Hukuman ringan dijatuhkan kepada dua terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Abdul Haris dan Suko Sutrisno. Hukuman itu dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi 135 korban jiwa tragedi itu. Proses hukum kasus itu belumlah optimal.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR, BAHANA PATRIA GUPTA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, kepada dua terdakwa Tragedi Kanjuruhan, yaitu mantan Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris dan bekas petugas keamanan klub, Suko Sutrisno, dinilai gagal menghadirkan rasa keadilan bagi 135 korban jiwa tragedi itu. Meskipun demikian, hukuman tersebut setidaknya bisa menjadi preseden positif keterlibatan hukum negara dalam kasus pidana di ranah olahraga, terutama sepak bola.
Dalam sidang Kamis (9/3/2023), Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi bersama anggota majelis hakim, Mangapul dan I Ketut Kimiarsa, menilai kedua terdakwa itu lalai sehingga menyebabkan 135 orang meninggal dan 674 lainnya terluka seusai menyaksikan laga sepak bola Arema kontra Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022, di Stadion Kanjuruhan, Malang.
”Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Abdul Haris selama 1 tahun 6 bulan penjara,” ucap Achmad membaca amar putusan kasus itu, kemarin.
Adapun Suko dijatuhi hukuman satu tahun penjara. Hukuman mereka lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, yaitu enam tahun delapan bulan penjara.
Vonis yang lebih rendah itu diberikan majelis hakim karena mempertimbangkan dua hal. Pertama, mereka tak pernah menjalani hukuman pidana sebelumnya. Kedua terdakwa juga sempat membantu korban luka di dalam stadion saat tragedi itu terjadi.
Selain itu, majelis hakim juga menilai, upaya Abdul meneruskan permintaan kepolisian untuk memajukan jadwal laga tersebut dianggap sebagai tindakan yang meringankan hukumannya. Akan tetapi, permintaannya itu tidak dipenuhi PT Liga Indonesia Baru selaku operator BRI Liga 1 Indonesia musim 2022-2023.
Tragedi Kanjuruhan memberikan preseden bahwa dalam kasus pidana di sepak bola, dua sistem, yaitu hukum komunitas sepak bola dan hukum negara, bisa berjalan. Proses pidana terbuka dilakukan jika kasus serupa terjadi di masa depan. (Eko Noer Kristiyanto)
Anton Sanjoyo, anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan, menganggap putusan terhadap Abdul dan Suko dalam salah satu tragedi terburuk di sepak bola dunia itu tak memberi rasa keadilan kepada para keluarga korban. Proses hukum Tragedi Kanjuruhan, menurut dia, tidak dijalankan optimal sesuai rekomendasi yang telah diberikan TGIPF.
”Vonis itu adalah gambaran ketidakseriusan dalam menjalankan proses hukum guna memberikan rasa keadilan kepada korban dan keluarganya. Menurut kami, seharusnya orang-orang di PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) juga tidak lepas dari kesalahan karena ketidakmampuan memberikan panduan yang membuat Haris dan Suko melakukan kesalahan,” kata Anton menjelaskan.
Adapun Eko Noer Kristiyanto, pengamat hukum olahraga, menilai, vonis terhadap Haris dan Suko menjadi preseden bahwa peristiwa pidana di sepak bola bisa diproses melalui ranah hukum negara. Alhasil, hukuman kini tak hanya datang dari lingkup internal sepak bola, yaitu Komite Disiplin (Komdis) PSSI.
Sebelumnya, Komdis PSSI menjatuhi hukuman larangan seumur hidup beraktivitas di sepak bola kepada Haris dan Suko. Putusan itu diumumkan pada 4 Oktober 2022.
”Tragedi Kanjuruhan memberikan preseden bahwa dalam kasus pidana di sepak bola, dua sistem, yaitu hukum komunitas sepak bola dan hukum negara, bisa berjalan. Proses pidana terbuka dilakukan jika kasus serupa terjadi di masa depan,” ujar Eko.
Merujuk jumlah korban jiwa, Tragedi Kanjuruhan adalah insiden mematikan kedua dalam sepak bola setelah Tragedi Stadion Nasional Peru pada 24 Mei 1964. Terdakwa dalam kasus itu, Jorge Azambuja, divonis 2,5 tahun penjara.
Kasus di Peru
Komandan polisi di Peru itu terbukti telah memerintahkan penembakan gas air mata ke arah massa suporter seusai laga Peru versus Argentina pada kualifikasi Olimpiade Tokyo 1964. Sebanyak 328 orang tewas dalam tragedi itu.
Terkait kasus Kanjuruhan, ada tiga terdakwa lainnya yang kini menanti vonis, yaitu Ajun Komisaris Hasdarmawan (mantan Danki 1 Brimob Polda Jawa Timur), Komisaris Wahyu Setyo Pranoto (mantan Kepala Bagian Operasional Polres Malang), dan Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi (mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang).
Satu tersangka lainnya, mantan Direktur Utama PT LIB Achmad Hadian Lukita, belum menjalani sidang karena berkas perkaranya belum lengkap.