Mendamba LADI yang Profesional
Sanksi WADA yang berulang menimbulkan kesan pengawasan doping belum menjadi prioritas di Indonesia. Lembaga Antidoping Indonesia diharapkan makin profesional sebagai ujung tombak pelaksana program pengawasan doping.
Tahun ini Indonesia kembali terbentur permasalahan sanksi doping dari Badan Antidoping Dunia atau WADA. Sebelumnya pada 2016, Indonesia juga dijatuhi sanksi oleh WADA. Saat itu, WADA menilai program tes doping Indonesia cacat karena pemeriksaan sampel dilakukan di tempat yang tidak terakreditasi WADA.
Kali ini, WADA menghukum Indonesia karena tidak mampu melaksanakan rencana jumlah tes doping tahunan (test doping plan/TDP) untuk tahun 2020 dan 2021. Lembaga Antidoping Indonesia (LADI) beralasan, pandemi Covid-19 membuat pelaksanaan TDP terkendala karena sejumlah ajang olahraga dibatalkan. Sebagai gambaran, untuk tahun 2021, LADI hanya menyelesaikan 122 tes dari total 192 tes yang harus dilaksanakan pada kuartal ketiga dan keempat.
Baca juga : Terbuka, Peluang Indonesia Segera Terbebas dari Sanksi WADA
Permasalahan berulang ini memunculkan kesan bahwa program pengawasan antidoping masih belum begitu diprioritaskan para pemangku kebijakan terkait. LADI sebagai ujung tombak pelaksana program antidoping belum maksimal memainkan perannya.
Akibat sanksi itu, Indonesia dilarang mengibarkan bendera Merah Putih di ajang olahraga internasional. Selain itu, kesempatan Indonesia untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional juga terancam. Sanksi dari WADA itu berlaku selama satu tahun sejak diumumkan pada 8 Oktober 2021.
Momen paling getir dari dampak sanksi tersebut adalah tim bulu tangkis putra Indonesia tidak bisa mengibarkan bendera nasional saat menjuarai Piala Thomas 2020 di Aarhaus, Denmark, pada Oktober 2021.
Sang Merah Putih lantas digantikan bendera logo Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Padahal, Indonesia telah menantikan Piala Thomas kembali ke pangkuan setelah 19 tahun lamanya.
Baca juga : Pertemuan dengan WADA Ditargetkan Sebelum Akhir Tahun
Di saat penantian panjang itu berakhir, sanksi WADA membuat perayaan keberhasilan memulangkan Piala Thomas menjadi tidak lengkap. Selanjutnya, Indonesia juga tidak bisa mengibarkan bendera apabila berhasil menjuarai Piala AFF di Singapura.
Mata publik dan pemangku kebijakan olahraga baru terbelalak ketika menyadari sanksi WADA berdampak seserius itu dalam keikutsertaan Indonesia di ajang internasional. Maka dari itu, pemerintah segera membentuk Gugus Tugas Percepatan Penyelesaian Sanksi WADA.
Tim tersebut bertugas mencari tahu penyebab sanksi terhadap Indonesia dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang diperlukan agar Indonesia bisa kembali mendapat kategori patuh (compliance) oleh WADA. Selama memenuhi persyaratan yang diperlukan, LADI mendapat pendampingan dari Lembaga Antidoping Jepang (JADA).
Dalam proses mencari tahu penyebab sanksi dijatuhkan, permasalahan akut yang terpendam di dalam LADI sedikit demi sedikit mulai terkuak. Temuan tim gugus tugas menyebutkan, selain ketidakmampuan memenuhi rencana jumlah tes doping tahunan, LADI juga menunggak tagihan kepada Laboratorium Antidoping Qatar sekitar Rp 300 juta sejak 2017.
Baca juga : LADI Menanti Evaluasi WADA
Masalah komunikasi
Wakil Ketua Umum LADI dr Rheza Maulana berdalih, tunggakan tagihan tersebut baru diketahui oleh kepengurusan LADI yang baru pada saat melakukan peninjauan kembali terhadap nota kesepahaman dengan Laboratorium Antidoping Qatar. Dengan begitu, ada persoalan komunikasi atau koordinasi antara kepengurusan lama dan baru di LADI.
