Layaknya kota-kota lain di Indonesia, masyarakat Surabaya juga penikmat sepak bola yang ulung. Namun, mereka punya ciri khas yang kental dengan kultur perlawanan. Itu berkaitan dengan pertempuran 10 November 1945.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA, AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Layaknya kota-kota lain di Indonesia, masyarakat Surabaya juga adalah penikmat sepak bola yang ulung. Namun, mereka punya ciri khas tersendiri yang kental dengan kultur perlawanan. Ciri khas itu berkaitan dengan pertempuran 10 November 77 tahun silam
Bila Persija Jakarta memiliki Jakmania, Persib sulit dipisahkan dengan Bobotoh. Saat Persis Solo mendapat dukungan dari Pasoepati, Bonek tetap setia bersama Persebaya Surabaya. Berbeda dengan kelompok suporter kota lainnya, Bonek atau Bondo Nekat, punya cerita yang tidak kalah panjang tetapi unik dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Kelompok suporter Persebaya ini membentuk ikatan kuat yang mengkristal dan telah menjadi bagian dari identitas warga Kota Surabaya.
Sikap teguh dalam prinsip dan bernyali barangkali sudah menjadi identitas khas warga Surabaya yang tumbuh dan besar dalam kultur “arek”. Kecenderungan ini sudah ada berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Surabaya seolah lahir untuk melawan.
Ketika Belanda masih berkuasa di Indonesia, di Surabaya muncul klub-klub sepak bola semacam Vitoria pada 1895, lalu Rapiditas, THOR (Thot Heil Onzer Ribben), dan Sparta yang bernaung di bawah Soerabajasche Voetbalbond (SVB). Klub-klub tersebut mayoritas diisi orang-orang Belanda yang gemar bermain sepak bola.
Seperti orang-orang Belanda, kaum bumiputra, melalui R Pamoedji dan Paidjo, pun tidak ketinggalan untuk membentuk klub sepak bola tandingan, yaitu Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB) pada 18 Juni 1927. SIVB ini yang pada akhirnya menjadi cikal bakal Persebaya. Dari eksisnya Persebaya kemudian muncul Bonek.
Pada awalnya, belum ada istilah Bonek, melainkan hanya sebutan suporter Persebaya. Menurut Fajar Junaedi dalam bukunya, Bonek: Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia, istilah Bonek awalnya muncul dari berita yang ditulis wartawan Jawa Pos, Slamet Urip Pribadi, saat meliput pertandingan Persebaya.
Saat itu, Slamet sedang meliput sekumpulan suporter Persebaya yang berangkat dari Surabaya ke Stadion Utama Senayan (GBK) untuk mendukung tim kesayangannya berlaga di putaran final kompetisi Perserikatan.
Para pendukung Persebaya dalam jumlah besar yang berangkat menempuh perjalanan ratusan kilometer dengan uang saku pas-pasan dari Surabaya menuju Jakarta adalah fenomena sosial yang baru di Indonesia pada era 1980-an. Sebelum fenomena Bonek mendukung Persebaya ke Jakarta, suporter Indonesia lebih merupakan suporter yang bersifat tradisional. Mereka datang ke stadion hanya untuk mendukung timnya. Saat itu belum ada atribut khas suporter, seperti kaus, syal, topi, dan spanduk yang dibawa para suporter setiap klub Perserikatan.
Pergerakan Bonek dari Surabaya ke Senayan, Jakarta, menurut Fajar, mengawali evolusi identitas suporter di Indonesia. Selain Bonek, ada suporter klub Perserikatan lain yang belum memiliki nama. Maka, setelah ada kelompok suporter Persebaya yang mendapatkan nama Bonek, komunitas suporter dari berbagai klub lain di Indonesia pun berusaha mencari nama yang sesuai dengan klub masing-masing.
Diakui atau tidak, Bonek adalah pelopor suporter modern Indonesia.
”Diakui atau tidak, Bonek adalah pelopor suporter modern Indonesia,” kata Slamet, sebagaimana dikisahkan dalam buku karya Fajar.
