Indonesia karena begitu banyak orang Kamboja yang datang ke Pulau Galang, Kepulauan Riau, sekitar tahun 1979-1996 sebagai pengungsi.
Mereka berasal dari Kamboja dan Vietnam yang disebut sebagai ”manusia perahu”. Mereka berlindung di Indonesia karena saat itu negara mereka dilanda perang saudara.
Kedekatan ribuan tahun
Kedekatan Indonesia dan Kamboja bukan hanya di zaman ini atau terkait kuliner dan bahasa saja, tetapi sudah sejak ribuan tahun silam. Pertautan antara Indonesia dan Kamboja itu bisa dilihat di Provinsi Siem Reap sekitar tujuh jam perjalanan dari Phnom Penh, ibu kota Kamboja.
Di wilayah yang berbatasan dengan Thailand itu dibangun kompleks candi Angkor Wat dengan luas lebih kurang 162 hektar. Candi ini merupakan kompleks keagamaan terbesar di dunia dan menjadi warisan dunia.
Shonmea Seng, pustakawan Museum Sosoro, di Phnom Penh, menjelaskan, candi itu dibangun di era Raja Jayavarman II yang pernah tinggal di wilayah Jawa sebelum membangun Angkor Wat. Jayavarman kemudian meneruskannya pada Indravarman I, lalu ke Yasovarman I, Suryavarman I, hingga akhirnya membentuk Kerajaan Khmer yang sampai hari ini masih berdiri.
Jayavarman II sebelumnnya tinggal di Pulau Jawa di bawah Dinasti Sailendra. Seperti dikutip dari Bernarn P Groslier dalam bukunya, Indocina (2007), Jayavarman I, pendiri Kerajaan Khmer, pulang ke Kamboja menjelang tahun 790 Masehi. Kemudian pendirian Kerajaan Khmer dimulai dari kompleks kota dan candi Hindu Angkor Wat yang dipengaruhi budaya Jawa dan keinginan untuk meniru candi-candi di Jawa, seperti Prambanan dan Borobudur, yang dibangun terlebih dahulu. (Kompas, 6 Oktober 2019).
Beberapa relief di Angkor Wat juga memiliki nuansa Jawa. Tak hanya Angkor Wat, beberapa candi lainnya di Kamboja juga memiliki nuansa serupa.
Dengan sejarah panjang pertautan peradaban dua negara itu bisa dilihat bahwa Indonesia punya jejak mendalam di Kamboja. Keduanya juga terus menjalin kerja sama di wilayah sebagai anggota ASEAN. Orang Indonesia tak perlu ragu untuk berwisata tanpa risau soal makanan maupun budaya Kamboja.