Puncak Hilangnya Dominasi Penguasaan Bola di Qatar
Seperti ada aturan tidak tertulis di Qatar, ”jangan memegang bola terlalu lama jika ingin menang”. Fenomena itu semakin nyata jelang akhir turnamen.
Oleh
KELVIN HIANUSA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·6 menit baca
AL RAYYAN, JUMAT — Johan Cruyff, yang kerap disebut sebagai bapak sepak bola modern, selalu percaya tim yang dominan menguasai bola memiliki peluang menang lebih besar. Namun, pemikiran Cryuff itu ternyata tidak terlalu ampuh saat diterapkan di Piala Dunia Qatar 2022.
Kroasia dan Maroko, yang akan bertemu dalam perebutan peringkat ketiga di Stadion Internasional Khalifa, kota Al Rayyan, Sabtu (17/12/2022) WIB, telah membuktikannya. Kedua tim sama-sama mendominasi penguasaan bola saat melawan para tim unggulan di semifinal. Namun, mereka terpaksa menelan kekalahan.
Gelandang Kroasia, Mateo Kovacic, bahkan sempat begitu yakin bakal terus melaju ke babak selanjutnya setelah menaklukkan Brasil di perempat final. Menurut dia, mereka menang karena memegang bola lebih lama.
”Brasil tidak terlalu senang ketika tim lawan mendominasi penguasaan bola. Itu ciri khas mereka,” katanya.
Skema serupa lantas dibawa Pelatih Kroasia Zlatko Dalic ketika bertemu Argentina. Trio gelandang bintang Kovacic, Luka Modric, dan Marcelo Brozovic kembali ditugaskan mendominasi permainan.
Hasilnya, mereka mencatat penguasaan bola hingga 60 persen. Namun, hasilnya jauh dari harapan. Kroasia justru takluk 0-3 dari Lionel Messi dan rekan-rekan.
Maroko sebenarnya paling paham betapa sulitnya menang saat tim menguasai bola. Mereka semifinalis dengan rata-rata penguasaan bola terendah, 32,4 persen.
Sejak fase grup, mereka bermain pragmatis, bertahan, dan mengandalkan efisiensi transisi. Strategi mereka ampuh saat menumbangkan dua raksasa, Spanyol dan Portugal.
Akan tetapi, strategi itu berubah di laga semifinal. Tim berjuluk ”Singa Atlas” itu justru unggul penguasaan bola untuk pertama kalinya sepanjang laga di Qatar. Saat itu, penguasaan bola mereka mencapai 61 persen.
Ujungnya kelam. Mereka kalah 0-2. Hakim Ziyech dan rekan-rekan bagai dipaksa menenggak ”racun” sendiri karena kecolongan gol pada menit ke-5. Rencana bermain pragmatis sudah hancur sejak awal.
”Percuma jika menguasai bola, tetapi tidak efektif. Kami datang untuk menang, bukan memegang bola lebih lama,” ujar Pelatih Maroko Walid Regragui.
Duel semifinal tidak hanya memperlihatkan penguasaan bola bukan lagi jimat kemenangan paling sakti. Tim-tim besar yang unggul kualitas pemain seperti Argentina dan Perancis juga tidak malu-malu bermain pragmatis. Mereka menyadari, penguasaan bola dominan sudah kurang efektif.
Perancis bahkan menjuarai Piala Dunia Rusia 2018 dengan penguasaan bola hanya sekitar 48 persen. Mereka mengubah tren dominan memegang bola yang ditunjukkan dua juara terdahulu, Spanyol dan Jerman. Tren itu dilanjutkan Perancis di Qatar.
Data ESPN memperlihatkan penurunan efektivitas tersebut dalam rentang 16 tahun terakhir. Pada Piala Dunia Jerman 2006, sebanyak 11 dari 13 tim yang menguasai bola di atas 51 persen lolos ke fase gugur. Lima tim di antaranya juga berhasil melaju hingga perempat final.
Di Qatar, hanya sembilan dari 15 tim dengan penguasaan di atas 51 persen yang lolos ke fase gugur. Jerman dan Denmark yang mencatat penguasaan 59,8 persen tidak lolos. Adapun enam tim dengan penguasaan di bawah 38 persen berhasil lolos, antara lain Maroko dan Jepang.
Spanyol, tim dengan rata-rata penguasaan bola tertinggi, 76,8 persen, paling mencerminkan tidak ada yang lebih penting dari efektivitas mencetak gol. Sekadar menguasai bola tidak menjamin kemenangan.
Serangan balik
Mereka kalah dari Jepang yang hanya menguasai bola 17 persen di fase grup dan Maroko (23 persen) di 16 besar. Jepang menjadi tim yang mampu menang dengan penguasaan bola terendah sepanjang sejarah Piala Dunia.
Gelandang Spanyol, Rodri, begitu kesal ketika gugur di 16 besar menghadapi sepak bola negatif Maroko. Dia berkata, tim lawan tidak melakukan apa pun selama pertandingan.
