Timbul Tenggelam Gelora Sepak Bola di ”Bumi Sriwijaya”
Animo sepak bola Palembang ataupun Sumatera Selatan tidak pernah mengakar meski sempat ada klub Krama Yudha dan Sriwijaya FC. Itu karena tidak ada kultur sepak bola kuat dan kurangnya perhatian terhadap klub lokal.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH, RHAMA PURNA JATI
·6 menit baca
Animo sepak bola di Palembang ataupun Sumatera Selatan pernah begitu tinggi di masa klub legendaris Krama Yudha Tiga Berlian dan era emas Sriwijaya FC. Seiring bubarnya Krama Yudha dan turunnya pamor Sriwijaya FC, memudar pula geliat sepak bola di daerah berjuluk ”Bumi Sriwijaya” tersebut.
Fenomena itu terjadi karena kultur sepak bola yang tidak mengakar, antara lain tidak ada kompetisi akar rumput yang konsisten dan dukungan bagi klub lokal. Tanpa langkah nyata dari pemangku kebijakan, Palembang akan terus menjadi persinggahan klub luar dan tuan rumah ajang semata.
”Palembang sangat mungkin menjadi kiblat sepak bola nasional dengan modal infrastruktur memadai dan bakat pemain yang tidak kalah dari daerah lain. Yang dibutuhkan tinggal komitmen PSSI dan pemerintah daerah untuk menjalankan kompetisi lokal yang berjenjang dan berkelanjutan,” ujar Herry Kiswanto, legenda sepak bola nasional sekaligus mantan kapten Krama Yudha, Minggu (9/4/2023), saat dihubungi dari Jakarta.
Kondisi itu menjadi ironi saat Kompas mengunjungi Stadion Patra Jaya di Kompleks Pertamina, Bagus Kuning, Plaju, Palembang, Jumat (24/3/2023) petang. Tidak ada hiruk-pikuk aktivitas masyarakat berolahraga pada sore itu, dikalahkan segerombolan monyet liar yang berkuasa di sana.
Nelangsa, begitu kesan pertama melihat Patra Jaya. Atap satu-satunya tribune di sana ambruk tak bersisa. Dinding bangunan tribune penuh coretan. Kaca jendela dan daun pintu raib. Bagian dalam bangunan gelap, penuh lumut dengan bau tak sedap. Situasinya tak ubahnya rumah hantu di film-film.
Kursi penonton di sekeliling stadion tak tampak lagi karena tertutupi tumbuhan liar. Rumput lapangan telah menjadi padang alang-alang. Penjaga mengingatkan untuk tidak mendekati lapangan karena konon banyak ular beracun. ”Sejak 2019 atau di awal pandemi Covid-19, stadion ini sudah ditutup untuk umum,” kata seorang penjaga.
Herry telah lama tahu kondisi Patra Jaya tersebut. Pria kelahiran Banda Aceh, 25 April 1955, itu prihatin karena Patra Jaya menyimpan kenangan indah untuk dirinya ataupun Krama Yudha. Stadion yang mulai dibangun pada 1970 untuk Pekan Olahraga Mahasiswa IX 1971 itu adalah stadion modern pertama yang dibangun di Palembang dan sempat menjadi kandang Krama Yudha pada 1985-1991.
Krama Yudha adalah tim yang dibentuk pengusaha otomotif asal Sumatera Selatan, Sjarnoebi Said, dengan kerangka tim dari klub Yanita Utama Bogor yang bubar pada 1985. Dalam waktu singkat, Krama Yudha menjelma sebagai raksasa baru sepak bola Indonesia. Mereka menjadi juara Galatama 1985 dan 1986/1987; Piala Liga 1987, 1988, dan 1989; serta mencapai peringkat ketiga Liga Champions Asia 1985/1986. Prestasi di tingkat Asia itu belum bisa disamai oleh klub-klub Tanah Air hingga kini.
Hampir semua laga level nasional dan internasional Krama Yudha saat itu berlangsung di Patra Jaya. Menurut Herry, kualitas rumput stadion berkapasitas sekitar 10.000 penonton saat itu hanya kalah dari Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
”Salah satu pertandingan yang paling berkesan adalah ketika menghadapi tim Singapura, Geylang FC, pada putaran pertama Piala Winners Asia 1990/1991. Dalam laga yang berakhir 1-1 itu, penonton penuh sampai ke pinggir lapangan. Penonton sangat antusias mendukung kami dengan yel-yel penyemangat yang isinya seperti ’Wong Kito Harus Menang’,” kenang Herry, yang mencetak gol untuk timnya kala itu.
Warga Palembang, Muhammad (52), pernah merasakan euforia dan kemegahan Patra Jaya pada 1989-1990. Muhammad yang saat itu siswa SMA nyaris tidak pernah melewatkan jadwal laga, khususnya saat Krama Yudha bertanding.
Dari segi kualitas, seingat Muhammad, Patra Jaya sangat mumpuni karena tak tergenang walau hujan deras mengguyur. Lampunya juga cukup baik sehingga bisa untuk menggelar laga di malam hari. ”Beberapa laga nasional dan internasional pernah dilaksanakan di sana selain laga Krama Yudha,” tuturnya.
