Luis Fernando Suarez ingin mengembalikan kebebasan bermain di lapangan. Menurut Pelatih Kosta Rika itu, sepak bola Amerika Latin harus bergulat untuk menentukan kembali identitas diri mereka.
Oleh
SHINDUNATA, Wartawan
·5 menit baca
Dunia bola selalu asyik jika memperoleh berita, tim besar terjengkang secara tak terduga. Tak heran, publik bola heboh menyaksikan Jerman tiarap di kaki Jepang di stadion Ar-Rayyan. Sementara Jepang merasa tiket ke 16 besar sudah di tangan. Bukankah lawan berikut mereka ”hanyalah” tim gurem Kosta Rika, yang jadi bulan-bulanan Spanyol?
Tetapi, seperti kata Thomas Mueller, dalam bola hasil akhir tak dapat dikontrol, apalagi dipesan. Dan itu terbukti lagi ketika di menit ke-81, justru gawang Jepang sekonyong-konyong jebol oleh tendangan Keysher Fuller. Tiket yang sudah di tangan Jepang mendadak raib. Sebaliknya, harapan Kosta Rika yang sudah mati mendadak hidup kembali.
”Saya tidak akan bicara mengenai taktik dan teknik. Yang utama, kami sudah menunjukkan kemampunan kami untuk melakukan hal menakjubkan. Kami harus menghadapi pelbagai tantangan, tetapi kami yakin dan ingin untuk seratus persen memberikan diri bagi negeri kami dengan bermain sebaik-baiknya,” kata Luis Fernando Suarez, pelatih Kosta Rika, setelah Kosta Rika menundukkan Jepang.
Suarez adalah pelatih berpengalaman. Ia pernah membawa Ekuador ke babak 16 besar Piala Dunia 2006 di Jerman, dan di bawah dia pula, Honduras lolos ke Piala Dunia 2014.
Suarez asli Kolumbia, mengapa ia tidak melatih Kolumbia? Pada kolumnis Javier Cáceres ia mengaku, memang ia pernah ditawari menggantikan Javier Alvarez melatih Kolumbia. Tetapi, ayahnya melarang ia menerima tawaran itu.
Sambil tertawa, demikian Suarez mengulang pesan ayahnya, ”Saya melihat pucuk meriam sekarang dibidikkan ke Alvarez. Nanti meriam itu dibidikkan juga padamu.” Memang orang tahu, di Kolombia melayangnya nyawa dekat dengan pelaku bola yang kalah.
Waktu bermain di Atletico Nacional Medellin, Suarez dilatih Francisco Maturana, yang kemudian menjadi pelatih legendaris Kolumbia. Maturana bahkan pernah memercayai Suarez menjadi asistennya. Suarez mengaku, ia sangat berhutang budi pada Maturana dalam karir kepelatihannya.
Mendengarkan, dan bukan indoktrinasi, itulah ajaran Maturana yang dipraktikkan Suarez sampai sekarang. ”Banyak pelatih yakin, perintah adalah paling utama. Saya tidak percaya itu. Saya berusaha agar setiap pemain mempunyai prakarsa dan rasa ikut memiliki kesebelasan,” tutur Suarez.
Suarez pernah bertemu dengan seorang pemain golf profesional. Kata orang itu, dalam bermain golf, orang Kosta Rika lebih berusaha untuk mendekatkan bola ke lubang. Adapun pemain golf Amerika segera ingin memasukkan bola ke dalam lubang. Kelihatan, orang Kosta Rika lebih menahan diri dan mengamati.
Menahan diri itu juga menjadi ciri bola Kosta Rika. Kata Suarez, ”Sikap itu membuat pemain Kosta Rika mengutamakan pertahanan yang kuat. Dalam menyerang, pertahanan tidak boleh dikendorkan.” Suarez bukan omong kosong. Jepang menggempur habis-habisan, tetapi pertahanan Kosta Rika sulit ditembus. Tahu-tahu Kosta Rika mencuri satu gol dari mereka.
