Kenangan Bersama David Jacobs, Peraih Medali Paralimpiade
Meninggalnya David Jacobs, petenis meja paralimpiade andalan Indonesia, menyisakan luasnya bentangan kenangan. Dia sumber inspirasi bagi banyak kalangan, terutama dunia olahraga disabilitas.
Oleh
ADI PRINANTYO
·3 menit baca
”Mas, kita baru ngomongin Syabda pas ketemu. Syabda meninggal, Mas. Kecelakaan.” Itu pesan David Jacobs, petenis meja paralimpiade andalan Indonesia, 20 Maret lalu, kepada saya, seiring meninggalnya Syabda Perkasa Belawa, pebulu tangkis kita kala itu. Sebelum 20 Maret itu, David bersama istrinya, Jeanny Palar, sarapan bersama di Soto Gading, Surakarta, Jawa Tengah, pada 11 Maret.
Sabtu, 11 Maret 2023, itu saya berada di Surakarta setelah malam sebelumnya menyaksikan konser Deep Purple di Edutorium Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta. Seperti pesan David: ”Kalau pas di Solo, kabari saya, Mas. Nanti kita ketemu. Bisa ngopi atau sarapan bareng,” kata David, yang pada Jumat (28/4/2023) pagi meninggal. Beberapa tahun terakhir, David lebih banyak tinggal di Surakarta seiring pelatnas paralimpiade yang menurut dia lebih efektif di ”Kota Bengawan”. Namun, dia masih sering pergi-pulang Jakarta-Surakarta untuk berbagai keperluan, semisal mengurus visa untuk persiapan tampil di luar negeri.
Saya terbiasa berbagi kisah dengan David, yang saya kenal sejak 2005, sebelum perhelatan SEA Games Manila 2005, saat dia termasuk skuad tim putra tenis meja. Dia kerap bercerita tentang aktivitasnya saat ini, yang didominasi persiapan dan latihan jelang berlaga di kejuaraan. Saya kadang berbagi informasi soal media dan topik yang dia sering tanyakan: politik, terutama soal elektabilitas capres. Soal yang terakhir ini biasanya saya jawab dengan data Survei Litbang Kompas.
Sabtu pagi itu, jadilah kami bertiga ngobrol: saya, David dan Jeanny. ”Soto Gading ini pasti ramai, Mas. Minumnya teh kampul, enak,” ujar David. Teh kampul sebutan untuk teh panas dengan sepotong jeruk, mirip lemon tea. Obrolan soal politik bergulir di tengah-tengah sarapan. Selepas menyantap soto, David banyak disapa tukang-tukang parkir di sekitar Soto Gading. Itu bukti betapa David rendah hati.
Di sepanjang jalan dari Soto Gading di kawasan Pasar Kliwon hingga hotel saya di Laweyan itulah muncul obrolan terkait bulu tangkis Indonesia. Salah satunya seputar nomor tunggal putra yang belum bisa setangguh ganda putra. ”Tunggal putra kok masih belum konsisten ya, Mas? (Anthony) Ginting dan Jojo (panggilan Jonatan Christie), gimana ya?” katanya.
Saya menjawab, ”Harus dibiasakan bermain di level setara dengan Viktor Axelsen dan konsisten di situ, baru deh bisa diandalkan. Kayak kamu, Vid. Kamu kan enggak mau levelmu turun, sampai-sampai latihan aja nambah-nambah.” Bermula dari situlah saya menyebut punya harapan terhadap Syabda Perkasa Belawa. ”Lihat mainnya Syabda, sepertinya prospektif, Vid. Semoga benar-benar jadi andalan kita ya,” ujar saya diiyakan David, yang pada Senin (1/5/2023) ini akan dimakamkan.
Kenyataan berikutnya sangat getir dan menyedihkan. Syabda telah pergi karena mengalami kecelakaan, tak lama setelah kami perbincangkan. Tak hanya itu, David pun meninggal pada Jumat (28/4/2023). Buat saya, kehilangan David lebih dari sekadar kehilangan narasumber, tetapi sudah menjadi kawan, bahkan kerabat dekat.
Lebaran yang baru lalu, saat saya mudik di Surakarta, saya juga menyapanya via aplikasi percakapan. ”Mas di Solo?” jawab David sembari beberapa detik kemudian mengirim ucapan selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir-batin. Saya jawab, ”Iya, di Solo,” berlanjut dengan ”Maaf lahir-batin juga, Vid, atas salah ucap dan sikap selama ini.” Dia menjawab, ”Ok, Mas. Terima kasih,” dan itu ternyata menjadi pesan terakhirnya.