Pelatih Barcelona Xavi Hernandez coba menegaskan identitas baru untuk Barca setelah identik dengan ”tiki-taka” era Pep Guardiola. Xavi bisa mulai membuktikannya kalau menang atas Real Madrid di final Piala Super Spanyol.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
RIYADH, SABTU – Dengan performa menjanjikan akhir-akhir ini, Barcelona diunggulkan untuk menundukkan Real Madrid dalam final Piala Super Spanyol 2022/23 di Stadion Internasional Raja Fahd, Riyadh, Arab Saudi, Senin (16/1/2023) dini hari WIB. Lagipula, tim asal Catalan itu termotivasi membalas dendam kekalahan telak 1-3 dari Madrid di La Liga Spanyol dan Pelatih Xavi Hernandez bersemangat memberikan gelar perdana setelah sederet trofi dipersembahkan saat menjadi pemain.
Xavi dalam konferensi pers yang dilansir Marca.com, Sabtu (14/1/2023), mengatakan, Madrid adalah tim yang sangat kuat, terutama dalam serangan balik dan lini tengah. Dengan status juara bertahan La Liga dan Liga Champions serta melengkapinya dengan trofi Piala Super Eropa 2022, Madrid pun punya mental juara yang kuat.
Akan tetapi, Xavi tak gentar. Dia justru sangat bersemangat untuk mengalahkan Madrid. ”Ini adalah kesempatan emas untuk memenangi gelar di tengah persaingan musim ini. Itu sangat berarti sehingga kami akan melakukan yang terbaik untuk meraih gelar ini,” ujar Xavi, yang merasakan final pertama bersama Barca sejak mulai melatih 6 November 2021.
Menurut laporan AS.com, Xavi belajar banyak seusai Barca kalah 1-3 dari Madrid dalam laga El Clasico pertama musim ini pada pekan kesembilan La Liga di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, 16 Oktober 2022. Saat itu, Xavi yang menerapkan formasi 4-3-3 bermain terlalu terbuka dengan ujung tombak yang ofensif, yakni Robert Lewandowski yang disokong Ousmane Dembele dan Raphinha.
Setelah menelan satu-satunya kekalahan di La Liga tersebut, Xavi tetap konsisten dengan formasi 4-3-3, tetapi dengan pendekatan lebih seimbang antara menyerang dan bertahan. Dia coba mengedepankan ciri khas Barca pada kontrol dan penguasaan bola yang dominan, antara lain sering memainkan Pedri dan Gavi sebagai penyerang atau pemain sayap palsu.
Tak heran, Barca menuai hasil positif dalam tujuh laga La Liga terakhir. Mereka meraih lima kemenangan beruntun sebelum bermain imbang 1-1 dengan tim tamu Espanyol pada pekan ke-15 dan kembali menang ketika menaklukkan tuan rumah Atletico Madrid, 1-0, pada pekan ke-16. Maka itu, mereka memimpin klasemen dengan 41 poin dari 16 laga.
Jelang El Clasico kedua musim ini pada final Piala Super Spanyol, Xavi diprediksi mempertahankan pakem andalannya 4-3-3 dan tetap menjaga keseimbangan lini tengah. Taktik saat Barca menumbangkan Atletico kemungkinan akan dipraktikkan untuk meredam agresivitas Madrid.
Strategi anti-Madrid
Strategi itu bisa bertransformasi dari 4-3-3 menjadi 4-2-2 dengan Pedri dan Gavi menjadi sayap siluman untuk menopang Lewandowski dan Dembele. Mereka diharapkan bisa mengelabui pertahanan Madrid yang dikomandoi Antonio Rudiger dan Eder Militao. Kapten Barca, Sergio Busquets, akan memimpin lini tengah bersama Frenkie de Jong. Keduanya akan bertarung dengan gelandang Madrid, Toni Kroos dan Federico Valverde.
