Pembinaan Prestasi Atlet Angkat Besi di Daerah Belum Baik
Atlet angkat besi yunior mendominasi kejurnas atlet angkat besi senior. Meski dibolehkan, hal ini mengindikasikan adanya masalah dalam pembinaan prestasi atlet angkat besi di daerah.
Oleh
Christina Mutiarani Jeinifer Sinadia
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pembinaan prestasi atlet angkat besi di daerah masih kurang baik. Salah satu dampaknya ialah dominasi atlet yunior dalam Kejuaraan Nasional Angkat Besi Senior Tahun 2022 yang berlangsung pada 25 sampai 28 Oktober di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan, dan Data Pengurus Besar Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PB PABSI) Dikdik Zafar Sidik, Selasa (25/10/2022), mengatakan, masalah itu berkaitan dengan sistem pembinaan olahraga nasional yang harusnya memperhatikan program pelatihan dan kompetisi di daerah. Sistem itu seharusnya masuk ke dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON).
Kejuaraan nasional senior ini diikuti oleh 44 lifter putra dan 41 lifter putri dari 18 provinsi. Lebih dari setengah peserta ialah atlet yunior yang berusia 15-18 tahun. Rentang usia itu menunjukkan adanya gap usia yang jauh antara atlet senior dan yunior yang mengikuti ajang tersebut.
”Peserta yang paling tua itu kelahiran tahun 1989, sementara yang paling muda kelahiran tahun 2007. Memang kalau di cabang olahraga ini (angkat besi), Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) memperbolehkan atlet yunior mengikuti kejuaraan senior dengan catatan batas usia yakni 15 tahun. Namun, ada gap usia dan prestasi atlet menunjukkan pembinaan prestasi di daerah belum baik. Jadi, daerah juga ngirim atlet seadanya aja selama usianya sesuai peraturan,” ujar Dikdik.
Dikdik mengatakan, kompetisi bagi atlet di daerah juga sering kali tidak beraturan. Padahal, kompetisi menjadi tolok ukur kemampuan para atlet. Maka dari itu, seharusnya kompetisi di daerah perlu menjadi perhatian agar pembinaan atlet secara berjenjang berjalan dengan baik.
Kabupaten dan kota harus ada kompetisinya untuk menyaring atlet ke tingkat provinsi. Tingkat provinsi juga harus ada kompetisinya untuk menyeleksi atlet ke tingkat nasional. Nanti di nasional kan ada kompetisinya lagi untuk mempersiapkan atlet ini ke ajang multicabang internasional.
”Kabupaten dan kota harus ada kompetisinya untuk menyaring atlet ke tingkat provinsi. Tingkat provinsi juga harus ada kompetisinya untuk menyeleksi atlet ke tingkat nasional. Nanti di nasional kan ada kompetisinya lagi untuk mempersiapkan atlet ini ke ajang multi cabang internasional,” kata Dikdik saat ditemui di sela-sela kejurnas.
Dikdik menambahkan, program pelatihan dibarengi dengan kompetisi. Jadi, yang dirancang tidak hanya rencana pelatihan saja atau rencana kompetisi saja, tetapi rencana pelatihan dan kompetisi.
Perancangan tersebut merupakan tanggung jawab otoritas olahraga. Sistem yang dirancang harus dibarengi dengan pendanaan yang profesional.
”Idealnya, pendanaan itu yang harus mengikuti programnya, bukan programnya yang menyesuaikan dengan dananya,” kata Dikdik.
Bermasalah
Pardani (29), lifter asal Sumatera Barat, mengatakan, proses pelatihan hanya dilakukan di rumah pribadi salah satu anggota pengurus PABSI di daerahnya. Luas lokasi latihannya hanya seluas garasi yang dengan muatan satu mobil dan peralatan latihan, seperti besi angkatan, pun terbatas. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi Pardani. Padahal, Pardani adalah atlet senior yang meraih medali perak pada Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021.
”Durasi latihannya tiga jam dan saya memakai biaya sendiri. Beli suplemen biaya sendiri. Uang pembinaan PON tahun lalu juga belum cair, padahal teman-teman di daerah lain sudah cair. Riau, misalnya,” ujar Pardani.
Dalam kejurnas senior kali ini, Pardani meraih tiga emas di kelas 61 kilogram dengan total angkatan 245 kilogram. Ia berhasil mengangkat 105 kilogram pada angkatan snatch dan 140 kilogram di angkatan clean and jerk. Sepanjang tahun 2022, hanya satu kompetisi yang diikuti Pardani, yakni kejurnas kali ini.
Ia mengaku tidak begitu berambisi karena banyak rekan seusianya yang tidak mengikuti kejurnas tersebut. ”Main aman sajalah. Enggakperlu terlalu berambisi walaupun belum mencapai rekor pribadi saya,” kata Pardani.
Keluhan Pardani selaras dengan yang dikatakan Joko Hanggono, pelatih kontingen Bali. Ia menyebutkan, pembinaan atlet angkat besi di Bali baru aktif lagi di tahun 2019 ketika PB PABSI membuat program sentra angkat besi di daerah.
Sebelum tahun 2019, kata Joko, tidak ada regenerasi atlet angkat besi di Bali. Alhasil, atlet yang dilatih ialah atlet elit dan belum ada pengganti. ”Karena baru mulai, jadi atlet angkat besi di Bali masih atlet yunior semua. Mereka (atlet angkat besi dari Bali) yang ikut sekarang (kejurnas senior), mereka yang usianya 15-18 tahun, jadi sudah boleh ikut kategori senior,” katanya.
Lahir bibit baru
Wakil I Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Suwarno mengatakan, kejurnas merupakan salah satu persyaratan pilar pembinaan olahraga prestasi di Indonesia. Kompetisi ini menjadi sarana tolok ukur kemampuan atlet, khususnya atlet angkat besi. Diketahui, cabang olahraga angkat besi menjadi salah satu cabang pilihan yang masuk ke dalam DBON sehingga besar harapan otoritas olahraga terhadap cabang olahraga ini.
Melalui kejurnas senior ini, Suwarno mengharapkan ada bibit baru atau atlet muda. ”Tahun depan kita akan ada babak kualifikasi PON atau pra-PON. Mudah-mudahan dari kompetisi ini (Kejurnas Angkat Besi Senior Tahun 2022) keluar atlet-atlet muda (baru), yang akan mewakili Indonesia di kancah internasional,” ujar Suwarno.
Kendati demikian, masih ada harapan bagi para atlet angkat besi senior. Sekretaris Jenderal PB PABSI Djoko Pramono mengatakan, selaku bagian dari induk organisasi angkat besi nasional, ia tetap mengharapkan ada atlet senior yang berkontribusi untuk menghasilkan medali bagi Tanah Air walaupun mereka sudah tidak memiliki rentang waktu yang panjang.