Alphonso Davies, dari Kamp Perang ke Piala Dunia Qatar 2022
Kisah pesepak bola muda, Alphonso Davies, ibarat dongeng. Bek sayap itu pernah merasakan getirnya kehidupan sebagai anak pengungsi. Dua dekade berlalu, ia menjelma bintang dan ingin bersinar di Piala Dunia Qatar 2022.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·6 menit baca
Di usia yang masih belia, ketika tampil di sejumlah pertandingan tingkat sekolah dasar, Davies telah memperlihatkan bakatnya.
Pada usia 15 tahun 8 bulan, Davies menjadi pemain termuda dari Kanada yang bermain di Liga Utama Amerika Serikat (MLS).
Untuk merekrut Davies, ”Die Bayern” mengeluarkan mahar senilai 22 juta dollar AS atau setara Rp 344 miliar. Angka itu adalah rekor nilai transfer termahal yang pernah didapat klub MLS.
Ketika mayoritas pesepak bola baru mulai meniti karier profesionalnya di usia 22 tahun, Alphonso Davies, gelandang atau bek sayap kiri Bayern Munchen, sudah berjejal prestasi cemerlang. Davies ibarat veteran perang yang telah kenyang pengalaman sekaligus bergelimang prestasi. Empat gelar juara Bundesliga Jerman, trofi Liga Champions Eropa, dan Piala Dunia Antarklub FIFA, adalah sejumlah capaian hebat dalam karier profesionalnya di sepak bola yang masih membentang jauh.
Namun, kegemilangan yang telah didapatnya di usia muda ini amat jauh dibandingkan dengan perjalanan hidupnya pada masa kecil. Putra dari pasangan Debeah Davis dan Victoria Davies ini lahir menjelang akhir pergantian milenium ketiga, yaitu tepatnya pada 2 November 2000, di kamp pengungsian di Ghana, Afrika Barat.
Di kamp itu, Davies menghabiskan empat tahun awal kehidupannya sebagai pengungsi karena orangtuanya menghindari perang saudara di Liberia, kampung halamannya. Mereka tidak ingin menjadi korban seperti sanak saudaranya. Perang saudara jilid kedua di Liberia yang berlangsung pada kurun waktu 1999-2004 itu telah merenggut sekitar 50.000 jiwa.
”Ketika keluar untuk mendapatkan makanan, kami harus melangkahi mayat-mayat,” ujar Victoria, ibunda Davies, mengenang getir kehidupan mereka akibat konflik berdarah itu.
Debeah dan Victoria tak ingin keberlanjutan hidup keluarganya semakin remuk akibat perang saudara. Mereka menghindari ancaman kemelaratan dan hilangnya nyawa dengan bermigrasi dan mencari suaka ke Kanada. Keluarga asal Liberia itu bertahan dengan kehidupan baru di negara pemberi suaka itu, meskipun sempat harus berkali-kali pindah, yaitu dari Windsor di Ontario, lalu ke Edmonton di Alberta, Kanada.
Di negeri dengan hoki es sebagai ”raja” atau olahraga utama itu, Davies malah mempertontonkan bakat besar di sepak bola. Di usia yang masih belia, ketika tampil di sejumlah pertandingan tingkat sekolah dasar, Davies telah memperlihatkan bakatnya. Kelebihannya itu dengan cepat terlihat dan terpantau. ”Anak ini (Davies) seolah hadiah untuk pertandingan sepak bola,” kata Tim Adams, orang yang telah melihat bakat Davies saat kecil.
Adams adalah pendiri Free Footie, liga sekolah yang menjadi kawah candradimuka Davies dalam sepak bola. Menjelang masa remaja, Davies bergabung dengan sekolah sepak bola di Edmonton, ibukota dari Provinsi Alberta, Kanada. Ketika baru berusia 14 tahun, Davies bersinar dalam sebuah sesi uji coba di Vancouver. Ia lantas bergabung dengan Akademi Whitecaps. Sejak itu, waktu pun dilalui Davies dengan sangat cepat. Tanpa terasa, ia telah melewati sejumlah capaian yang mengagumkan.
Pada usia 15 tahun 8 bulan, Davies menjadi pemain termuda dari Kanada yang bermain di Liga Utama Amerika Serikat (MLS). Hampir setahun kemudian atau saat berusia 16 tahun 7 bulan, Davies menjadi anggota termuda tim nasional berlambang daun maple tersebut setelah menerima kewarganegaraan Kanada.
Bersama Kanada, Juli 2017, di Piala Emas Concacaf, Davies masuk barisan pencetak gol terbanyak atau top scorer di turnamen sepak bola antarnegara kawasan Amerika Tengah dan Amerika Utara tersebut. Davies belum bisa memberikan trofi emas karena Kanada terhenti di perempat final setelah kalah dari Jamaika. Namun, sinar Davies kian terpancar dan mulai menarik perhatian dunia.