Di belakang, ”Blaugrana” menyiapkan kuartet Jules Kounde, Ronald Araujo, Andreas Christensen, dan Jordi Alba. Kehadiran Araujo usai cedera otot parah pada September 2022 menjadi kabar positif. Pemain asal Uruguay itu menjadi kunci kemenangan Barca atas Atletico, Senin (9/1) dan menang adu penalti 4-2 (2-2) atas Real Betis dalam semifinal Piala Super Spanyol, Jumat (13/1/2023).
Kami memiliki banyak pemain yang belum memenangi gelar. Tetapi, saya melihatnya itu sebagai keuntungan (motivasi lebih untuk juara).
Araujo diyakini bisa menghentikan penyerang Madrid, Karim Benzema ataupun Vinicius Junior. ”Kami memiliki banyak pemain yang belum memenangi gelar. Tetapi, saya melihatnya itu sebagai keuntungan (motivasi lebih untuk juara),” ungkap Xavi.
Mantan pemain dan pelatih Barca, Charly Rexach, dikutip Marca.com, Jumat, menuturkan, Barca punya skuad yang hebat, tetapi mereka perlu menemukan identitas mereka. Blaugrana memiliki identitas tiki-taka begitu kuat di era Pelatih Pep Guardiola 2008-2012. ”Saya yakin Xavi akan segera menemukan identitas yang hilang tersebut,” katanya.
Manajemen Barca menaruh kepercayaan tinggi kepada Xavi walau performa Barca fluktuatif, yakni berjaya di La Liga, tetapi tersingkir dari penyisihan grup Liga Champions musim ini. ”Tidak ada keraguan, Xavi adalah pelatih kami dan kami akan mati bersamanya. Ketika Guardiola mengawali karier, ada juga keraguan dan kami akhirnya memenangi banyak gelar, termasuk kemenangan bersejarah 6-2 atas Madrid (laga tandang musim 2009/10),” ucap Wakil Presiden Barca Rafael Yuste.
Presiden Barca Joan Laporta pun yakin betul timnya akan menghancurkan Madrid pada final Piala Super Spanyol. ”Kami akan menghancurkan mereka,” ujar Laporta, yang coba memberi pesan motivasi untuk timnya melalui beberapa jurnalis yang ditemui dalam perjalanan ke salah satu kamar hotel.
Tuah Carlo Ancelotti
Sebaliknya, grafik penampilan Madrid sedang menurun. Lima laga La Liga terakhir, ”Los Blancos” menang dua kali, imbang sekali, dan kalah dua kali. Pada pekan ke-16 kemarin, mereka kalah 2-1 dari tuan rumah Villarreal. Rentetan hasil kurang memuaskan itu membuat posisi mereka di puncak klasemen dikudeta Barca sejak pekan ke-13.
Namun, Madrid punya kartu as, yakni Pelatih Carlo Ancelotti. Dalam dua periode kepelatihannya, musim 2013/14-2014/15 dan per 2021/22, pelatih asal Italia memiliki tuah tersendiri bagi klub yang identik dengan jersei putih-putih tersebut. Dia bisa membawa Madrid menang tujuh kali dari delapan final yang dijalani. Satu-satunya kegagalan terjadi saat mereka kalah agregat 1-2 (1-1, 0-1) dari Atletico pada final Piala Super Spanyol 2014/2015.
Secara keseluruhan, Ancelotti telah mempersembahkan delapan trofi untuk Madrid. Pelatih berusia 63 tahun itu menjadi pelatih dengan gelar terbanyak ketiga dalam sejarah Madrid, yakni di bawah Miguel Munoz dengan 14 gelar dan Zinedine Zidane (11 gelar).
Ancelotti dalam konferensi pers yang dilansir AS.com, Sabtu, menyampaikan, mereka tidak khawatir dengan motivasi besar Barca ataupun semangat Xavi. ”Saya tidak berpikir Barca lebih lapar, kami terbiasa dengan tekanan ini. Kami percaya diri. Kami hanya memikirkan gelar ini dan Anda harus melangkah selangkah demi selangkah untuk mencapainya. Para pemain mulai menang (juara) sejak 2013 dan terus menang. Perut mereka tidak pernah kenyang,” ujarnya.