Jerman seperti terbentur pada krisis saat melawan Jepang. Barisan pertahanan rapuh, lini tengah menghadapi teka-teki, dan para penyerang tumpul. Dari belakang ke depan, Jerman menghadapi masalah.
Oleh
SINDHUNATA, wartawan
·4 menit baca
Kejatuhan dewa-dewa. Begitu komentar koran Italia La Repubblica tentang kekalahan dua klub dewa dunia, Argentina dan Jerman. Memang, siapa mengira Argentina bertekuk lutut di hadapan Saudi Arabia, dan Jerman tersungkur di kaki Jepang?
Jerman melangkah ke Stadion Internasional Khalifa, Doha, Qatar, dengan penuh keyakinan. Sebelum ke Qatar, di bawah Hansi Flick, mereka tak pernah kalah. Menang dalam 6 laga, mengantongi 27 gol, dan hanya kebobolan satu gol saja.
Manuel Neuer dan kawan-kawannya malah sempat protes sambil bergaya. Saat sesi foto, mereka menutupkan tangan di mulut. Isyarat mereka menolak larangan kampanye ”One Love” oleh FIFA. Mereka kelihatan begitu percaya diri.
Mengomentari peristiwa tersebut, Algemeen Dagblad, koran Belanda, menulis, ”Jerman menyampaikan pesan dengan pernyataan, tetapi kaki mereka tak ikut bicara, dan takluk terhadap Jepang”. Sebuah kritik sinis terhadap aksi politik, yang tak disertai dengan prestasi bola yang seharusnya diraih oleh kesebelasan raksasa seperti Jerman.
Kekalahan mereka masih dinodai dengan aksi lari jingkrak Antonio Ruediger yang tampak mengejek, ketika ia merasa menang dalam adu lari melawan Takuma Asano. Dietmar Hamann, mantan gelandang Jerman, mengecam aksi Rudiger sebagai tidak profesional, arogan, dan kurang respek terhadap lawan.
Jerman seperti terbentur pada krisis. ”Awal jelek yang tak kami perkirakan,” kata Hansi Flick. Selama ini Flick dikenal sebagai pelatih yang enggan menyalahkan pemain. Kesalahan dianggapnya sebagai akibat dari konstruksi tim yang keliru, dan pelatih ikut ambil bagian di dalamnya. Lain dari kebiasaannya, kali ini ia bahkan menunjuk dengan nama, siapa biang keladi kekalahan Jerman. Dia adalah Niklas Sule, pemain Dortmund, yang menjadi bek Jerman.
Gelandang Ilkay Gündogan membenarkannya. Waktu lawan mendapat tendangan bebas, pemain Jerman seharusnya cepat menyusun formasi pertahanan. Kesempatan itu ada, betapa pun sedikitnya. Tetapi, mereka tidak melakukannya. Malah Sule mengangkat tangannya, meminta off-side. Akibatnya, gawang Neuer pun dibobol Asano, 2-1 untuk Jepang.
Pertahanan Jerman jelas rapuh. Bek Rüdiger dan Nico Schlotterbeck kelihatan rajin merebut bola, tetapi pertahanan linear yang rapi dan khas Jerman seakan hanya tertulis di atas kertas, tidak menjadi praktik di lapangan. ”Saya sangat menghargai Flick. Tetapi, bagi saya, kali ini ia keliru dalam memilih pemain-pemain di garis pertahanan,” kritik mantan gelandang timnas Jerman Sami Khedira.
Kiper Neuer juga tidak sehebat biasanya. Selama ini tangan Neuer diibaratkan kokoh seperti portal Brandenburger atau kastel Neuschwanstein, heritage klasik Jerman. Setelah gawangnya dibobol dua kali oleh Jepang, timbullah keraguan, sekokoh itukah kekuatan tangannya? Jangan-jangan, kiper berumur 36 tahun itu sudah bukan termasuk kiper terbaik dunia. Atau realistisnya, ia ternyata juga manusia biasa.
Di lapangan tengah, Jerman juga seperti berhadapan dengan teka-teki. Di mana pun putih berada, di sana biru berada pula. Datangnya pemain Jepang seperti misteri bagi mereka. Tak heran, Jerman jadi kehilangan kendali, lebih-lebih di lapangan tengah. Kata Khedira lagi, ”Pada babak kedua, kami kehilangan jantung permainan. Padahal, dalam bola ada semboyan: bila kamu bisa mengontrol lapangan tengah, kamu akan mengontrol seluruh permainan.”
Saya sangat menghargai Flick. Tetapi, bagi saya, kali ini ia keliru dalam memilih pemain-pemain di garis pertahanan.
Di depan, Jerman juga tumpul. ”Aneh, tak masuk di akal,” keluh penyerang Thomas Müller. Pendeknya, dari belakang ke depan, Jerman sedang menghadapi problem. ”Tidak setiap passing bola kami membawa pesan,” kritik kapten Neuer. Maksudnya jelas, passing yang dilepas rekannya tidak jelas arah dan tujuannya. Dan Gündogan menambahkan, ”Orang merasa, sepertinya tidak setiap pemain kami berminat memiliki bola.”
Sungguhkah Jerman kehilangan selera untuk menang? Pasti tidak. Jika demikian, Flick harus bekerja keras. Dalam waktu singkat, Flick harus menemukan solusi, dan bisa membangun strategi, yang menjamin kreativitas serta stabilitas kesebelasannya. Hal itu tidak mudah baginya. Masih lagi padanya kemudian datang berita: Spanyol menggilas Kosta Rika, 7-0. Jerman pasti gemetar, karena Spanyol yang sedang menggila itu adalah lawan mereka berikutnya.
Memang, Spanyol sedang menjadi banteng yang ganas. Tulis kolumnis Javier Cáceres, seandainya pertandingan bola adalah pertandingan tinju, Pelatih Kosta Rika Luis Fernando Suárez kiranya harus sudah melempar handuk setelah anak-anak asuhannya dihajar Spanyol, 0-3. Maksudnya, setelah 30 menit pertama sudah jelas di hadapan mata, Spanyol di atas Kosta Rika dalam segalanya. Dilanjutkan dengan perlawanan apa pun, Kosta Rika hanya akan babak belur.
Tak disangkal, malam itu Spanyol bermain luar biasa. Secara individual ataupun tim nyaris tak ada cacatnya. Para pemainnya bermain dengan kesungguhan, menunjukkan kemampuan personal dan teknik yang unggul, bergerak dalam koordinasi rapi, gembira dalam bermain, kreatif, cepat, dan agresif. Sergio Busquets, Cesar Azpilicueta dan Jordi Alba menunjukkan kematangan pengalamannya. Darah muda permainan Spanyol menggejolak, diperagakan oleh pemain muda mereka, Gavi dan Pedri. Mereka menyerang terus, sampai kiper Unai Simón kelihatan menganggur.
Simfoni Spanyol, puji koran Mundo Deportivo. ”Pujian membuat orang lemah dan terlena. Kami tahu hal itu. Kami tidak ingin terperosok ke dalamnya. Jangan lupa dalam pertandingan berikut, kami akan menghadapi Jerman. Dan Jerman harus menang,” kata Pelatih Spanyol Luis Enrique.
Enrique benar. Betapa pun sedang krisis, Jerman bukanlah Kosta Rika. Apalagi, Jerman menganggap pertandingan melawan Spanyol nanti tak ubahnya pertandingan KO. Kalau mereka gugur, bisa jadi mereka sudah harus angkat koper di babak penyisihan, mengulangi tragedi empat tahun lalu setelah mereka dikalahkan Korea Selatan di Kazan.