Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Tragedi Kanjuruhan, Momentum Pemulihan Sepak Bola Nasional
Kasus meninggalnya ratusan penonton di Stadion Kanjuruhan melahirkan kegeraman publik. Selain diusut tuntas, kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk reformasi pengelolaan sepak bola nasional.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Tragedi Kanjuruhan menorehkan kesedihan sekaligus kekecewaan di benak publik. Jatuhnya korban jiwa dan luka-luka harus dipertanggungjawabkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Publik juga berharap agar tragedi ini tak lagi terulang dan dunia sepak bola Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi.
Kekecewaan masyarakat ini tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan awal Oktober 2022 lalu. Hasilnya, mayoritas responden mengaku kecewa atas terjadinya Tragedi Kanjuruhan yang menelan ratusan korban meninggal ini.
Di benak publik, rasa kecewa ini bercampur aduk. Sekitar seperlima dari responden survei menyatakan kecewa atas kelalaian pihak keamanan dan panitia pertandingan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Tak heran, berdasarkan laporan terakhir per 11 Oktober 2022, ada 132 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka akibat tragedi ini.
Mayoritas responden mengaku kecewa atas terjadinya Tragedi Kanjuruhan yang menelan ratusan korban meninggal ini.
Tak hanya karena menimbulkan korban jiwa, sekitar seperempat dari responden juga kecewa karena peristiwa ini bisa memukul dunia sepak bola Indonesia yang sebelumnya tengah mendapat momentum positif.
Sebanyak 11,4 persen dari responden kecewa karena kejadian tersebut bisa menghilangkan peluang Indonesia untuk terlibat dalam pertandingan tingkat internasional. Meskipun demikian, kekecewaan ini sudah sedikit terjawab oleh sikap FIFA yang mau membantu Indonesia berbenah.
Lebih lanjut, masyarakat juga melihat dampak kasus ini dalam konteks lebih besar. Tak kurang dari 38 persen responden jajak pendapat menyatakan kekecewaannya akibat tercorengnya nama Indonesia di mata dunia pascaperistiwa Kanjuruhan. Tidak berlebihan, hingga kini, insiden tersebut masih menjadi salah satu peristiwa yang mendapat perhatian dari media-media internasional.
Tragedi Kanjuruhan ini menjadi trauma kolektif bagi para pencinta sepak bola Tanah Air. Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, lebih dari 67 persen responden merasa khawatir apabila hendak menonton pertandingan sepak bola secara langsung pasca-kejadian di Kanjuruhan ini. Meski, masih ada 11 persen di antara mereka yang mengaku tetap mau menonton di stadion walau khawatir.
Kemarahan dan kesedihan yang dirasakan publik termanifestasi menjadi tuntutan atas pertanggungjawaban dari peristiwa Kanjuruhan ini. Dari beberapa opsi sanksi, pembekuan semua liga sepak bola dinilai menjadi yang paling merugikan (33,3 persen).
Pembekuan ini paling merugikan dibandingkan pemberian sanksi kepada PSSI maupun pencopotan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pertandingan yang berujung petaka ini. Termasuk di antaranya pejabat yang berwenang dalam urusan olahraga ini.
Sayangnya, belum ada sinyal bahwa pejabat-pejabat yang berwenang mengundurkan diri sebagai pertanggungjawaban moral atas kejadian ini. Meskipun demikian, pencopotan Kepala Kepolisian Resor Malang dan penggantian Kepala Kepolisian Daerah Jatim yang dilakukan setelah kejadian Kanjuruhan bisa menjadi sinyal positif bagi publik bahwa ada keseriusan dari aparat untuk menuntaskan persoalan ini.
Apalagi, hal ini didukung oleh komitmen Presiden Joko Widodo dalam penyelesaian kasus ini. Presiden Jokowi menegaskan, Tragedi Kanjuruhan harus diinvestigasi sampai tuntas.
Tidak hanya itu, sanksi juga harus diberikan kepada mereka yang dinilai bersalah. ”Perintah saya sudah jelas kepada Menko Polhukam, kepada Kapolri, kepada Menpora, semuanya sudah jelas. Diinvestigasi tuntas. Diberi sanksi kepada yang bersalah,” ujar Presiden Jokowi (Kompas, 4/10/2022).
