Persiapan Liga 1 Jalan Terus Saat Aremania Masih Perjuangkan Keadilan
PSSI, Kemenpora, PT LIB, dan Kepolisian akan rapat persiapan memulai kembali lagi Liga 1. Saat bersamaan, Aremania berangkat ke Jakarta untuk menuntut keadilan Tragedi Kanjuruhan.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI terus bersiap untuk menggelar kembali kompetisi BRI Liga 1 yang ditargetkan mulai 2 Desember 2022. Di sisi lain, keluarga Aremania yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan masih memperjuangkan keadilan.
Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan mengatakan, pihaknya diundang Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk rapat koordinasi persiapan memulai kembali kompetisi pada Jumat (18/11/2022). Rapat ini juga melibatkan Kepolisian RI dan PT Liga Indonesia Baru, serta sejumlah pihak terkait sepak bola nasional.
"Besok kami rapat koordinasi dulu di Kemenpora pukul 10.00, dipimpin Pak Menpora. Nanti kita lihat perkembangannya," kata Iriawan saat ditemui di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Kamis (17/11).
Iriawan menyebut Satuan Tugas Transformasi Sepak Bola Indonesia juga sudah mengirimkan hasil finalisasi regulasi dan standar operasional prosedur atau SOP pertandingan sepak bola ke Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainudin Amali. Hal ini juga akan dibahas dalam rapat di Kemenpora sebelum diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
"Sudah selesai, sudah dikirim ke Menpora. Tinggal nanti beliau melaporkan ke Pak Presiden," ucap Iriawan, yang juga menjabat Ketua Satgas. Satgas ini bertugas menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan regulasi olahraga, hingga penerbitan pedoman peraturan yang diterbitkan oleh instansi terkait.
Beberapa lembaga dan kementerian yang terlibat dalam satgas ini antara lain Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Polri, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), PSSI, dan PT Liga Indonesia Baru (LIB).
Dihubungi terpisah di Jakarta, Kamis, anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF Tragedi Kanjuruhan, Akmal Marhali meminta pemerintah untuk cermat mempertimbangkan faktor keamanan pertandingan sebelum memulai kembali kompetisi. TGIPF melihat tidak ada reformasi yang signifikan dari PSSI maupun PT LIB selaku badan penyelenggara sepak bola nasional selepas Tragedi Kanjuruhan.
"Sejauh ini, belum ada langkah konkret dari PSSI dan PT LIB untuk meyakinkan pemerintah dan suporter untuk menyelenggarakan pertandingan yang aman. Inggris misalnya, ketika terjadi Tragedi Hillsborough, mereka langsung melakukan pembenahan total hingga sekarang jadi liga terbaik. Jadi jangan hanya minta untuk diizinkan kompetisi tetapi tidak melakukan perbaikan," kata Akmal.
Dia juga menekankan pemerintah agar mengawal rekomendasi yang dibuat TGIPF Tragedi Kanjuruhan untuk pemangku kepentingan di sepak bola nasional agar sepenuhnya dijalankan. "Kemenpora harus tegas kepada PSSI dan LIB untuk menjalankan rekomendasi itu, percuma TGIPF dibuat presiden kalau tidak dijalankan," tegasnya.
Koordinator Save Our Soccer itu melihat sejauh ini baru Polri yang secara serius menjalankan rekomendasi TGIPF, salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pengamanan Penyelenggaraan Kompetisi Olahraga yang berlaku sejak 4 November 2022. Dalam peraturan ini ditegaskan bahwa polisi tidak boleh lagi membawa senjata api dan gas air mata. Polisi hanya dibekali helm, tameng, dan tongkat selama mengamankan pertandingan.
Aremania masih berjuang
Pada hari yang sama, puluhan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk memperjuangkan keadilan bagi korban. Kedatangan mereka ke Jakarta untuk mendesak tuntas peristiwa yang mengakibatkan 135 orang meninggal dunia di Stadion Kanjuruhan, Malang pada 1 Oktober tersebut.
Dalam pertemuan ini keluarga korban yang didampingi oleh LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyampaikan apa yang mereka rasakan pada pasca Tragedi Kanjuruhan. Misalnya, serangkaian aksi menuntut keadilan yang mereka lakukan diintimidasi hingga dituduh dimobilisasi oleh orang tertentu, padahal gerakan mereka adalah murni demi mendapatkan keadilan.
"Hari ini ketika teman-teman mau datang ke Jakarta, ada imbauan kepolisian yang meminta agar Aremania tidak datang ke Jakarta. Bus yang mereka sewa juga hampir dibatalkan. Secara psikologis, bagi keluarga korban ini merupakan bentuk intimidasi," kata Andi Irfan dari KontraS kepada wartawan usai pertemuan tersebut.
Dia juga menyebut, tidak ada upaya pendampingan psikologis dari pemerintah maupun PSSI, pendampingan itu justru datang dari Komnas HAM. Selain ke Komnas HAM, keluarga korban juga berencana membuat laporan kepolisian baru ke Badan Reserse dan Kriminal Polri sebagai desakan keseriusan polisi, dan mengadu ke Ombudsman RI untuk melihat potensi maladministrasi dalam menjalankan pertandingan sepak bola.
Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyatakan, pihaknya akan melanjutkan kerja komisioner sebelumnya yang sudah membuat rekomendasi hasil dari penyelidikan Komnas HAM atas Tragedi Kanjuruhan. Komnas HAM akan membantu Aremania untuk mendapatkan keadilan.
"Untuk rekomendasi yang sudah kami tuliskan itu, kami akan mengecek sejauh mana rekomendasinya ditindaklanjuti. Termasuk terkait dengan pendampingan psikologis bagi korban yang sampai hari ini disebut belum ditindaklanjuti," kata Uli.
Aremania juga mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo terkait penyelesaian kasus Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 jiwa dan ratusan lainnya terluka. Mereka berharap Presiden ikut membantu mengawal proses hukum yang kini tengah berjalan. Surat dikirim melalui Kantor Pos Malang di Jalan Merdeka Selatan, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (17/11/2022).
Surat-surat yang dikirim menggunakan amplop putih dan coklat itu berisi suara dan keresahan Aremania serta korban tragedi Kanjuruhan dalam melihat penanganan kasus. Hampir 50 hari pasca tragedi, penyidik baru menetapkan enam orang tersangka. Hal ini dinilai belum memenuhi rasa keadilan bagi korban. (Kompas.id, 17/11).