Erling Haaland memang sensasional di kotak penalti lawan, terutama saat Manchester City menghajar Leipzig, 7-0. Namun, kunci utama keberhasilan City adalah ketahanan di kotak penalti sendiri.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
MANCHESTER, RABU – Penyerang Manchester City, Erling Haaland, bukanlah sosok pangeran penyelamat di cerita fantasi ”sleeping beauty”. Kunci City untuk meraih ambisi menjuarai Liga Champions tidak bergantung pada satu pemain, tetapi formula pertahanan tepat yang mulai sukses diperagakan mereka akhir-akhir ini.
Haaland mengamuk di Stadion Etihad dalam laga kedua babak 16 besar Liga Champions, Rabu (15/3/2023) dini hari WIB. Dia mencetak quintrick atau lima gol seusai gagal mencatat tembakan tepat sasaran pada laga pertemuan pertama versus Leipzig di Jerman. City pun menang telak 7-0 dan lolos dengan keunggulan agregat 8-1 atas Leipzig.
Hanya dalam 57 menit, Haaland mengukir rekor sebagai pemain kedua setelah Lionel Messi yang menciptakan quintrick pada laga babak gugur. Dia juga menjadi pemain termuda (22 tahun dan 236 hari) yang mencapai 30 gol di Liga Champions. Ia mengungguli Kylian Mbappe (22 tahun dan 352 hari) dan Messi (23 tahun dan 131 hari).
Penyerang asal Norwegia itu pun mulai disandingkan dengan Messi, sang veteran berjuluk ”terhebat sepanjang masa”. Haaland pun dipercaya akan mengakhiri kutukan City dan manajer Josep ”Pep” Guardiola di Liga Champions, ibaratnya kisah pangeran dan putri dalam ”sleeping beauty”.
Seperti diketahui, Guardiola selalu gagal menggapai trofi ”Si Kuping Lebar” sejak datang ke City pada 2016. Dia tidak pernah meraih gelar itu lagi sejak 2011. Adapun dua gelarnya di Liga Champions diraih bersama Messi di Barcelona (2008-2009 dan 2010-2011).
Wajar saja jika Haaland dipercaya sebagai pengganti Messi, kepingan terpenting dalam tim asuhan Guardiola. Sang manajer tidak pernah memiliki tipe penyerang target man bertubuh tinggi dan kekar di City sebelumnya. ”Klub mendatangkan saya untuk menjuarai Liga Champions,” kata Haaland.
Guardiola begitu bangga dengan performa Haaland. Bahkan, dia menilai sang pemain masih jauh dari potensi terbaiknya. Namun, sang manajer tetap realistis. Menurut dia, City sebagai tim menyerang memang terbiasa mencetak banyak gol, bahkan ketika bersama mantan penyerang, seperti Gabriel Jesus dan Sergio Aguero.
”Kami selalu bisa mencetak banyak gol di sini (Liga Champions). Kami mencetak empat gol lawan Real Madrid, enam gol lawan AS Monako, dan empat gol versus Tottenham Hotspur. Masalahnya bukan mencetak gol, tetapi bagaimana tidak kemasukan gol yang bodoh,” ujar Guardiola.
Angka statistik memperlihatkan kerentanan pertahanan City. Dalam laga fase gugur sejak 2016, mereka kemasukan rerata 2,5 gol. Jumlah gol itu terlalu banyak untuk laga sengit seperti di Liga Champions. Artinya, mereka butuh 3 gol setiap laga untuk bisa mengungguli tim lawan.
Kehadiran empat bek tengah City juga berkontribusi besar dalam hujan gol di Stadion Etihad. Keempat pemain yang mumpuni dalam duel atas itu selalu berbahaya saat situasi bola mati.
Hal tersebut yang menjadi petaka ”The Citizens” pada musim lalu. Mereka sempat berpesta gol saat menang atas Madrid 4-3 di kandang sendiri, lalu takluk 1-3 pada laga kedua semifinal. Empat gol pada laga pertama tidak cukup karena mereka kemasukan terlalu banyak.
Solusi Guardiola
Solusi masalah pertahanan City mulai terjawab saat menghadapi Leipzig. Guardiola memasang 4 bek tengah sekaligus dalam formasi 4-1-4-1. Mereka adalah Manuel Akanji dan Ruben Dias yang ditempatkan lebih sentral serta John Stones dan Nathan Ake yang diposisikan di sayap.
”Bermain dengan empat bek tengah tidak selalu berarti Anda adalah tim yang defensif. Strategi itu berjalan dengan baik. Semuanya membawa kestabilan. Inilah yang kami butuhkan di kompetisi ini. Peluang yang didapatkan mereka hanya berasal dari pemberian kami,” tutur Guardiola.
City, di rezim Guardiola, selalu bermain ekstra ofensif dengan penguasaan bola dominan dan garis pertahanan sangat tinggi. Gaya tersebut sangat rentan dihukum oleh transisi serangan balik lawan. Mereka sering meninggalkan lubang besar saat kehilangan bola.
Lubang itu ditutup dengan baik pada dini hari kemarin. Stones akan naik membantu Rodri di posisi gelandang jangkar saat penguasaan bola. Formasi City berubah menjadi 3-2-5. Rodri dan Stones akan menjadi benteng pertama untuk menghalau transisi lawan.
Biasanya, Guardiola menempatkan Bernardo Silva untuk berduet dengan Rodri seperti pada laga pertama. Silva berperan besar dalam membangun serangan, tetapi tidak punya kualitas menutup transisi seperti Stones. Adapun dengan formula terbaru, City punya lima pemain bertipe defensif yang mampu berduel satu lawan satu.
Lima pemain City di lini serang juga tidak khawatir saat menerapkan pola blok pertahanan super tinggi. Ketika bola lewat ke lini tengah, mereka tahu sudah ada Stones dan rekan-rekan yang siap merebut penguasaan lawan. Skema pertahanan itu nyaris tanpa celah sepanjang laga.
Pelatih Leipzig Marco Rose mengatakan, anak asuhnya terkejut dengan pertahanan sangat reaktif yang ditampilkan City. ”Mereka menekan dengan cara berbeda dibandingkan laga pertama. Hal itu membuat kami gagal berkembang. Semua adalah tanggung jawab saya. Mereka pantas menang,” ujarnya.
Leipzig hanya mencatat 4 tembakan dengan hanya sekali tepat sasaran dan penguasaan 33,5 persen. Umpan-umpan tim tamu nyaris selalu terputus sebelum memasuki sepertiga akhir lapangan City. Padahal, tim peringkat ketiga Liga Jerman itu memiliki pemain ofensif berkualitas, seperti Timo Werner dan Dominik Szoboszlai.
Kehadiran empat bek tengah City juga berkontribusi besar dalam hujan gol di Stadion Etihad. Keempat pemain yang mumpuni dalam duel atas itu selalu berbahaya saat situasi bola mati. Keunggulan fisik para pemain City di kotak penalti tidak mampu dibendung Leipzig. Adapun empat gol mereka berawal dari skema tendangan sudut. (AP/REUTERS)