Keluarga Tragedi Kanjuruhan: Apakah Orang Kecil Sulit Mendapat Keadilan?
Vonis 1-1,5 tahun untuk pihak terkait Tragedi Kanjuruhan. Keluarga korban pun nelangsa. Nyawa anak-anak mereka dinilai ‘seringan’ itu. Apa begini nasib orang kecil, sulit mendapat keadilan?
Oleh
DAHLIA IRAWATI, DEFRI WERDIONO
·6 menit baca
Ketua panitia pelaksana pertandingan Arema FC-Persebaya divonis 1,5 tahun dan koordinator keamanannya divonis 1 tahun penjara. Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan pun nelangsa. Nyawa anak-anak mereka ”seringan” itu. Apa begini nasib orang kecil, sulit mendapat keadilan?
Kamis (9/3/2023), hakim Pengadilan Negeri Surabaya mengetukkan palu vonis kepada dua terdakwa dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, yaitu untuk ketua panpel Abdul Haris dan security officer Suko Sutrisno. Abdul Haris dihukum penjara 1,5 tahun, sedangkan Suko 1 tahun.
Meski hanya dari layar kaca, suara palu itu seolah tembus menghunjam ke dada Devi Athok, orangtua dari Natasya Deby (16) dan Naila Deby (13) yang menjadi korban meninggal dalam tragedi itu. Pilu hatinya karena perjuangannya selama ini dalam menuntut keadilan kematian dua anaknya ikut melayang saat ketukan demi ketukan hakim menutup persidangan.
”Tenanglah di surga, Nak!,” ujar Devi sambil melihat putusan hukum itu dari televisi yang berada di kantor pendamping Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) di Arjosari, Kota Malang. Mengenakan kaus hitam dengan gambar almarhumah dua anaknya, Devi hanya bisa menahan geram dan kecewa di kedua kepalan tangannya.
”Saya mewakili kedua putri saya, terus terang saya sangat kecewa dengan hasil sidang di Surabaya karena tidak sesuai dengan kenyataan dan bukti di lapangan saat tragedi 1 Oktober 2022 terjadi,” katanya.
Sejak awal, Devi berharap hakim bisa menjadi kepanjangan tangan Tuhan. Namun kenyataannya, mereka lebih menyudutkan Aremania yang dinilai menyulut kerusuhan. Bukan aparat yang menembakkan gas air mata.
Saat hadir menjadi saksi di persidangan, Devi mengaku bahwa dirinya sempat diusir oleh hakim. Majelis hakim juga sempat mencecar pertanyaan, mengapa dirinya masih bersuara meski telah menerima donasi.
”Saya menolak donasi itu karena tidak ingin nyawa anak saya ditukar dengan rupiah. Saya ingin pelaku dihukum mati sebagaimana kasus pembunuhan yang lain,” katanya.
Kekecewaan serupa juga dirasakan oleh Rohman (61), orangtua dari Andi Setiawan, warga RT 014 RW 004 Kelurahan Mergosono, Kota Malang, yang menjadi korban meninggal ke-133 dalam Tragedi Kanjuruhan. Total korban meninggal dalam tragedi itu adalah 135 orang.
Tragedi Kanjuruhan adalah kericuhan seusai laga sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya, yang berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Laga berlangsung di Stadion Kanjuruhan, Malang.
”Kalau hukumannya hanya 1,5 tahun, jelas saya tidak terima. Membunuh satu orang saja hukumannya bisa belasan sampai puluhan tahun. Ini yang terbunuh ratusan orang, kenapa hukumannya hanya 1,5 tahun. Ringan sekali. Apa begini nasib orang kecil, sulit mendapat keadilan?” kata Rohman sesekali menggelengkan kepala.
Di sela-sela emosi yang coba ditahan, Rohman bercerita betapa ia dan keluarganya kehilangan anak ke-3 dari empat bersaudara itu. Andi meninggalkan dua anak untuk diasuh oleh Rohman dan istrinya.
”Kalau anak saya meninggal karena sakit, lalu dipanggil Tuhan, maka kami akan ikhlas. Ini anak saya berangkat lihat bola dalam keadaan sehat. Pulangnya dalam kondisi setragis itu, hingga akhirnya meninggal. Siapa akan rela?” kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung barang bekas tersebut. Andi saat itu sempat dirawat di rumah sakit selama 18 hari, tetapi akhirnya meninggal.
Bagi Rohman, vonis 1 tahun penjara itu seperti hukuman untuk maling ayam dan bukan untuk penyebab kematian.
Mencari keadilan
Devi dan Rohman adalah sebagian dari ratusan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang mencari keadilan. Berbagai hal telah ditempuh, oleh sebagian besar keluarga yang rata-rata tidak begitu paham proses hukum itu.
Bahkan, untuk mengikuti persidangan tersebut secara rutin di TV atau sekadar mencari perkembangan terbaru kasus tersebut, mungkin tidak semua keluarga korban sempat. Seperti Rohman, yang saat itu sebenarnya tidak tahu mengenai vonis tersebut. Bahkan, ia juga tidak tahu jadwal dan proses sidang di Surabaya tersebut.
