Pesona Stadion Sriwedari dan ”Tangan-tangan” Terbuka dari Surakarta
Stadion Sriwedari di Surakarta merupakan cagar budaya yang kental sejarah dan kultur sepak bola. Stadion yang pernah menjadi mercusuar olahraga nasional dan simbol keterbukaan warga Solo itu telah meremajakan dirinya.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR, NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Sepak bola selalu punya tempat istimewa di hati warga Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Kultur sepak bola yang kental bahkan telah terbentuk di kota berbudaya itu sejak awal abad ke-20 silam.
Kentalnya kultur itu setidaknya diwakili Stadion Sriwedari, pusat napak tilas olahraga nasional. Salah satu stadion sepak bola tertua di Tanah Air itu merupakan saksi bisu dimulainya Pekan Olahraga Nasional (PON) pada 1948 di kota yang kaya budaya itu. Ajang multicabang olahraga nasional itu terus digelar hingga saat ini sebagai simbol dari persatuan sekaligus ajang pembibitan atlet-atlet di daerah.
Sejarah mencatat, ketika itu PON juga digelar dengan misi politis, yaitu menunjukkan ke dunia luar bahwa Indonesia, negara yang baru saja merdeka, sanggup menggelar ajang olahraga berskala nasional. Ketika itu, kedaulatan RI tengah digoyang Belanda, dibuktikan dengan hasil Perjanjian Renville yang membuat wilayah NKRI menyempit signifikan.
Tepat 75 tahun berlalu, sejak stadion itu menjadi sorotan nasional ataupun dunia, Sriwedari kembali bersolek. Ia meremajakan dan mengaktualisasikan diri. Rumputnya, misalnya, kini berstandar FIFA sehingga bisa dipakai pesepak bola dunia.
Senin (20/3/2023) lalu, seorang pekerja mengamati rumput di tempat itu. Ia dengan cermat memperhatikan rumput-rumput itu dan mencabuti gulma yang tumbuh di antaranya. Ketika itu, Sriwedari tengah dipersiapkan menjadi salah satu arena latihan dalam rangka Piala Dunia U-20 2023.
Sayangnya, ajang yang semestinya menjadi pembuktian Indonesia di kancah sepak bola dunia itu batal digelar di Tanah Air karena kisruh penolakan atas Israel, tim peserta.
Kalah pamor
Stadion Sriwedari memang telah kalah pamor dibandingkan Stadion Manahan sebagai arena sepak bola utama di Surakarta. Tetapi, Sriwedari sejatinya adalah simbol keterbukaan Surakarta terhadap olahraga, khususnya sepak bola. Dalam sejarah sepak bola Indonesia, Sriwedari mendapat tempat yang khusus.
Diresmikan pada 1933 lewat inisiatif Sri Susuhunan Pakubuwana X, Sriwedari adalah stadion sepak bola pertama yang dibangun pribumi Indonesia. Saat itu, mayoritas lapangan sepak bola di Indonesia dibangun dan dikelola oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Sriwedari dilengkapi fasilitas lapangan yang terbaik di zaman itu dan juga memiliki lampu sorot untuk digunakan pada malam hari. Lalu, kehadiran tribune batu untuk penonton umum dan tribune tertutup dengan bangku berbahan kayu jati untuk tamu naratama menjadikan Sriwedari terlihat amat megah untuk stadion sepak bola di pertengahan abad ke-20.
”Pakubuwana X sering keluar menyaksikan keadaan masyarakat yang kemudian mendengar percakapan di masyarakat tentang pertandingan sepak bola di alun-alun,” tulis Eddi Elison, sejarawan olahraga, menjelaskan perhatian besar Pakubuwana X terhadap olahraga terpopuler itu dalam buku berjudul Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan dengan Sepak Bola Kebangsaan (1934).
Pembangunan Stadion Sriwedari pun dilakukan setelah Pakubuwana X berbicara dengan kerabatnya di Keraton Surakarta, RM Widodo, yang menjelaskan aktivitas favorit warga memainkan sepak bola di Lapangan Alun-alun Keraton Surakarta. Bahkan, laga Liga Perserikatan edisi perdana pada 1931, yang diikuti Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ/Persija Jakarta), PSIM Yogyakarta, dan Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB/Persis Solo), dilaksanakan di lapangan milik Keraton Surakarta itu.