Selama ini LADI memang melakukan pemeriksaan sampel doping di laboratorium luar negeri. Itu karena Indonesia belum memiliki laboratorium pengetesan doping yang mendapat sertifikasi dari WADA. Karena itu, memiliki laboratorium pengetesan doping yang terakreditasi WADA menjadi mendesak.
Pengujian sampel urine dan darah selama ini dilakukan di negara lain, yang memiliki laboratorium terakreditasi WADA. Biaya yang dibutuhkan untuk memeriksa sampel di laboratorium luar negeri cukup besar.
Untuk uji sampel doping di India dibutuhkan biaya setidaknya sekitar Rp 2,9 juta per sampel urine atau Rp 4,35 miliar untuk 1.500 sampel. Biaya tersebut mengalami kenaikan dibandingkan biaya pada tahun 2011-2012. Itu belum termasuk anggaran pengiriman sampel yang mencapai Rp 7 juta per paket.
Baca juga : Permasalahan Tertunda Ditargetkan Tuntas dalam Dua Hari
Indonesia akan memperoleh manfaat yang besar apabila pengujian doping dilakukan di dalam negeri. Pengujian doping bisa dilakukan lebih cepat dan hemat. Selain itu, akan menambah pengalaman sumber daya manusia di Indonesia.
Persoalan tunggakan dan ketidakmampuan memenuhi rencana tes doping tahunan itu termasuk dalam 24 permasalahan tertunda (pending matters) yang harus diselesaikan Indonesia agar sanksi WADA bisa segera dicabut.
Selain persoalan tunggakan dan eksekusi rencana tes doping tahunan, mayoritas permasalahan tertunda yang harus diselesaikan LADI berkaitan dengan persoalan administrasi.
Pembenahan LADI
Tugas utama LADI adalah melakukan sosialisasi dan mengawasi pelaksanaan program antidoping WADA di Indonesia. Pengambilan sampel urine atlet secara acak pada saat kompetisi resmi berlangsung (in-competition) dan di luar kompetisi (out of competition) menjadi tugas utama LADI.
Selain itu, melatih para pengawas dan petugas pengambil sampel urine, doping control officer, menjadi tugas lain yang tak kalah penting. LADI, seperti WADA, bertugas menjadi penjaga penerapan nilai-nilai sportivitas dalam berbagai cabang olahraga.
Baca juga : KOI Jalin Komunikasi Langsung dengan WADA
Jatuhnya sanksi WADA menunjukkan tugas-tugas LADI tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, sanksi WADA adalah ”cambuk” bagi LADI untuk bertransformasi menjadi lembaga yang lebih profesional.
Dari pendampingan bersama JADA, ada beberapa masukan yang disampaikan Chief Executive Officer JADA Shin Asakawa terkait kelembagaan LADI. Struktur organisasi LADI, katanya, harus diisi oleh pengampu dan penanggung jawab penuh waktu yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan pihak mana pun.
LADI juga harus bersifat independen, mandiri, dan tidak berada di bawah pengaruh lembaga lain. Independensi juga harus ada dalam penganggaran untuk operasional organisasi. Hal ini cukup penting mengingat badan antidoping sebuah negara juga memiliki fungsi pengujian dan pemberian edukasi terkait program antidoping.
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali telah menegaskan keinginan pemerintah untuk menjadikan LADI lebih independen dan profesional. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Baca juga : Tim Bekerja Cepat Selesaikan Masalah Sanksi WADA
Dalam Pasal 85 Ayat 1 dan 3 UU SKN disebutkan, pengawasan doping dilakukan oleh pemerintah. Ayat inilah yang coba diubah dengan nantinya mengatur pengawasan doping akan berada di bawah LADI sebagai kepanjangan WADA.
Sebelum UU SKN tuntas direvisi, peluang WADA untuk mencabut sanksi masih tertutup. Revisi UU SKN diperkirakan baru rampung pada Maret 2022. Musibah sanksi WADA ini menyadarkan kita semua bahwa aspek pengawasan doping sama sekali tidak boleh disepelekan.
Semoga tahun depan, dengan upaya keras dari semua pihak, LADI semakin dikelola secara profesional. Dengan begitu, cukup tahun ini insiden sanksi WADA menghampiri Indonesia.