Banyak pelatih yakin, perintah adalah paling utama. Saya tidak percaya itu. Saya berusaha agar setiap pemain mempunyai prakarsa dan rasa ikut memiliki kesebelasan.
Suarez mengakui, mengutamakan pertahanan sudah ketinggalan. Sekarang taktik bola lebih ofensif daripada defensif. Permainan menjadi sangat cepat, dan ruang menjadi lebih sempit. Risikonya, sangat sedikit pula tempo bagi pemain untuk mengambil keputusan. Dalam kaitan ini Suarez setuju dengan kritik legenda bola Italia Allesandro Del Piero: Pemain bola sekarang menjadi seperti robot, dan harus banyak patuh pada otomatisasi.
Karena itu Suarez mengusulkan, para pelatih harus bersama-sama berusaha, bagaimana menghumanisasikan kembali sepak bola di zaman ini. ”Kami sering bicara tentang pengambilan keputusan di lapangan. Siapa yang bertanggung jawab? Pemain? Atau pelatih, yang keras menuntut, hingga pemain terpaksa harus merobotisasikan dirinya? Robotisasi pemain itulah yang membuat sepak bola sekarang di mana-mana sama, tanpa kelihatan lagi mana perbedaan identitasnya,” katanya.
Suarez berpendapat, opsi di lapangan sangat banyak. Pemain jangan sampai berpikir sempit, hanya ada opsi tertentu saja. Lebih parah lagi, jika ia mengira, opsi yang benar hanyalah opsi yang ditentukan pelatih. Kalau begitu, ia hanya akan menjalankan fungsi, tanpa kreasi. Agar itu tidak terjadi, ia harus mempunyai kebebasan.
Mengembalikan kebebasan pemain, itulah humanisasi yang harus diupayakan dalam sepak bola di era modern ini. Upaya ini tak berbeda dengan humanisasi terhadap masyarakat modern, yang dewasa ini sangat dicengkeram dengan robotisasi, yang menghilangkan identitas diri.
Menurut Suarez, sepak bola Amerika Latin kiranya harus bergulat untuk menentukan lagi identitas dirinya. Seharusnya Amerika Latin membuat sesuatu yang lain daripada Eropa. ”Tetapi, kami malah berusaha untuk menjadi Eropa. Karena mau menjadi Eropa, kami kehilangan esensi sepak bola kami, yakni kegembiraan bermain dan kreativitas,” kata Suarez.
Suarez pelatih yang sangat idealis. Di hadapan dunia yang serba pragmatis, juga di dunia bola, idealisme susah untuk hidup. Suarez sadar, bahkan anak-anak asuhnya belum tentu bisa menghidupi idealismenya. Apalagi idealismenya itu bukanlah jaminan untuk bisa menang. Tetapi, Suarez tetap optimis.
Di Piala Dunia 2006, Suarez pernah membawa Ekuador berhadapan dengan Jerman di babak penyisihan, dan dikalahkan Jerman, 0-3. Sekarang di Qatar, kembali anak-anak asuhannya, Kosta Rika, harus melawan Jerman dalam pertandingan yang demikian krusial.
Di tepi lapangan, Suarez selalu memakai sepatu kets berwarna merah. Sepatu itu dipakainya setelah ia mengalami cedera tulang. Sejak memakai sepatu merah itu, ia bisa memimpin Kosta Rika lolos ke Piala Dunia 2022. Itu bukan takhayul atau kemauannya. ”Para pemain menginginkannya. Saya boleh telanjang di tepi lapangan, silahkan, sesuka saya, tetapi pesan mereka, jangan sampai saya tanpa sepatuh merah itu,” kata Suarez.
Mustahil Kosta Rika membuat Jerman tak berdaya. Dalam segalanya, Jerman di atas mereka. Jika masih boleh berharap, pemain Kosta Rika mungkin tinggal mengandalkan tuah sepatu merah pelatihnya. Tetapi, apa pun halnya, Kosta Rika patut dipuji karena perjuangan idealisme mereka yang luar biasa.