IADO akan menyelenggarakan Seminar Akbar-Anti Doping di Jakarta akhir November ini. Seminar itu diharapkan membuat semua pihak terkait lebih sadar dan displin dalam mematuhi aturan-aturan anti-doping.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Untuk memperkuat sosialisasi dan edukasi kepada pemangku kepentingan, Organisasi Anti-Doping Indonesia atau IADO akan menyelenggarakan Seminar Akbar Anti-Doping di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (30/11/2022). Ada tiga isu yang bakal menjadi topik utama, yakni penyamaan persepsi dengan cabang olahraga yang masih pro-kontra, penggunaan sistem digital dalam pemantauan atlet, dan mendengarkan arahan dari perwakilan Badan Anti-Doping Dunia atau WADA.
”Ini adalah kelanjutan dari upaya edukasi yang sudah kami lakukan dengan turun langsung ke lapangan menemui pemangku kepentingan terkait satu per satu, antara lain ke pemerintah daerah dan pengurus induk cabang olahraga. Kami sadari itu belum maksimal, sehingga perlu ada satu acara mempertemukan semua pihak terkait tersebut. Tujuannya, agar semua mendapatkan pemahaman yang sama,” ujar Ketua Umum IADO Gatot S Dewa Broto pada konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/11).
Gatot mengatakan, pihaknya mengundang sekitar 250 orang, terdiri dari pengurus induk organisasi, atlet, pelatih, dan tim pendukung pemusatan latihan nasional dari sekitar 40 cabang yang olahraga berisiko dengan doping. Diundang pula kepala dinas olahraga, akademisi perguruan tinggi, Komite Olahraga Nasional Indonesia, Komite Olimpiade Indonesia, Komite Paralimpiade Nasional Indonesia, dan beberapa kementerian/lembaga tinggi negara.
Seminar anti-doping pertama di Indonesia itu akan dihadiri perwakilan WADA, yakni Manajer Kantor Asia-Oseania WADA Saravana Perumal dan Direktur Jenderal Organisasi Anti-Doping Regional Asia Tenggara (SEARADO) Gobinathan Nair. Acara itu rencanannya dibuka langsung oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali.
”Selama ini, keberadaan IADO dianggap bertolak belakang atau menghalangi usaha cabang olahraga memenuhi target prestasi dari pemerintah. Daftar doping yang ada seolah untuk menakut-nakuti. Padahal, kami hanya ingin memastikan kita bisa berperstasi dengan benar atau sesuai aturan. Dengan hadirnya WADA di seminar itu, mungkin para pemangku kepentingan terkait itu bisa lebih percaya atau memahami maksud tujuan kami,” kata Gatot.
Bentuk keprihatinan
Gatot menuturkan, ada 11 aturan anti-doping yang tidak boleh dilanggar oleh atlet dan tim pendukung. Dimulai dari adanya zat terlarang dalam sampel darah atau urine (presence), penggunaan atau percobaan penggunaan zat terlarang atau metode terlarang (use), menghindari atau menolak pengumpulan sampel (evasion), keberadaan sulit diketahui (whereabouts failures), dan merusak atau mencoba merusak bagian dari kontrol doping (tampering).
Selama ini, keberadaan IADO dianggap bertolak belakang atau menghalangi usaha cabang olahraga memenuhi target prestasi dari pemerintah.
Kemudian, kepemilikan zat terlarang atau cara terlarang tanpa alasan yang bisa diterima (possession), memperdagangkan atau mencoba menjual zat terlarang atau metode terlarang (trafficking), pemberian atau percobaan pemberian zat terlarang atau cara yang dilarang kepada atlet (administration to an athlete), membantu, mendorong, bersekongkol, atau menutup-nutupi segala kegiatan yang melanggar (complicity), dan berasosiasi dengan pihak yang tidak memenuhi syarat (prohibited association). Terakhir, melarang atau mengancam terhadap pelaporan kepada pihak berwenang dengan itikad baik (discourage or retaliate).
Dalam sejumlah upaya edukasi, lanjut Gatot, ada hal yang cukup memprihatinkan. Misalnya, ada beberapa pelatih yang bosan dengan kegiatan tersebut. Padahal, dalam aturan WADA, pelanggaran doping bukan sekadar karena atlet mengonsumsi zat yang dilarang, melainkan bisa karena pelatih tidak kooperatif seperti menghalang-halangi atlet melakukan tes doping.
”Ada beberapa pertanyaan yang muncul itu agak aneh, kok baru ditanyakan sekarang? Apakah betul-betul tidak tahu atau sekadar mau tanya saja. Terlepas dari itu, artinya kami perlu terus memberikan edukasi agar punya pemahaman yang sama dengan pihak-pihak terkait,” tutur Gatot.
Hal lain yang harus dibenahi adalah memastikan semua atlet lebih sadar dalam memberitahu keberadaannya. Caranya dengan mendaftar dalam aplikasi Anti-Doping Administration & Management System (ADAMS). Selama ini, ada atlet yang sulit diketahui keberadaannya atau dihubungi. Padahal, dia masuk dalam daftar atlet yang akan dimintai sampel. Bahkan, ada kecenderungan seperti kejar-kejaran dengan atlet bersangkutan.
”Dalam aturan WADA, memang ada syarat-syarat administrasi tertentu yang wajib dipenuhi oleh atlet. Bahkan, atlet yang niat pensiun atau ingin kembali aktif dari masa pensiun juga wajib melaporkannya kepada WADA melalui organisasi anti-doping nasional di negaranya masing-masing,” jelasnya.
Menurut Gatot, berkaca dengan sanksi yang dijatuhkan WADA kepada Indonesia selama kurang lebih empat bulan dari akhir 2021 hingga awal 2022, sanksi itu bisa terjadi dari banyak faktor. Untuk memastikan insiden itu tidak terulang, butuh kesadaran bersama dari pihak-pihak terkait, dari atlet, pelatih, pengurus cabang, sampai pemerintah. ”Kalau tidak ada dukungan yang positif terhadap kinerja IADO, hal itu bisa berakibat fatal yang dirasakan semua pihak, seperti sanksi yang kita terima kemarin,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal IADO Eka Wulan Sari menerangkan, aturan WADA bersifat sangat dinamis. Mengenai daftar zat yang dilarang contohnya, itu terus berubah setiap tahunnya. Bisa jadi ada zat yang dahulu tidak dilarang menjadi dilarang, atau ada zat yang dahulu dilarang menjadi tidak dilarang. Pengumuman dilakukan tiga bulan sebelum penetapan atau masa berlaku setiap awal Januari. ”Maka itu, kami harus terus memberikan edukasi. Sebaliknya, pihak-pihak terkait harus pro-aktif mencari info-info terbaru. Semua ini untuk kepentingan kita bersama,” ujarnya.