Penemuan sumber minyak pada 1938 menjadi titik balik kehidupan di Qatar. Kehadiran perusahaan pengelola minyak yang membentuk klub olahraga berperan melahirkan budaya olahraga di negeri minyak itu.
Oleh
m ikhsan mahar dari Doha, Qatar
·5 menit baca
Dalam satu dekade terakhir, Qatar telah identik sebagai bangsa yang punya keterikatan erat dengan olahraga. Berbagai ajang olahraga internasional, mulai dari Asian Games, MotoGP, hingga Formula 1, silih berganti digelar di negara itu. Terakhir, Qatar juga menggelar ajang akbar, Piala Dunia FIFA.
Lebih dari 500 agenda olahraga internasional telah diselenggarakan Qatar sejak 2006. Jumlah itu tentu akan bertambah karena Qatar juga telah ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Asia 2023 dan Asian Games 2030.
Namun, bagaimana sejatinya Qatar, yang baru merdeka dari Inggris pada 1971, mengenal beragam olahraga dan bisa membangun banyak fasilitas modern? Untuk menjawabnya, sumber literasi sulit ditemukan. Kompas pun mendapatkan jawaban dari rasa penasaran itu ketika mengunjungi Museum Olahraga dan Olimpiade Qatar 3-2-1 (3-2-1 QOSM) di Doha, Qatar, Rabu (30/11/2022) lalu.
Perkembangan olahraga dan pendidikan di Qatar amat erat kaitannya dengan penemuan sumber minyak di wilayah Dukhan pada 1938. Dukhan berada di sisi barat Qatar yang berjarak sekitar 80 kilometer dari ibu kota, Doha. Wilayah penghasil minyak itu dikelola oleh Qatar Petroleum, perusahaan milik keluarga penguasa Qatar, Bani Al Thani, dengan Anglo-Persian Oil Company bentukan Pemerintah Inggris. Perusahaan itu membangun sekolah di kawasan Dukhan pada 1939.
Pada awal dekade 1940-an, Qatar Petroleum membangun fasilitas olahraga, seperti sepak bola dan golf, untuk para pekerja ekspatriatnya yang kebanyakan berasal dari Inggris. Bahkan, pada paruh kedua dekade 1940-an, mereka membentuk Dukhan Golf Club yang menjadi komunitas olahraga pertama di Qatar.
Model perkembangan olahraga di Qatar lantas mulai dibakukan seiring terbentuknya klub olahraga muticabang pertama yang berdiri pada 1948, yaitu klub Etihad Al Arab. Di dalam klub itu terdapat sejumlah tim dari berbagai cabor, antara lain sepak bola, tenis meja, tenis lapangan, dan hoki lapangan.
Anggota klub olahraga perintis itu hanya dikhususkan bagi para pekerja di Qatar Petroleum. Bahkan, saat itu, ada pengelompokan dua olahraga berdasarkan pesertanya. Tenis hanya bisa diikuti pekerja asal Inggris, sedangkan hoki lapangan hanya diperuntukkan bagi para pekerja asal India.
Warga Qatar yang bermukim di Doha pun tidak mau ketinggalan membentuk tim olahraga. Klub Al-Najah lantas dibentuk pada 1950 di Doha. Klub itu adalah klub olahraga pertama yang murni didirikan orang-orang asli Qatar.
Hanya sepak bola dan tenis meja yang dimainkan peserta umum. Warga asli Qatar pun dipersilakan untuk turut serta. Sebelumnya, warga Qatar hanya diizinkan menyaksikan ekspatriat bermain olahraga, seperti sepak bola dan golf.
”Kami awalnya tidak punya ide bahwa olahraga itu hal seperti apa. Akan tetapi, kami lantas terbiasa menyaksikan jenis tontonan yang aneh itu,” tutur Ibrahim bin Saleh Bum Matar al-Muhannadi, salah satu pionir warga Qatar yang bekerja di Qatar Petroleum, dalam dokumentasi suara di 3-2-1 QOSM.
Ketika Qatar Petroleum membangun pelabuhan laut dalam untuk kapal tanker pembawa minyak di Mesaieed, yang berjarak sekitar 35 km arah selatan Doha, pada 1949, demam golf lantas mengemuka di wilayah itu. Dua tahun berselang, Mesaieed telah memiliki klub golf. Klub golf itu adalah yang kedua di Qatar, setelah Dukhan.