Di awal kemunculannya, nama Bonek lekat dengan watak pemberani yang cenderung ke arah nekat. Istilah Bonek berasal dari kata dalam bahasa Jawa, yaitu bondo (modal) dan nekat. Iwan Nurdianto, seorang Bonek yang bernaung dalam komunitas Bonek Writer Forum, menjelaskan, gairah Bonek untuk mendukung Persebaya semakin meluap-luap dalam laga tandang (away). Sensasi memberikan dukungan kepada Persebaya dalam jarak ratusan kilometer menurut dia tidak bisa digantikan oleh apa pun.
”Tidak mudah mendukung klub saat away. Itu karena harus punya tekad. Kamu harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga. Ada adrenalin dan pengalaman tersendirinya. Kebanyakan Bonek merasa terpuaskan bisa menonton Persebaya di kandang lawan. Untuk (datang ke laga tandang) ada risikonya juga. Bagi Bonek, away itu sangat spesial,” kata Iwan saat ditemui di Surabaya.
Mendukung Persebaya dalam benak setiap Bonek adalah bagian dari upaya perjuangan. Persebaya adalah representasi Kota Surabaya dan fanatisme Bonek terhadap klubnya boleh dikatakan merupakan bentuk semangat kedaerahan terkuat yang tidak lekang.
Orya A Wirawan dalam buku Imagined Persebaya: Persebaya, Bonek, dan Sepak Bola Indonesia mencoba menjelaskan fenomena tersebut. Ia melihat Persebaya sudah menjadi bagian dari pertumbuhan kota dan perjuangan warganya melawan penindasan penjajah. Setelah era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Persebaya menjadi simbol perlawanan dan identitas kota.
Kisah perlawanan mengusir penjajah itu tidak padam, tetapi justru melintas zaman. Dari sana menurun watak pemberani, rela berkorban demi mendukung klub. Dengan kata lain, sifat nekat dari Bonek tidak bisa dipisahkan dari perlawanan heroik warga Surabaya ketika menghadapi tentara Belanda (NICA) yang membonceng pasukan Sekutu untuk merongrong kemerdekaan Indonesia.
”Secara kultur, memang (orang) Surabaya seperti itu. Dari dulu memang jiwa wani atau nekat itu sudah tecermin sejak sebelum kemerdekaan. Kultur itu melekat sampai sekarang. Jadi, kami mengasosiasikan diri sebagai kakek-kakek kami yang dulu berjuang itu. Selalu diasosiasikan dengan itu. Makanya, SIVB juga itu kan dianggap sebagai simbol perlawanan kepada SVB,” ujar Iwan.
Ketika zaman beralih, kontak senjata di medan perang sudah tidak ada lagi. Namun, semangat perlawanan itu telanjur mengkristal dan mengendap dalam jati diri warga Surabaya, khususnya Bonek. Maka, bentuk perjuangan serta perlawanan mempertahankan harga diri daerah kini beralih kepada Persebaya.
Dukungan tanpa batas Bonek kepada Persebaya ini sangat terasa begitu menjejak Kota Surabaya. Di berbagai tembok dan sudut-sudut kota terlihat beberapa mural bergambarkan ikon Bonek, yaitu ”Ndas Mangap” atau wajah seorang Bonek berambut panjang dengan mulut terbuka. Di kepalanya, ia mengenakan ikat kepala hijau bertuliskan Persebaya. Selain gambar mural Bonek, ada juga gambar logo Persebaya dan kalimat-kalimat pembakar semangat lainnya tercetak di seantero kota.
Suasana Surabaya menjadi lebih riuh dan sibuk setiap kali Persebaya dijadwalkan menjalani laga kandang. Di ruas-ruas jalan besar yang menuju stadion, orang-orang akan dengan mudah menemukan bendera-bendera Persebaya berkibar tinggi. Tidak hanya di jalanan, bendera-bendera Persebaya juga didirikan Bonek yang tinggal di kawasan perkampungan Surabaya.
Sampai kapan pun, Surabaya akan selalu menjadi kota yang identik dengan perlawanan. Dari pertempuran 10 November, Bonek mewarisi spirit perlawanan itu. Dukungan itu akan senantiasa abadi bahkan hingga rumput lapangan tidak lagi hijau.