Maka, upaya pemerintah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) terkait tragedi ini perlu terus dikawal. Jangan sampai, para pihak yang harus bertanggung jawab atas kematian ratusan Aremania ini ”cuci tangan” dan bebas dari konsekuensi.
Tentu, penelusuran fakta-fakta ini harus juga menginvestigasi mereka yang kini tengah menduduki jabatan di sejumlah lembaga, termasuk PSSI dan Polri.
Di tengah perasaan sedih dan kecewa akibat insiden Kanjuruhan, publik juga tetap menaruh harapan besar terhadap masa depan sepak bola di Indonesia. Tak dapat dimungkiri, sepak bola menjadi salah satu bagian penting dalam hidup masyarakat.
Buktinya, nyaris tiga perempat publik (72,5 persen) yang tergambar dari jajak pendapat ini meyakini bahwa sepak bola Indonesia bisa bangkit, bahkan menjadi lebih baik lagi pasca-Tragedi Kanjuruhan.
Masih adanya harapan ini juga terlihat dari keinginan masyarakat untuk bisa kembali merasakan atmosfer laga di dalam stadion. Walau sebagian besar dari masyarakat masih trauma dengan kejadian Kanjuruhan, masih ada sekitar 30 persen dari responden yang tidak khawatir untuk menonton pertandingan sepak bola secara langsung di stadion. Bahkan, sekitar 15 persen diantaranya mengaku tidak khawatir karena yakin peristiwa naas di Kanjuruhan tidak akan kembali terulang.
Tentunya, harapan ini harus dibarengi dengan aksi nyata perbaikan manajemen sepak bola nasional. Pasca-insiden Kanjuruhan, sebagian besar responden (42,7 persen) menilai harus ada perubahan signifikan terkait dengan aturan dan penyelenggaraan pengamanan pertandingan. Utamanya, pada pertandingan yang masuk dalam kategori beresiko tinggi (high risk).
Evaluasi dari publik terhadap cara para aparat mengamankan pertandingan ini bukan tanpa alasan. Tindakan yang dilakukan aparat keamanan di Kanjuruhan, termasuk menggunakan gas air mata, bertentangan dengan pedoman yang dikeluarkan oleh FIFA.
Bahkan, sejarah menunjukkan, penggunaan gas air mata ini menyebabkan peristiwa yang serupa dengan terjadinya Tragedi Kanjuruhan, seperti kejadian di Estadio Nacional, Peru, pada 1964 dan di Accra Sports Stadium, Ghana, pada 2021.
Selain itu, lebih dari sepertiga responden juga merasa bahwa peraturan terkait penonton/supporter juga perlu diperbaiki. Dalam hal ini, aturan bukan hanya dibuat untuk meminimalkan terjadinya gesekan antar-pendukung, melainkan juga untuk memastikan keselamatan bagi penonton itu sendiri.
Tentunya, implementasi dari aturan ini diharapkan bisa menghadirkan pertandingan sepak bola yang aman, nyaman, dan inklusif bagi seluruh masyarakat.
Lebih lanjut, sekitar 9 persen dari masyarakat juga melihat perlunya perbaikan pada aspek tata kelola pertandingan. Dalam hal ini, termasuk juga pengaturan pertandingan kandang-tandang hingga jadwal pertandingan. Terakhir, sekitar 6 persen lainnya berpendapat harus ada perbaikan fasilitas pertandingan, seperti kualitas stadion.
Berkaca dari hasil jajak pendapat di atas, ketegasan pemerintah dan TGIPF menjadi faktor penting penuntasan kasus Tragedi Kanjuruhan. Semua bukti, meskipun akhirnya mengarah kepada sosok-sosok elite, harus dibuka seterang-terangnya, bukan hanya menyalahkan tribune dan pintu sebagai ”kambing hitam”.
Apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan awal Oktober 2022 lalu telah mencoreng wajah bangsa dan dunia sepak bola nasional. Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum melakukan reformasi bagi perbaikan sepak bola Indonesia.
Pekerjaan rumah ke depan adalah bagaimana membangun sepak bola yang membanggakan sekaligus tetap menjunjung tinggai martabat manusia. Bagaimanapun, tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia. (LITBANG KOMPAS)