Mengidolakan Messi
Craig Dalrymple, pelatihnya di Vancouver, membandingkan Davies dengan bintang muda Perancis, Kylian Mbappe, dalam hal kekuatan dan kecepatan. Namun, bukan Mbappe yang menjadi idola Davies. Idolanya adalah Lionel Andres Messi, megabintang Argentina yang saat ini membela klub sepak bola Perancis, Paris Saint-Germain (PSG).
Setahun setelah Piala Emas Concacaf, yaitu pada 2018, Davies ditarik untuk bergabung dengan raksasa Jerman, Bayern Munchen. Untuk merekrut Davies, ”Die Bayern” mengeluarkan mahar senilai 22 juta dollar AS atau setara Rp 344 miliar. Angka itu adalah rekor nilai transfer termahal yang pernah didapat klub MLS.
Ketika keluar untuk mendapatkan makanan, kami harus melangkahi mayat-mayat.
Bersama Die Bayern, karier Davies kian melesat. Ia mulai menyita perhatian publik sepak bola dunia saat tampil di Liga Champions 2019-2020, khususnya pada laga babak 16 besar kontra Chelsea di London, Inggris, 25 Februari 2022. Saat itu, ia tampil cemerlang sebagai bek kiri dan menyumbang asis pada gol yang dicetak striker Bayern saat itu, Robert Lewandowski.
Penampilan gemilangnya itu mengundang decak kagum, salah satunya dari pengamat sepak bola ternama, Gary Lineker. Mantan pemain Barcelona itu menyebut Davies tampil indah. ”Dia adalah bek sayap kiri berkelas dunia,” ujar Stuart Holden, mantan gelandang timnas Amerika Serikat, mengenai bek yang rajin membuat asis itu.
Pada saat itu, kompetisi sepak bola, termasuk Liga Champions, sempat terdampak pandemi Covid-19. Laga fase gugur, yaitu mulai delapan besar hingga final, lantas harus digelar terpusat di Portugal. Selain itu, tidak ada format kandang-tandang yang lazim dilakukan pada perempat final dan semifinal.
Die Bayern lantas melangkah ke final dan menjadi juara seusai mengalahkan PSG, 1-0. Davies pun mencetak sejarah lewat capaian trofi ”Si Kuping Besar” saat itu. Ia menjadi pemain pertama Kanada yang meraih trofi juara internasional.
Piala Dunia
Davies lantas menjadi bagian integral dari Kanada yang kembali berpartisipasi di Piala Dunia setelah 36 tahun absen. Namun, ada masalah yang dihadapi Davies untuk menyambut ajang akbar itu, yakni gangguan jantung akibat pernah terinfeksi Covid-19.
Di tengah upaya kerasnya untuk kembali bugar, Davies juga menderita cedera dalam laga kontra Hertha Berlin, Sabtu (5/11/2022) lalu. Pada laga yang berakhir dengan kemenangan Die Bayern, 3-2 itu, Davies sempat membuat cemas klubnya, termasuk Kanada. Di timnas Kanada, ia merupakan salah satu pilar andalan timnya.
Namun, pihak Bayern telah memastikan, cederanya itu tidaklah sampai mengancam persiapannya ke Piala Dunia Qatar, turnamen yang akan digelar pada 20 November - 18 Desember mendatang. Meskipun demikian, ia tetap tidak bisa tenang menantikan turnamen terbesar dalam kariernya itu.
”Saya merasa agak gugup (menjelang tampil di Piala Dunia Qatar 2022). ” katanya.
Kini, Davies berusaha berpikir positif. Ia yakin keberhasilan Kanada meraih tiket ke Piala Dunia Qatar bukanlah sebuah kebetulan. Ia tidak ingin timnya hanya menjadi penggembira di Piala Dunia itu.
Di Qatar, Kanada tergabung di Grup F, yaitu bersama Belgia, Maroko, dan Kroasia. Meskipun tidak lebih diunggulkan dari tiga tim lainnya itu, apalagi Belgia dan Kroasia, Davies optimistis timnya bisa berbicara banyak. Kanada dianggap banyak pihak sebagai salah satu kuda hitam yang pantang disepelekan.
Menurutnya, setiap pemain harus yakin dengan kemampuan diri sendiri, seperti yang dilakukannya selama ini. ”Mari pergi dan memperlihatkan kemampuan terbaik,” ujarnya.
Pelatih Kanada John Herdman berkelakar, Davies gugup karena pemainnya itu diam-diam meyakini timnya mampu menjuarai Piala Dunia. ”Davies menguatkan tentang makna tim, membela negara dengan kepercayaan diri, keberanian, dan keyakinan bahwa apa pun mungkin terjadi,” katanya.
Apa pun yang ada di benak Davies, Herdman menilai, sang pemain adalah teladan bagi banyak orang, terutama dalam hal kepercayaan diri. ”Davies merupakan pengungsi perang dari Afrika Barat yang lantas dalam perjalanan hidupnya sukses menjadi juara Liga Champions dan trofi Bundesliga Jerman ketika masih berusia 22 tahun. Maka, saya yakin, dia berpikir (akan) memenangi Piala Dunia. ”Itulah paradigma generasi baru Kanada,” ujarnya. (AFP)