Ketika Laga Piala Dunia Diganggu Penerobos Lapangan
Ajang sepak bola terbesar sejagat, Piala Dunia, tak luput dari ulah penerobos lapangan, seperti terlihat pada laga Portugal versus Uruguay. Namun, ulah itu tidak sampai berakibat fatal berkat penanganan yang tepat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Piala Dunia, ajang terbesar sepak bola, ternyata tidak steril dari ulah para penerobos lapangan, seperti lazimnya di Tanah Air. Namun, dengan cekatan, petugas sipil di arena laga mengamankan mereka sehingga tak berbuntut panjang dan kematian, seperti Tragedi Kanjuruhan.
Penerobosan (pitch invasion) itu salah satunya terjadi di laga Portugal versus Uruguay pada penyisihan Grup H Piala Dunia 2022 di Stadion Lusail Iconic, Lusail, Qatar, Selasa (29/11/2022) dini hari WIB. Wasit Alireza Faghani (Iran) menghentikan sementara laga itu pada menit ke-51 karena seorang lelaki berkaus logo Superman masuk ke lapangan sambil mengibarkan bendera pelangi simbol LGBTQ.
Sebelum berulah lebih jauh, lelaki yang diketahui bernama Mario Ferri (35), warga Italia, itu lantas dihadang dan digiring ke luar lapangan oleh petugas keamanan sipil atau stewards yang berjaga. ”Saya kembali!” ungkap Mario di Instagram menjelaskan tindakan nekatnya tersebut pada laga itu.
Mario menyebut dirinya sebagai ”pembajak modern” karena sering melakukan ulah serupa sebelumnya, antara lain pada laga Piala Dunia Antarklub 2010 dan Piala Dunia Brasil 2014. Dia punya alasan melakukan hal nekat itu.
”FIFA melarang kapten memakai ban lengan pelangi dan bendera hak asasi manusia. Mereka melarang semuanya, tetapi bukan aku yang seperti Robin Hood,” ungkap Mario.
Di Qatar, Mario menyuarakan sejumlah persoalan sosial-politik, mulai dari perang Rusia-Ukraina, hak-hak kaum LGBTQ, dan diskriminasi hak perempuan di Iran. ”Saya punya beberapa teman perempuan di sana yang menderita. Mereka tidak dihargai,” ujar pria berjuluk ”Si Elang” itu.
Ulah Ferri di sana, apa pun alasannya, mencoreng wajah Italia, negara yang absen di Piala Dunia Qatar. Kementerian Luar Negeri Italia pun menyatakan, pria yang pernah bermain sepak bola di banyak negara itu sempat ditahan kepolisian Iran. Namun, ia lantas dibebaskan tanpa syarat.
Masuknya pengganggu ke lapangan pertandingan juga pernah terjadi di final Piala Dunia Rusia 2018. Saat itu tengah berlangsung laga antara Perancis dan Kroasia. Laga itu akhirnya dimenangi Perancis dengan skor 4-2. Pada pertengahan laga itu, empat orang yang mengaku anggota band punk rockPussy Riot dari Moskwa menerobos masuk ke lapangan. Mereka mengecoh stewards karena berpakaian laiknya aparat.
Tidak ada yang menghentikan kami saat itu. Saya tahu psikologi Rusia, polisi dianggap sakral. Tidak ada yang berani menanyakan izin atau akreditasi jika Anda memakai seragam mereka.
Kesal dengan ulah mereka, yang dianggap memecah konsentrasi dan mengganggu jalannya laga, Dejan Lovren, bek Kroasia, lantas mencekik dan menjatuhkan salah seorang pengunjuk rasa itu. Pussy Riot dikenal sebagai pengkritik keras Presiden Rusia Vladimir Putin yang hadir pada laga final itu bersama Presiden FIFA Gianni Infantino.
”Tidak ada yang menghentikan kami saat itu. Saya tahu psikologi Rusia, polisi dianggap sakral. Tidak ada yang berani menanyakan izin atau akreditasi jika Anda memakai seragam mereka,” ucap Pyotr Verzilov, anggota Pussy Riot, saat diwawancarai BBC dari penjara di Moskwa.
Respons pemain
Gelandang Portugal, Ruben Nevez, mengatakan, penerobosan ke lapangan adalah hal normal. Pemain klub Inggris, Wolverhampton Wanderers, itu bisa memahami alasan aktivis melakukannya. ”Kami tahu apa (isu-isu sosial-politik) yang terjadi di sekitar Piala Dunia Qatar,” katanya.
”Kami juga merasakan (hal) yang dialami para perempuan Iran. Kami paham pesannya, seluruh dunia juga,” ujar Neves mengenai isu diskriminasi hak-hak perempuan di Iran.
Seperti dikatakan Nevez, masuknya suporter ke medan laga bukanlah hal aneh. Ajang paling bergengsi sejagat, Piala Dunia, bahkan tidak luput dari penerobosan itu. Sepak bola, khususnya Piala Dunia, adalah panggung strategis untuk menyuarakan suatu pandangan.
Penerobosan serupa kerap terjadi pula di Indonesia, terakhir pada laga Arema FC versus Persebaya Surabaya di ajang Liga 1 Indonesia di Malang, Jawa Timur, 1 Oktober lalu. Namun, tragisnya, penerobosan oleh Aremania, kelompok suporter Arema FC, itu direspons berlebihan oleh aparat polisi yang menembakkan gas air mata dan berujung tewasnya 135 orang.
Di Piala Dunia, tidak ada petugas keamanan yang berseragam aparat, apalagi sambil menenteng senjata dan gas air mata. Hal itu jelas dilarang FIFA. Sebagai gantinya, dikerahkan stewards yang merupakan gabungan dari petugas keamanan swasta dan sukarelawan sipil. Mereka dikerahkan dalam jumlah yang proporsional, sigap mengawasi, dan terlatih ”melumpuhkan” para penerobos lapangan tanpa harus dibekali senjata mematikan.
Tak pelak, gangguan itu bisa teratasi, tidak meluas, apalagi menimbulkan korban. Berkat pencegahan dan penanganan tepat, penerobosan lapangan ternyata tak lebih dari sekadar pertunjukan. (AFP/JON)