Pimpinan PSSI masih bungkam menyikapi tuntutan mundurnya pengurus sesuai hasil rekomendasi TGIPF Tragedi Kanjuruhan. Pihak PSSI beralasan masih menggelar rapat terkait tuntutan itu.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro, ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan mendesak Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) beserta jajaran pengurusnya untuk mundur dan menggelar Kongres Luar Biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan. Namun, pimpinan PSSI masih bungkam sejauh ini.
TGIPF telah menyerahkan laporan dan rekomendasi hasil temuannya atas tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan pada Presiden RI di Istana Negara, Jumat (14/10/2022( siang. Pada bagian rekomendasi poin pertama, TGIPF menyebut, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan.
Lalu, pada poin kedua, PSSI diminta melakukan percepatan Kongres Luar Biasa (KLB) agar menghasilkan kepemimpinan dan kepengurusan PSSI yang berintegritas, profesional, bertanggung jawab, dan bebas dari konflik kepentingan.
"Rekomendasi TGIPF clear and clean (sudah jelas) pada Bab V, poin 5 dan 6 bahwa pengurus PSSI harus mundur dan percepat KLB," kata dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus peneliti sepak bola, Fajar Junaedi.
Pantauan Kompas sejak pukul 15.00 hingga 19.00 WIB, kemarin, di kantor PSSI, Arena GBK, Jakarta, Jumat sore pasca laporan dan rekomendasi TGIPF kepada Presiden RI, sejumlah mobil pengurus PSSI terlihat memasuki kantor. Mobil-mobil tersebut tidak berhenti di pintu utama melainkan langsung menuju parkiran belakang.
Sekitar pukul 15.00, tampak salah seorang pejabat FIFA, yakni Koordinator Proyek Pengembangan Niko Nhouvannasak melintas. Ketika hendak dimintai keterangan, Nhouvannasak menolak berbicara.
Jika pengurus PSSI tidak mematuhi rekomendasi dari TGIPF, relasi antara PSSI dan pemerintah semakin memburuk. Tentu ini alarm bagi sepakbola kita. (Fajar Junaedi)
Sekitar pukul 15.20, di lantai 6 Gedung Arena GBK, tempat kantor PSSI, Wakil Sekretaris Jenderal Maaike Ira menyampaikan, PSSI belum bisa memberikan keterangan. Selanjutnya, sekitar pukul 16.01, Sekretaris Jenderal PSSI Yunus Nusi, menyampaikan hal serupa.
"Nanti dulu ya, kami mau rapat Exco (Komite Eksekutif) dahulu," ucap Yunus.
Rapat tertutup
Berdasarkan pernyataan salah seorang karyawan, jajaran PSSI yang hadir dalam rapat tertutup itu antara lain, Vivin Sungkono, Dikso Planit, Ferry Paulus, Haruna Soemitro, Wakil Ketua Umum PSSI Iwan Budianto, dan Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan. Kemudian, sekitar pukul 17.30, Ira terlihat di parkiran bawah kantor PSSI. Kepada media, Ira masih enggan dimintai keterangan.
Fajar menambahkan, slogan "football family" atau pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI merupakan inti dari masalah dalam tubuh PSSI. Padahal, pertandingan sepak bola tidak bisa lepas dari ranah lain, seperti izin penyelenggaraan pertandingan yang berkaitan dengan pemerintah dan kepolisian.
"Jika pengurus PSSI tidak mematuhi rekomendasi dari TGIPF, relasi antara PSSI dan pemerintah semakin memburuk. Tentu ini alarm bagi sepakbola kita," lanjut Fajar.
"Saat ini, PSSI sedang dalam situasi yang tidak baik-baik saja. Buruknya pengelolaan sepak bola telah menyebabkan bencana hingga puncaknya pada tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan. Alih-alih bertahan, pengurus federasi ini sebaiknya mengikuti rekomendasi TGIPF untuk mundur segera. Semakin lama mereka bertahan dalam argumennya, semakin naik ketidakpastian sepak bola kita," tutur Fajar kemudian.
Pengamat olahraga, Fritz Simanjuntak, juga menilai PSSI telah gagal menjalankan tugasnya dengan baik sehingga banyak korban jiwa jatuh pada tragedi Kanjuruhan. Cilakanya, ungkapnya, mereka seolah-seolah "cuci tangan", tidak mau bertanggung jawab terhadap tragedi yang disorot luas oleh media-media dalam negeri maupun internasional itu.
Buktinya, mereka tidak mengambil sikap tegas kepada PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator Liga Indonesia. "Sampai sekarang, mereka tidak memberikan sanksi kepada orang-orang PT LIB (Liga Indonesia Baru) yang berada langsung di bawah naungannya," ujar Fritz.
Kendati demikian, Fritz menuturkan, pemerintah harus lebih berhati-hati agar tidak dituduh melakukan intervensi yang bisa membuat FIFA membekukan sepak bola Indonesia seperti tahun 2015.
PSSI baru sebatas memberikan sanksi kepada Ketua Panitia Pelaksana Arema Abdul Haris dan petugas keamanan Arema, Suko Sutrisno, yang tidak boleh berkecimpung dalam kegiatan sepak bola seumur hidup. Mereka juga menghukum Arema tidak boleh menjadi tuan rumah hingga akhir musim dan didenda Rp 250 juta.
”Pengurus PSSI saat ini seperti tidak mengerti dengan tugas dan fungsinya. Mereka belum juga memberikan tindakan tegas kepada PT LIB yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi Kanjuruhan. Justru, kepolisian yang mengambil langkah cepat untuk menindak anggotanya yang diduga bersalah, ada yang dipindahtugaskan dan jadi tersangka. Bahkan, kepolisian menetapkan Direktur Utama PT LIB (Akhmad Hadian Lukita) sebagai tersangka,” ucapnya.
Tetap hati-hati
Kendati demikian, Fritz menuturkan, pemerintah harus lebih berhati-hati agar tidak dituduh melakukan intervensi yang bisa membuat FIFA membekukan sepak bola Indonesia seperti tahun 2015. Maka itu, pemerintah mesti mencari cara tegas yang tepat, antara lain dengan memerintahkan kementerian/lembaga terkait menghentikan semua aliran dana kepada PSSI, kecuali untuk keperluan timnas dan Piala Dunia U-20. Dana itu bisa dialirkan kembali kalau kepengurusan PSSI sudah berganti.
"Pengaliran dana itu memang hak pemerintah sehingga FIFA tidak bisa menganggapnya sebagai bentuk intervensi. Tetapi, dalam melakukannya, pemerintah perlu pula berkoordinasi dengan FIFA,” kata Fritz.
Secara umum, menurut Fritz, kepengurusan PSSI saat ini tidak bisa menggemban visi dan misi Presiden Joko Widodo yang sudah berusaha memperbaiki persepakbolaan Indonesia sejak awal kepemimpinannya. Upaya itu dibuktikan dengan lahirnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional, antara lain untuk meningkatkan sejumlah infrastruktur sepak bola yang ada.
”Sekarang, dengan SDM (sumber daya manusia) persepakbolaan yang tidak kompeten, visi dan misi presiden itu harus mulai lagi dari nol menjelang akhir kepemimpinannya,” tutur Fritz.