Jepang ibarat musuh dalam selimut bagi Jerman. Tim ”Samurai Biru” menjungkalkan Jerman, kawah candradimuka pemainnya. Kemenangan Jepang 2-1 atas si raksasa kembali melanjutkan tren positif tim Asia di Piala Dunia Qatar.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·6 menit baca
DOHA, RABU — Tim Jerman seolah menghadapi dirinya sendiri di laga pembuka Grup E Piala Dunia Qatar 2022. Jepang, yang tampil dengan mayoritas pemain dari Liga Jerman, bermain layaknya tim lawan. Dengan ilmu ”curian” itu, Jepang menjungkir-balikkan logika. Diramalkan kalah, tim ”Samurai Biru” justru menenggelamkan ”sang guru”, Jerman.
Bagi para pemain Jepang, Liga Jerman adalah sekolah terbaik. Banyak pemain muda mereka yang dididik di klub-klub Jerman, lalu menjadi bintang Eropa. Hal itu dialami Yasuhiko Okudera pada era 1970-an sampai masa Daichi Kamada saat ini. Mereka belajar banyak di negara spesialis sepak bola itu.
Pengalaman dan ilmu dari liga itu sukses menginspirasi Jepang di Stadion Internasional Khalifa, Doha, Qatar, Rabu (23/11/2022). Gol dari dua pemain yang bermain di Bundesliga, Ritsu Doan (Freiburg) dan Takuma Asano (Bochum), menjadi pahlawan kemenangan Jepang, 2-1, atas Jerman.
Doan dan Asano merusak pesta kemenangan tim lawan yang sudah di depan mata, setelah unggul satu gol hingga menit ke-75. Jepang pun menciptakan sejarah baru dengan mencatat kemenangan pertamanya atas Jerman. Sementara Jerman, untuk kali pertama dari 21 laga, menderita kekalahan setelah unggul lebih dulu pada jeda turun minum.
Tak pelak, para pemain Jepang langsung diselimuti rasa haru dan bahagia setelah laga itu berakhir. Saat peluit panjang berbunyi, seluruh pemain cadangan langsung berlari masuk ke lapangan. Mereka saling berpelukan, seolah sudah memenangi Piala Dunia. Kebahagiaan itu juga tecermin dari wajah pendukungnya yang berseri-seri di tribune stadion.
”Kami telah mencapai standar global. Kami berhasil menunjukkan kapabilitas sepak bola Asia. Ketika kemasukan, kami tetap fokus bermain. Anda harus bisa bermain ngotot untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Terbukti, kami bisa mengambil momen ini pada menit-menit terakhir,” kata Pelatih Jepang Hajime Moriyasu.
Mengganti formasi
Peran Moriyasu sangat besar dalam kemenangan ini. Dia mengganti formasi dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-3 pada babak kedua. Perubahan taktik itu membuat permainan anak asuhannya lebih agresif. Sang pelatih juga memercayai Asano dan Doan untuk memperkaya pilihan di lini serang.
Saya belajar banyak di sana. Itu salah satu alasan mengapa saya datang ke Bundesliga, yaitu untuk memahami sepak bola, budaya Jerman. Itu ternyata berguna untuk melawan Jerman. (Maya Yoshida)
Tim Samurai Biru menang karena sangat mengenal Jerman. Moriyasu menurunkan enam pemain mula yang berkarier di Liga Jerman, antara lain, Maya Yoshida (Schalke 04) dan Wataru Endo (Stuttgart). Selain mereka, ada Doan dan Asano yang masuk dari cadangan. Moriyasu percaya, mereka tidak gentar dengan para pemain Jerman karena sudah sering bertemu di liga domestik.
Menurut Yoshida, kapten tim Jepang, upaya mengenal lawan jauh lebih baik dilakukan dengan bermain langsung dibandingkan hanya dari video. Pengalaman bermain di Bundesliga itulah yang menjadi keuntungan besar mereka.
”Saya belajar banyak di sana. Itu salah satu alasan mengapa saya datang ke Bundesliga, yaitu untuk memahami sepak bola, budaya Jerman. Itu ternyata berguna untuk melawan Jerman. Ada banyak pemain Jepang di sana. Kami semua berusaha memberikan informasi sebanyak mungkin (untuk pelatih),” kata Yoshida.
Kebangkitan Jepang bermula pada babak kedua. Mereka bertaruh untuk memainkan gegenpressing dengan garis pertahanan tinggi. Adapun pada babak pertama Yoshida dan rekan-rekan cenderung tampil pasif dan berhati-hati. Alhasil, mereka hanya menguasai 19 persen bola dan tidak mampu mencetak satu pun tendangan ke arah gawang lawan sebelum jeda turun minum.
