Setiap atlet sangat membutuhkan psikolog, bukan sekadar motivator. Pola pikir atlet perlu dibangun agar cepat dan tepat mengambil keputusan saat bertanding dan saat berjuang bangkit dari kekalahan atau cedera.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disiplin ilmu psikologi olahraga masih terasingkan di dunia olahraga Indonesia. Padahal, faktor nonteknis ini menjadi salah satu kunci bagi atlet untuk menggapai prestasi dan bangkit dari kekalahan atau setelah cedera. Banyak atlet yang membutuhkan peran psikolog untuk mengembangkan kariernya.
Ketua Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) Lilik Sudarwati Adisasmito mengatakan, belum banyak cabang olahraga dan atlet yang melek terhadap peran psikolog untuk mendampingi. Sementara, Indonesia bercita-cita bisa masuk dalam lima besar olimpiade 2045 atau pada saat 100 tahun Indonesia merdeka.
Lilik menyebut setiap atlet sangat membutuhkan psikolog yang bukan sekadar motivator. Terlebih dalam cabang olahraga berkelompok yang terdiri dari banyak kepala atlet agar menjadi satu tim yang kompak dan menjadi juara.
Psikologi olahraga ini masih menjadi sesuatu yang asing. Padahal, kalau atlet kalah sering disebut kalah mental, tetapi mentalnya tidak dipersiapkan atau dibenahi ketika kalah di pertandingan.
”Psikologi olahraga ini masih menjadi sesuatu yang asing. Padahal, kalau atlet kalah sering disebut kalah mental, tetapi mentalnya tidak dipersiapkan atau dibenahi ketika kalah di pertandingan,” kata Lilik saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Kamis (12/1/2022).
Menurut Lilik, seorang atlet tidak hanya dilatih fisik dan strateginya, tetapi juga harus dibentuk pola pikir untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam suatu pertandingan. Mantan juara dunia bulu tangkis nomor ganda putri bersama Susi Susanti dan ganda campuran bersama Ricky Soebagdja tahun 1987-1988 itu bercerita saat bermain dulu pikirannya sering berkecamuk, sementara waktu pertandingan terus berjalan.
Dewan Pembina IPO, Enoch Markum, mencontohkan, salah satu peran psikologi olahraga terlihat saat pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie, disingkirkan pemain Jepang, Kenta Nishimoto, pada babak 16 besar Malaysia Terbuka 2023. Enoch menganalisis, Kenta beberapa kali sengaja melakukan delay dengan meminta pergantian kok atau meminta perawatan medis untuk mengontrol permainan Jonatan. Hasilnya, Kenta menang dua set langsung, 15-21, 17-21.
”Sementara Jojo tidak memanfaatkan itu dengan melancarkan serangan cepat setelah delay itu. Ini namanya mental break. Karena atlet kalau lagi enak main tiba-tiba berhenti, dia bisa jadi tidak enak,” kata Enoch.
Pengetahuan psikologis pemain ini tidak dimiliki oleh semua pelatih sehingga peran psikolog sangat penting. Kebanyakan pelatih hanya memberikan motivasi tanpa memperhatikan kondisi psikologis pemain. Hal ini justru membuat pemain menjadi tertekan dan memengaruhi performa atlet.
”Jangan sampai pelatih hanya mengatakan ’kamu bisa, kamu pasti menang, jangan takut kalah’, pemain akan bingung. Seharusnya detail diberi tahu ’kamu harus main lob atau smes keras’ sehingga atlet bisa berpikir cepat,” ujarnya.
Faktor nonteknis lain, seperti banyaknya orang yang tidak berkepentingan masuk ke dalam masa persiapan bertanding, juga bisa memberikan dampak negatif pada psikologis atlet. Alih-alih membangkitkan motivasi, hal itu justru bisa membebani atlet lalu tidak bisa bermain lepas saat bertanding.
Berbagai upaya telah dilakukan IPO untuk mengenalkan disiplin ilmu ini. Salah satunya dengan menjalin kerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pusat untuk membuat pusat kajian olahraga dan program studi Magister Olahraga. Program studi Magister Psikologi Olahraga juga telah dibuka kembali di Universitas Indonesia pada Januari 2023.