Pertemanan dengan David Jacobs Sejak dari Pelatnas di Guangzhou
Sifat rendah hati dan respek kepada orang lain membuat David Jacobs selalu dikenang, termasuk oleh Dustamat, pelatih yang pertama memolesnya.
Oleh
ADI PRINANTYO
·3 menit baca
Pertemanan dengan David bermula dari penugasan saya untuk meliput Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Tenis Meja di Guangzhou, China, pada 2005, jelang SEA Games Manila 2005. Kala itu, tim kecil wartawan dari Indonesia, salah satunya saya, berkunjung ke Guangzhou dipimpin Deddy K Wikanta (juga sudah almarhum), kala itu Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PTMSI.
David termasuk skuad tim tenis meja putra, antara lain bersama Moh Hussein, Reno Handoyo, dan Yon Mardiono, dengan pelatih kepala Tonny Meringgi (alm). Waktu itu, saat masih berkarier di jalur umum (bukan paralimpiade), David diandalkan di ganda putra, berpasangan dengan Yon Mardiono. Tim ini kala itu meraih medali emas tunggal putra melalui Moh Hussein. Ketua Umum PTMSI Dato Sri Tahir lalu memberikan bonus pribadi Rp 500 juta kepada Hussein.
Komunikasi dengan David termasuk salah satu yang masih intensif sejak pertemuan pada 2005. Sikapnya yang serba terbuka dan rendah hati membuat setiap obrolan selalu mengalir, ringan, tanpa beban. David selalu memperlihatkan bahwa dalam setiap pertemuan, dia hadir tanpa kepentingan. Memang hanya bertemu sebagai teman, sebagai sesama manusia. Bahwa kemudian ada manfaat di ujung pertemuan, itu bonus semata.
Tanpa terasa, dari David saya mempelajari bagaimana seorang difabel tumbuh dan mengatasi problem masa kecilnya. Dia bercerita bagaimana semasa kecil sering diejek teman-temannya, karena gangguan fungsional di tangan kanannya sejak lahir. Setelah dia menemukan dunianya melalui tenis meja dengan mengoptimalkan tangan kirinya, diskriminasi pun belum berhenti.
Dalam berbagai kesempatan, tak sedikit pelatih yang menolak David karena dianggap sulit berkembang seiring disabilitas tangan kanannya. Di tengah situasi kurang mendukung itu, saya bertemu beberapa sosok penting dalam karier David. Ayahnya Jan Jacobs (alm), pelatihnya semasa kecil di Semarang, Dustamat, dan Jeanny Ingrid Palar, istrinya.
Dustamat saya temui di Semarang, sekitar 2013. Dia sempat bertanya-tanya, ”Bisakah anak ini (David) mengimbangi yang lain karena dia harus menggunakan tangan kirinya untuk apa pun itu. Mengambil bola, melempar bola sebelum servis, semuanya.” Dalam perjalanannya, seiring dengan kesediaannya untuk mencoba ”membentuk” David, Dustamat yakin David cepat berkembang karena kemauannya untuk maju sangat besar.
Saat ditanya kesan dia terkait prestasi David kini, Dustamat merasa terharu dan bangga. ”Saya bukan satu-satunya pelatih yang memoles David, tetapi saya bahagia karena David masih terus mengingat saya. Padahal, level dia sekarang sudah nasional, bahkan internasional melalui paralimpiade, sedangkan saya kan tetap pelatih di daerah,” tutur Dustamat, yang wawancara dengannya termuat dalam buku David Jacobs: Saya Difabel, Saya Juara.
Jeanny saat awal mengenal David sempat gusar dengan David yang ”menyembunyikan” tangan kanannya yang berkekurangan, dengan kerap berbaju lengan panjang saat bertemu. ”Bagaimana kesan awal saat tahu David difabel?” kata saya. ”Tidak ada masalah. Buat saya, di balik kekurangan tangannya, David punya kelebihan yang orang lain tak punya, yaitu bisa berprestasi dunia,” ujar Jeanny.
Perempuan kelahiran Jakarta, 2 Juni 1990, itu menambahkan, ”Yang membuat saya yakin menikah dengan David, dia pria hebat, dan saya yakin dia bisa menjadi suami hebat buat saya.” Bagi Jeanny, David juga jujur, bertanggung jawab, setia dan takut Tuhan. ”Intinya, saya bahagia hidup bersama David, jasmani dan rohani,” tambah Jeanny.
Saya bertemu Jeanny pada Sabtu (29/4/2023) di ruang jenazah RSPAD Gatot Subroto saat ia menemui para tamu yang terus mengalir, melayat jenazah suaminya. ”Diikhlaskan ya, Jeanny. Yang kuat seperti David,” kata saya. Dia menjawab dengan anggukan kepala. Matanya masih sembap karena sesekali menangis.