Gegenpressing, gaya bermain menekan agresif ala Jerman, itu membuat lawan tidak nyaman. Tim asuhan pelatih Hansi Flick pun kehilangan jati dirinya. Mereka mulai ragu untuk membangun serangan dari bawah, seperti pada babak pertama.
Dengan agresivitas itu, Jepang sering memotong serangan lawan sebelum memasuki daerah mereka. Pasukan Samurai Biru lalu memanfaatkannya dengan transisi serangan balik cepat. Gaya serangan itu seperti meniru permainan ala Jerman, yang biasa diterapkan tim-tim seperti Borussia Dortmund.
Moriyasu mengatakan, sulit harus berhadapan dengan Jerman setelah jasa yang diberikan kepada pemain mereka. ”Kami sangat berterima kasih kepada mereka. Kami berkembang karena belajar banyak dari mereka,” ucap sang pelatih.
Adapun hubungan simbiosis Jepang dan Jerman di sepak bola sudah dimulai sejak 1960-an. Ketika itu, mantan pemain dan pelatih Jerman, Dettmar Cramer, membantu untuk mendirikan liga domestik di Jepang. Dengan sistem liga yang nyaris sama, para pemain Jepang pun bisa beradaptasi dengan mudah di Jerman.
Menurut legenda hidup Jerman, Lothar Matthaus, kemenangan di laga pertama adalah syarat Jerman menjadi juara.
Jepang bisa sedikit lega. Mereka punya kans lolos ke babak 16 besar, meskipun berada di grup neraka yang berisikan pula Spanyol dan Kosta Rika. Mereka juga bisa melepas kutukan siklus delapan tahun di Piala Dunia. Adapun Jepang lolos dari penyisihan grup Piala Dunia pada 2002, 2010, dan 2018.
Malapetaka JermanDi sisi lain, laga itu menjadi debut buruk Flick di turnamen besar. Pelatih yang sukses bersama Bayern Muenchen itu dipaksa menghadapi dejavu. Pada edisi sebelumnya, tim ”Panser” juga memulai penyisihan grup dengan buruk, yaitu dikalahkan Meksiko. Kekalahan itu memukul mental mereka. Jerman pun gagal lolos ke babak gugur.
Minimnya penyerang murni menjadi masalah yang tidak bisa dihindari tim Panser. Pada laga itu, Flick menempatkan Kai Havertz sebagai penyerang false nine alih-alih memainkan penyerang murni, seperti Youssouffa Moukoko, sejak menit awal laga tersebut. Mereka pun kesulitan mencetak gol dari permainan terbuka. Satu-satunya gol Jerman di laga itu dicetak oleh gelandang Ilkay Gundogan lewat titik penalti. Padahal, Jerman melakukan percobaan tembakan sebanyak 23 kali.
Flick, dengan formasi permainan 4-2-3-1, sebetulnya telah membuat permainan Jerman menjadi lebih agresif dan atraktif. Jadi, tidak seperti pendahulunya, Joachim Loew, yang berfokus pada penguasaan bola semata. Pergerakan pemain sayap Serge Gnabry dan gerakan lini kedua dari gelandang Jamal Musiala sangat berbahaya. Namun, tidak ada yang bisa menjadi eksekutor peluang.
Akibat kekalahan mengejutkan itu, peluang Jerman untuk lolos ke fase gugur, apalagi juara, menipis. Menurut legenda hidup Jerman, Lothar Matthaus, kemenangan di laga pertama adalah syarat Jerman menjadi juara. Jerman selalu menang pada laga pembuka ketika meraih trofi Piala Dunia di empat edisi berbeda, yaitu 1954, 1974, 1990, dan 2014.
”Laga pertama di setiap turnamen selalu penting. Hal itu mengatur warna seharusnya sepanjang kompetisi,” kata Mathaus, yang mengantar Jerman juara pada 1990.
Persiapan terbatas
Menurut gelandang Jerman, Joshua Kimmich, turnamen di Qatar kali ini memang sangat sulit karena terbatasnya persiapan. ”Rasanya aneh Piala Dunia ada di pertengahan musim (kompetisi domestik). Biasanya, Anda punya waktu persiapan mental dan fisik selama beberapa pekan untuk turnamen. Kami nyaris tidak ada persiapan. Itu memengaruhi segalanya,” ungkap Kimmich.
Apa pun alasannya, hasil laga itu membuat tren kejutan di Qatar terus terjadi. Pada hari sebelumnya, Arab Saudi juga mengejutkan, yaitu menjungkalkan Argentina, 2-1. Serupa Jerman, Argentina unggul lebih dulu lewat penalti. Kemenangan itu membuat Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menetapkan hari libur nasional, sehari setelah laga.