Qatar memang tidak mengecewakan kami ketika membayangkan citra negara makmur. Hanya saja, kami terkejut bisa mengalami dua insiden unik yang selama ini normal terjadi di Tanah Air.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR dari Doha, Qatar
·3 menit baca
Tidak perlu terkejut membaca tajuk dari rubrik ini, yang menyebut Qatar sebagai ”Negeri Hujan”. Kini, Qatar seperti negara Timur Tengah lain yang hanya bisa merasakan hujan satu atau dua kali setiap tahun.
Namun, Ali Ghanim al-Hajri dalam buku ”Qatar di Mata Penjelajah dan Arkeolog” (2020) menyebut, nama Qatar bersumber dari fenomena hujan deras yang menjadi ciri khas kawasan itu dibandingkan wilayah tetangganya di Timur Tengah. Curah hujan hingga dua meter tercatat oleh ahli geologi di wilayah pesisir Qatar, abad ke-4 sebelum masehi.
Fenomena itu menjadikan wilayah itu disebut ”Qatar”, diadopsi dari bahasa Arab, al-qathr, yang berarti tetesan air, dan bentuk jamak al-qithaar yang memiliki makna hujan. Jadi, sebutan ”Negeri Hujan” lebih didasari kondisi historis negeri yang kini makmur berkat minyak dan gas tersebut.
Berbicara tentang terkejut, kami juga mengalami hal itu selama nyaris sepekan berada di Qatar untuk meliput pesta sepak bola terbesar di bumi, Piala Dunia 2022. Keterkejutan itu tidak hadir setelah menyaksikan gedung pencakar langit dengan desain arsitektur menawan dan di luar kewajaran. Bukan pula karena penataan kota yang baik dan bersih.
Kami terkejut justru karena dua hal kecil yang biasa terjadi di Indonesia. Meski hal kecil itu sebenarnya bukan hal yang baik, tetapi telah menjadi sesuatu yang normal di Tanah Air.
Pertama, kami terkejut karena Qatar juga sempat mengalami masalah koneksi internet. Kami mengalami itu ketika hendak mengambil kartu identitas peliput Piala Dunia 2022, Selasa (15/11/2022).
Untuk mengambil tanda pengenal yang menjadi akses masuk seluruh fasilitas yang dikoordinasikan FIFA di Qatar, mulai dari pusat media, festival fan, hingga stadion, kami telah berjalan kaki hampir 2 kilometer dari pintu keluar Stasiun Qatar National Library menuju parkir basemen Qatar National Convention Centre.
”Jaringan internet sedang bermasalah. Silakan menunggu dulu di ruang tunggu,” kata salah satu sukarelawan, ketika kami menghampiri salah satu loket pengambilan kartu identitas liputan.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, koneksi internet pulih. Kami akhirnya bisa menerima kartu identitas yang amat berharga itu.
Naik bus umum
Setelah insiden koneksi internet, kami kembali mengalami peristiwa yang yang tidak kami duga bisa terjadi di Qatar. Pengalaman ini hadir dalam perjalanan menuju Stadion Al Bayt, arena pembukaan dan laga perdana Piala Dunia 2022 antara Qatar lawan Ekuador, Minggu (20/11).
Jaringan internet sedang bermasalah. Silakan menunggu dulu di ruang tunggu
Untuk mencapai stadion berjarak 35 kilometer dari pusat kota Doha itu, kami menaiki bus umum dari Stasiun Lusail. Bus umum menjadi satu-satunya transportasi publik yang bisa menjangkau stadion itu di luar hari pertandingan. Pada hari pertandingan, tersedia bus pengumpan dari Stasiun Lusail.
Akibat tidak ada bus pengumpan, kami menaiki bus nomor 722 menuju kota Al Khor. Awalnya, kami bertanya kepada sopir bus tentang tujuan Stadion Al Bayt. Ia menjawab, ”Bus ini tidak menuju stadion (Al Bayt), tetapi kamu tetap bisa naik bus ini jika mau ke stadion”.
Setelah hampir 30 menit perjalanan menempuh jalan besar setara jalan tol di Jakarta, kami bisa melihat Stadion Al Bayt di sisi kiri jalan. Tiba-tiba bus berhenti, sopir berteriak, ”Stadion, stadion”.
Tak disangka, yang dimaksud sopir menurunkan kami dekat stadion, ternyata benar-benar menurunkan kami setelah stadion terlihat di sisi jalan raya. Kami diturunkan di sisi jalan raya, di depan pagar besi pembatas jalan yang membatasi jalan dengan parit pasir di sisi jalan.
Lalu, bagaimana kami menuju Stadion Al Bayt? Kami harus menempuh perjalanan sekitar 1,5 km memutari lapangan parkir stadion, lalu naik ke jembatan penyeberangan di atas jalan besar itu.
Perjalanan itu terasa lebih berat karena matahari terik yang seakan menusuk kulit. Suhu yang tertulis di aplikasi cuaca telepon seluler memang normal di angka 30 derajat Celcius, tetapi matahari di Timur Tengah tidak ramah bagi kulit kami yang terbiasa dengan matahari ramah khas wilayah tropis.