Energi besar kota Solo untuk sepak bola adalah buah dari perhatian besar Kasunanan Surakarta terhadap budaya kosmopolitan, salah satunya sepak bola, serta budaya hibrida antara masyarakat pribumi dan warga Eropa.
Dalam perkembangannya, Sriwedari menjadi saksi bisu bagi era emas sepak bola Surakarta di kancah nasional pada periode akhir 1930-an hingga awal 1940-an. Dalam kurun waktu itu, Persis Solo meraih tujuh gelar Liga Perserikatan.
Pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an, Arseto Solo yang berkompetisi di Galatama menjadi kebanggaan masyarakat Solo. Mereka meraih gelar Galatama pada 1992 berkat performa apik mereka pada laga-laga kandang di Sriwedari.
Peran ROMEO
Sebelum membangun Sriwedari, keluarga Kasunanan Surakarta juga sudah terbuka dengan sepak bola. Sejumlah keluarga Kasunanan membentuk perkumpulan sepak bola perdana di Surakarta yang diberi nama ROMEO pada 1906.
Dalam jurnal bertajuk Sejarah Persepakbolaan di Surakarta: Dari Perkembangan Sampai Pembangunan Stadion Sriwedari (2018), M Ajib Al’alawi menyebut, ROMEO adalah akronim dari Riwe Onggo Marsoedi Eko Oetomo. Klub itu didirikan bangsawan Surakarta, Gusti Pangeran Harto Suryohamidjoyo.
Dalam perkembangannya, perkumpulan sepak bola di Solo akhirnya membentuk persatuan sepak bola atau voetbal bond bumiputra. Gagasan itu akhirnya menyatukan sejumlah perkumpulan. Maka, lahir VVB pada 8 November 1923 yang kemudian ditetapkan sebagai waktu kelahiran Persis Solo.
”Energi besar kota Solo untuk sepak bola adalah buah dari perhatian besar Kasunanan Surakarta terhadap budaya kosmopolitan, salah satunya sepak bola, serta budaya hibrida antara masyarakat pribumi dan warga Eropa,” ucap Akhmad Ramdhon, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Kultur sepak bola Surakarta itu tetap lestari dan direpresentasikan kelompok suporter, Pasoepati. Sejak berdiri pada 2000, Pasoepati adalah kelompok suporter yang mendukung tiga klub berbeda. Hal itu sekaligus melestarikan sikap keterbukaan yang telah mengakar di masyarakat Surakarta dalam ranah sepak bola.
Presiden Pasoepati Agos Warsoep mengungkapkan, Pasoepati terbentuk di era Pelita Solo. Ia menambahkan, suporter sepak bola Surakarta bersatu dalam panji Pasoepati akibat melihat aksi Aremania, pendukung Arema Malang, dalam beberapa laga di Liga Indonesia musim 1999-2000.
Setelah Pelita keluar dari Solo pada 2002, Pasoepati pun menjadi pendukung setia Persijatim Solo FC yang melanjutkan tradisi tim musafir di Surakarta. Dukungan Pasoepati terhadap Persijatim berakhir pada 2004 ketika tim itu kembali hijrah ke Palembang, Sumatera Selatan, dan berubah nama menjadi Sriwijaya FC pada Oktober 2004.
Sejak itu, Pasoepati fokus untuk mendukung Persis. Jatuh bangun Persis setelah sempat naik ke kasta tertinggi Liga Indonesia pada 2007, lalu terlempar dari persaingan kompetisi utama di Indonesia sejak 2008, tidaklah menyurutkan dukungan Pasoepati. Persis lantas menjadi juara Liga 2 musim 2021-2022 sehingga tampil di Liga 1 edisi 2022-2023.
”Siapa pun tim yang membawa nama Solo tentu kami dukung. Dengan kondisi Persis sekarang, kami sangat mendukung karena kami memiliki rasa memiliki yang besar terhadap Persis sebagai tim asli Solo dibandingkan Arseto dan Persijatim,” ujar Agos.
Kebangkitan Persis dalam dua tahun terakhir menghadirkan harapan baru bagi Surakarta. Kini, warga Surakarta ingin Persis tidak hanya menjaga kultur kental sepak bola itu, tetapi melahirkan kebanggaan baru dengan menapaki jejak menuju era emas di masa mendatang. (JON)