”Mereka hanya menunggu di belakang, sambil menunggu kesempatan untuk menyerang balik kami,” tegasnya.
Padahal, Spanyol juga tidak banyak melakukan sesuatu selain menguasai dan mengoper bola. Maroko justru unggul dalam tembakan akurat di laga itu, 2-1. Spanyol, dengan penguasaan bola yang begitu dominan, hanya mencatat satu tembakan tepat sasaran sepanjang 120 menit, termasuk babak tambahan.
Seperti kata Cruyff, tim memang lebih bisa berkreasi ketika memegang bola. Namun, akan percuma jika tidak punya ide bermain yang jelas untuk menciptakan peluang. Sebab, tim dengan penguasaan dominan sudah pasti akan menghadapi pertahanan berlapis.
Oleh karena itu, tim bergaya dominan dituntut sempurna. Mereka harus punya kreator dan predator berkualitas untuk menghadapi ”parkir bus” lawan.
Saat bersamaan, mereka akan dirugikan jika membuat kesalahan kecil. Gaya tersebut menuntut semua pemain, kecuali saat naik membantu serangan.
Di sisi lain, tim dengan gaya pragmatis hanya perlu menunggu sampai lawan menghasilkan kesalahan. Mereka justru akan mendapatkan peluang lebih mudah dengan pertahanan lawan yang lebih terbuka dalam skema serangan balik.
Demi sejarah
Merujuk data di atas, perebutan tempat ketiga akan kembali menjadi pembuktian tuah penguasaan bola. Kroasia dan Maroko punya gaya berbanding terbalik. Kroasia yang mencatat rata-rata penguasaan bola 55 persen akan tetap mengedepankan kontrol di lini tengah, sementara Maroko mungkin akan berusaha kembali ke gaya pragmatisnya.
Meski tidak bergengsi seperti partai puncak, duel nanti tetap sangat penting untuk kedua tim. Kroasia ingin mempersembahkan hadiah terbaik yang mungkin diraih untuk perpisahan sang kapten, Modric. Modric, yang sudah berusia 37 tahun, kemungkinan besar akan segera pensiun.
”Saya berkata kepada para pemain untuk menegakkan kepala. Kami harus bersiap dan memberikan yang terbaik demi peringkat ketiga. Tidak ada yang perlu disalahkan karena kegagalan (di semifinal). Kami harus bangun segera dan mengakhiri kompetisi dengan manis,” kata Pelatih Kroasia Zlatko Dalic.
Kroasia terakhir kali meraih peringkat ketiga pada Piala Dunia Perancis 1998. Setelah itu, mereka tidak pernah lolos fase grup sampai akhirnya datang generasi emas yang dipimpin Modric pada 2018. Mereka mencapai final pada empat tahun lalu, tetapi takluk dari Perancis.
Bagi Maroko, mereka punya kesempatan untuk menggapai sejarah baru di Piala Dunia. Setelah menjadi semifinalis pertama dari Benua Afrika, mereka bisa menjadi peringkat ketiga untuk pertama kali. Seperti kata Regragui, mereka akan memberi prestasi sebaik mungkin untuk menjadi inspirasi anak-anak di Maroko dan Benua Afrika.
Hanya saja, skuad Maroko tidak dalam kondisi fisik terbaik. Regragui menyebut anak asuhnya berada dalam kondisi 60-70 persen saat semifinal. Kini, mereka harus bermain lagi hanya setelah beristirahat dua hari. Adapun Kroasia mendapat istirahat satu hari lebih panjang.
”Pastinya laga nanti akan sulit. Saya akan memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak bermain (cadangan) dan kami akan berusaha merebut tempat ketiga. Yang penting, kami menampilkan penampilan bagus untuk menunjukkan sepak bola Maroko tidak tertinggal jauh dari level teratas,” jelas Regragui.
Wasit terpilih
Sementara itu, FIFA telah mengonfirmasi wasit Polandia, Szymon Marciniak (41), bakal memimpin pertandingan final antara Perancis dan Argentina, Minggu (18/12/2022). Marciniak bakal dibantu rekan senegaranya, Paweł Sokolnicki dan Tomasz Listkiewicz.
Ia bakal menjadi orang Polandia pertama yang memimpin laga final Piala Dunia. Sebelumnya, wasit FIFA sejak 2011 itu berpengalaman memimpin partai Liga Champions hingga Piala Eropa.
Di Qatar, Marciniak pernah memimpin laga Argentina dan Perancis. Dia menjadi wasit saat Perancis menang 2-1 atas Denmark di babak penyisihan Grup D dan menjadi pengadil saat Argentina menang atas Australia, 2-1, di babak 16 besar.
Sementara itu, wasit Abdulrahman al-Jassim (35) dari Qatar bakal memimpin laga perebutan tempat ketiga. Sebelumnya, dia menjadi wasit di laga penyisihan Grup B yang berujung imbang antara Amerika Serikat dan Wales. Al-Jassim akan dibantu asisten wasit asal Qatar, Taleb al-Marri dan Saoud Ahmed Almaqaleh. (AP/REUTERS)