Pada tahun yang sama atau 1951, turnamen sepak bola pertama digelar di Qatar yang diberi nana turnamen Heseldin. Tim peserta turnamen itu adalah Etihad Al-Arab dan beberapa tim sepak bola milik perusahaan minyak lainnya di kawasan Teluk Persia, misalnya dari Bahrain dan Irak.
Tim sepak bola
Warga Qatar yang bermukim di Doha pun tidak mau ketinggalan membentuk tim olahraga. Klub Al-Najah lantas dibentuk pada 1950 di Doha. Klub itu adalah klub olahraga pertama yang murni didirikan orang-orang asli Qatar. Nama Al-Najah kemudian diubah menjadi Al-Ahli pada 1972.
Dua tahun kemudian, klub olahraga lainnya, Al-Arabi, turut didirikan di Doha. Pendirian kedua klub olahraga itu diawali dengan klub sepak bola. Berbeda dengan Al-Najah atau Al-Ahli yang tetap fokus di sepak bola, Al-Arabi lantas juga memiliki tim bola basket, voli, futsal, dan bola tangan.
Dalam perkembangannya, klub sepak bola juga bermunculan di kawasan sekitar kota Doha. Hal itu ditandai dengan kehadiran klub Al-Khor dan Al-Wakra pada kurun waktu 1950-an. Klub sepak bola itu dijalankan oleh anggota keluarga penguasa Qatar serta memanfaatkan dana patungan aktivitas warga setempat.
Budaya sepak bola di Qatar semakin dipertegas lewat kehadiran klub Al-Mareef yang didirikan Departemen Pendidikan Qatar pada 1957. Tim Al-Mareef adalah proyek resmi pertama keluarga penguasa Qatar, yang ketika itu masih di bawah kendali Kerajaan Inggris, di bidang olahraga. Departemen Pendidikan pun baru berdiri pada 1954.
Klub itu melibatkan 80 laki-laki yang berasal dari 17 sekolah dari seantero Qatar. Mereka bertanding dengan sesama tim Qatar serta bertandang pula ke beberapa negara Teluk. Karena berasal dari institusi pendidikan, tim Al-Mareef diisi oleh individu-individu yang beragam, bukan hanya berasal dari Qatar.
”Al Mareef adalah tim kuat yang melibatkan pemain luar biasa dari Mesir, Sudan, Palestina, dan Lebanon,” tutur mendiang Omar al-Khatib, mantan guru pendidikan fisik, yang sempat menjabat sebagai kapten tim Al-Mareef pada awal tim itu berdiri. Namun, kini tim Al-Mareef itu sudah tidak lagi aktif.
Kompetisi sekolah
Demi meningkatkan budaya olahraga di Qatar, Sheik Jassim bin Hamad al-Thani (1921-1976), Menteri Pendidikan pertama Qatar yang ditunjuk pada 1958, lantas mengerahkan guru-guru olahraga berkualitas di seluruh sekolah Qatar. Ia juga mencetuskan festival olahraga. Dengan demikian, setiap sekolah diwajibkan memiliki tim olahraga untuk saling berkompetisi setiap tahun.
Keberadaan festival itu lalu dilanjutkan dengan pembangunan Stadion Doha di kompleks Sekolah Dasar dan Menengah Doha pada 1958. Stadion yang diresmikan pada 1962 itu menjadi lapangan sepak bola berumput pertama di Doha sekaligus stadion nasional pertama di Doha.
Sebelum stadion itu berdiri, Festival Olahraga Pemuda Qatar, yang dimulai pada 1959, dilaksanakan di lapangan berpasir. Keberadaan festival itu lantas membantu Qatar membentuk tim demi berpartisipasi pada edisi perdana Arab School Games di Kuwait pada 1963. Empat cabang di ajang itu yang diikuti para pelajar Qatar adalah sepak bola, atletik, tenis meja, dan basket.
Aman Abdulkarim mempersembahkan medali pertama bagi Qatar di ajang itu. Ia meraih perak pada perlombaan lari 100 meter. Medali itu dikenang sebagai medali perdana Qatar di ajang olahraga internasional.
Berawal dari prestasi di Arab School Games, Qatar semakin serius mengembangkan pembinaan olahraga mereka. Seusai membangun ekosistem olahraga di lingkungan sekolah, mereka lantas mulai menjajaki penataan olahraga secara profesional dengan membangun federasi olahraga. Lalu, kompetisi resmi pun mulai digelar. (Bersambung...)