”Harusnya keluarga korban bisa dikumpulkan dan menyaksikan bersama vonis. Seperti dulu kami sempat diajak ke Polda Jatim dan ke Mabes Polri di Jakarta untuk menuntut keadilan. Saat di Polda Jatim itulah, saya ’dipertemukan’ dengan enam tersangka yang bertanggung jawab atas kematian anak saya itu. Tapi tidak sampai bertemu. Saya hanya bisa melihat dari jauh, dari balik kaca,” kata Rohman.
Sebagai rakyat kecil, Rohman pun tidak tahu lagi harus bagiamana menyalurkan rasa kecewanya atas putusan hakim itu. ”Saya kecewa, tapi tidak tahu mau bagaimana lagi. Orang kecil itu ngomong saja salah, tahu-tahu bisa masuk penjara,” katanya sambil menarik napas panjang.
Berbeda dengan Rohman, Devi Atok melakoni berbagai cara untuk mendapatkan keadilan bagi dua buah hatinya. Pria yang bekerja sebagai pemborong tebu dan angkutan itu—yang ditelantarkan sejak Tragedi Kanjuruhan karena dia berjuang mencari keadilan untuk anaknya—sempat merelakan jasad dua anaknya itu diotopsi ulang. Tujuannya untuk menyibak tabir misteri yang mungkin tersimpan di tubuh korban Tragedi Kanjuruhan.
Sayangnya, Devi harus kecewa saat hasil otopsi menyebut penyebab kematian kedua anaknya karena terinjak-injak dan pukulan, bukan oleh gas air mata sebagaimana tanda-tanda paparan gas yang dia saksikan di jasad putrinya. Hanya jenazah dua putri Devi itulah yang diotopsi ulang.
Upaya lain pun dilakukan oleh Devi Athok bersama pendamping. Upaya itu melaporkan Tragedi Kanjuruhan dengan pasal pembunuhan berencana (338 dan 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana) ke Polres Malang (Laporan Model B).
Selain itu, dia juga mengajukan gugatan perdata di PN Malang hingga mendatangi sejumlah lembaga dan pejabat teras di Jakarta, seperti Komisi Nasional Hal Asasi Manusia, Kepala Kantor Staf Presiden, hingga Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Namun, semua usaha itu rasanya melayang saat vonis hakim kali ini jauh dari harapan. Kecewa, tapi belum tahu mau berbuat apa.
”Artinya memang tidak ada keseriusan persidangan Model A di PN Surabaya. Kita sudah apatis, kita lebih mendorong pelaporan Model B Pasal 338 dan 340 KUHP. Pertanyaannya kalau sudah vonis 1,6 bulan jaksa wajib banding. Kita tunggu nanti apakah jaksa banding atau tidak. Kalau tidak banding, makin memperkuat bahwa keadilan di Tragedi Kanjuruhan tidak pernah didapat oleh keluarga korban,” kata Ketua Tim Tatak Imam Hidayat. Ia pun turut menyayangkan vonis dan berharap presiden bisa turun tangan.
Harusnya keluarga korban bisa dikumpulkan dan menyaksikan bersama vonis. Seperti dulu kami sempat diajak ke Polda Jatim dan ke Mabes Polri di Jakarta untuk menuntut keadilan.
Imam juga memertanyakan di mana sekarang mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru A Hadian Lukita—salah satu dari enam tersangka yang berkasnya belum dinyatakan lengkap. Persidangan hampir selesai, tetapi, lanjut Imam, dokumen terhadap tersangka Hadian Lukita belum juga dilengkapi oleh pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur.
”Dari awal lima bulan lalu, kami sudah tidak sepakat dengan penyidikan model A oleh Polda Jatim yang ujungnya di PN Surabaya. Itu yang kita duga ada semacam pengondisian dan itu kita sesalkan karena melukai,” katanya.
Begitulah. Dalam kasus Tragedi Kanjuruhan ini, riuhnya hanya di depan. Satu per satu orang menghilang setelah merasa memberikan santunan, atau memilih diam dengan alasan menghormati persidangan.
Alhasil, keluarga korban mencari keadilan tanpa ”sandaran”. Didahului dengan mundurnya presiden Arema FC Gilang Widya seusai menuntaskan santunan serta ”diamnya” pemegang saham mayoritas Arema FC Iwan Budianto. Ironis, mengingat nama PT yang menaungi Arema FC adalah PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesai (PT AABBI). Mana persatuan itu?
Padahal, tidak semua keluarga korban Tragedi Kanjuruhan seteliti, kuat, dan paham seperti Devi Atok. Banyak di antara keluarga korban, seperti Rohman tadi, bahkan tidak tahu sama sekali proses persidangan kasus itu. Mereka akhirnya tahu dari mulut ke mulut, dari orang yang datang atau yang menanyakan.
Ada juga keluarga korban yang memilih untuk pasrah dan melupakan peristiwa menyakitkan itu. Ikhlas. Itulah pertahanan terlemah yang bisa dilakukan oleh mereka yang tak berdaya.
Dengan beragamnya kondisi keluarga Tragedi Kanjuruhan tersebut, mungkin itulah yang membuat suasana di Malang saat pembacaan vonis adem-adem saja. Tidak ada gejolak. Siang berganti petang, seperti biasanya. Waktu berlalu, di antara deru aktivitas manusia dan hujan lebat sesaat. Pelan-pelan, deretan nama korban Tragedi Kanjuruhan pun terlupakan....