Saksi nyata
Patra Jaya menjadi saksi nyata timbul tenggelamnya animo sepak bola di Palembang ataupun Sumatera Selatan. Setelah Krama Yudha bubar karena masalah pendanaan pada pertengahan 1991, Patra Jaya kehilangan kejayaannya dan geliat sepak bola perlahan redup.
Palembang sangat mungkin menjadi kiblat sepak bola nasional dengan modal infrastruktur memadai dan bakat pemain yang tidak kalah dari daerah lain.
Animo itu baru muncul kembali 13 tahun kemudian, saat Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan membeli lisensi Persijatim Solo FC dan mendirikan Sriwijaya FC pada 23 Oktober 2004. Klub itu hadir untuk mengisi kekosongan di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring seusai Pekan Olahraga Nasional (PON) 2004.
Seiring prestasi Sriwijaya FC yang melejit, antara lain juara Liga Indonesia 2007/2008 dan 2011/2012; Piala Indonesia 2007/2008, 2008/2009, dan 2010; Indonesia Community Shield 2010; serta Piala Inter Island 2010 dan 2012, antusiasme masyarakat Palembang terhadap sepak bola hidup lagi. Namun, situasi itu juga tidak kekal.
Terbukti, ketika Sriwijaya FC terdegradasi ke Liga 2 pada 2018, dukungan suporter memudar. Bahkan, kegagalan Sriwijaya FC merebut tiket promosi ke Liga 1 pada 2019 dan 2021/2022 menyebabkan dukungan pada klub berjuluk ”Laskar Wong Kito” itu menurun. Keadaan lebih tak menentu karena Liga 2 2022/2023 berhenti di tengah jalan akibat Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Herry mengatakan, fenomena itu terjadi karena tidak ada fondasi pembangunan sepak bola yang kuat di Palembang ataupun Sumatera Selatan. Sebab, secara infrastruktur, daerah itu memiliki warisan PON 2004 yang terus terawat untuk SEA Games 2011, Asian Games 2018, hingga Piala Dunia U-20 2023 sebelum dibatalkan FIFA pada Rabu (29/3/2023).
Bakat pemain pun tidak bermasalah. Terbukti, Palembang pernah melahirkan ujung tombak legendaris Ilham Jaya Kesuma yang meraih predikat top scorer Liga Indonesia 2002 dan 2004, pemain terbaik Liga Indonesia 2002, dan top scorer Piala Tiger/AFF 2004. Setelah menjadi juara Liga Indonesia U-21 pada 2012/13, alumni Sriwijaya FC U-21 yang asli putra daerah juga masih malang melintang di kompetisi tertinggi Tanah Air.
PS Palembang untuk pertama kali dalam sejarah bisa menembus final Piala Soeratin U-17 pada 2019/2020 sebelum kalah dari PSBK Blitar, 0-1. ”Agar geliat sepak bola itu bisa mengakar kuat, satu-satunya cara adalah menghidupkan iklim kompetisi lokal. Dengan begitu, semangat pembinaan dan fanatisme masyarakat akan terus berkelanjutan,” kata Herry.
Dorongan asprov
Anggota Komite Eksekutif (Exco) Asosiasi PSSI Sumatera Selatan, Mathys ”Kewoy” Rugebregt (64), menuturkan, pihaknya berulang kali mendorong 17 asosiasi kabupaten/kota di Sumatera Selatan untuk lebih aktif menggulirkan kompetisi di daerah masing-masing. Apalagi, sudah ada payung hukum untuk daerah mengembangkan sepak bolanya sebagaimana Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional.
Nyatanya, tidak semua daerah punya kesadaran itu. ”Asosiasi provinsi (asprov) hanya bisa mendorong, sedangkan hak pelaksanaannya ada di asosiasi kabupaten/kota. Asosiasi provinsi adalah regulator yang menjalankan program dari pusat ke daerah. Selanjutnya, orang-orang di kabupaten/kota mau atau tidak mengimplementasikannya,” ujar pria kelahiran Surabaya itu.
Bagi mantan ketua umum kelompok suporter Sriwijaya FC, Singa Mania, periode 2015-2020, Ariyadi Eko Neori, animo sepak bola baik di Palembang maupun Sumatera Selatan cepat muncul dan cepat pula hilang karena geliatnya dibangun secara instan dengan mendatangkan tim dari luar. Akibatnya, tidak ada ikatan sejarah untuk memacu fanatisme kedaerahan.
Sebaliknya, tim lokal tidak dianggap istimewa, seperti PS Palembang yang sejatinya lahir dari perkumpulan sepak bola Hindia Belanda di Palembang atau Palembangsche Voetbal Bond (PVB) pada 1921. Bahkan, PS Palembang sempat mati suri sebelum kembali eksis enam musim terakhir.
Selain itu, segenap pemangku kepentingan cenderung gemar lempar tanggung jawab. ”Kami berharap ada sosok orang gila bola yang benar-benar mau berkorban untuk memajukan sepak bola di sini. Kalau tidak, animo sepak bola di sini akan timbul tenggelam terus. Jangan sampai harus menunggu tim baru lagi untuk memunculkan kembali geliat tersebut,” kata Ariyadi.