Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil Temukan Sejumlah Pelanggaran Sistematis
Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil menemukan sejumlah pelanggaran oleh aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan. Aparat dinilai mengendalikan suporter secara berlebihan sehingga menimbulkan banyak korban.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·8 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah pelanggaran sistematis ditemukan dalam tragedi sepak bola usai laga Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia serta ratusan lainnya luka-luka. Pelanggaran itu terutama terkait tindakan aparat keamanan yang mengendalikan suporter dengan cara berlebihan, antara lain menembakkan gas air mata ke arah tribune yang disinyalir sebagai penyebab utama timbulnya banyak korban.
”Apa yang dilakukan aparat dalam tragedi Kanjuruhan adalah serangan kepada warga sipil secara sistematis. Itu sudah termasuk bentuk pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat. Kenapa demikian, karena tindakan aparat itu suatu bentuk pembunuhan dan penyiksaan,” ujar aktivis HAM sekaligus pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, dalam konferensi pers daring yang dilakukan Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil mengenai Hasil Investigasi Tragedi Kanjuruhan, Minggu (9/10/2022).
Hadir dalam konferensi pers itu, yakni Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang Daniel Siagian, Wakil Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Surabaya Jauhar Kurniawan, Kepala Advokasi HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldy, dan peneliti Lokataru Foundation Daywin Prayogo.
Mereka tergabung dalam Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil yang sudah melakukan investigasi tragedi Kanjuruhan dalam tujuh hari terakhir. Investigasi itu dilakukan dengan cara mewawancarai saksi mata ataupun saksi korban luka-luka dan keluarga korban meninggal, pemantauan ke lokasi kejadian, serta menganalisa video rekaman saat kejadian.
”Titik tekan tragedi Kanjuruhan harus ditujukan kepada korban. Sebab, satu saja korban jiwa sudah menjadi tragedi yang luar biasa, apalagi ratusan korban jiwa. Maka itu, kami berusaha melakukan investigasi secara independen dan obyektif. Kami bertemu dengan sejumlah saksi dan keluarga korban. Secara umum, mereka masih sangat trauma secara fisik maupun mental. Bahkan, ada saksi yang kami temui mengalami gegar otak dan luka memar di wajah,” katanya.
Jauhar mengatakan, awalnya, memang ada Aremania (kelompok suporter Arema) yang turun ke lapangan. Akan tetapi, tujuan mereka bukan untuk anarkis melainkan untuk memberikan semangat atau ucapan terima kasih kepada pemain Arema yang dinilai sudah bermain maksimal.
Ketika itu, suporter yang turun ke lapangan bisa didorong mundur oleh aparat keamanan. Namun, saat situasi mulai terkendali, aparat justru menembakkan gas air mata ke arah tribune selatan. Hal itu menimbulkan kepanikan di antara suporter. Mereka berusaha berlarian menyelamatkan diri. Akhirnya, banyak yang berdesakan, terhimpit, dan sesak nafas, ketika menuju arah pintu keluar.
”Itulah yang diduga menjadi penyebab banyak korban berjatuhan baik yang meninggal dunia maupun yang luka-luka. Seharusnya, saat eskalasi massa mulai mereda, aparat tidak melakukan tembakan gas air mata tersebut,” ucap Jauhar.
Pelanggaran aturan
Jauhar menuturkan, dalam penggunaan gas air mata itu, pihaknya melihat ada pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan. Selain melanggar aturan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), aparat yang bertugas juga melanggar Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Dalam pasar itu, penggunaan gas air mata adalah tahapan kelima setelah kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, tindakan kendali dengan tangan kosong lunak, dan tindakan kendali dengan tangan kosong keras. Pada Pasal 5 ayat (2), penggunaan gas air mata adalah tahapan ketiga usai tindakan pasif dengan tangan kosong lunak dan tindakan aktif dengan tangan kosong keras.
”Penggunaan gas air mata merupakan tahapan ketiga dalam tindakan kepolisian. Harusnya, aparat melakukan himbauan lisan dan penggunaan water canon terlebih dahulu. Akan tetapi, yang diterima dari keterangan saksi dan analisa video rekaman, tidak ada himbauan lisan ataupun water canon untuk mengendalikan massa, melainkan langsung serta-merta menggunakan gas air mata. Dampaknya sangat berbahaya sekali. Selain membuat kepanikan, gas air mata menyebabkan gangguan penglihatan dan susah bernafas,” tegas Jauhar.
Secara keseluruhan, menurut Andi, ada 12 temuan awal yang berkaitan dengan kekerasan yang dialami suporter dalam tragedi Kanjuruhan. Hal itu terindikasi akibat sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh aparat keamanan. Pertama, ada mobilisasi aparat keamanan yang membawa gas air mata pada babak kedua pertandingan. Padahal, kondisi laga itu tidak ada potensi gangguan atau ancaman keamanan.
Kedua, respons berlebihan aparat keamanan kepada suporter yang turun ke lapangan. Aparat melakukan sejumlah tindakan kekerasan yang memancing suporter lain turun ke lapangan yang sejatinya untuk menolong rekan-rekannya. Ketiga, aparat langsung menembakkan gas air mata tanpa ada tahapan-tahapan pendahulu.
Yang jelas, tragedi Kanjuruhan bukan diakibatkan oleh kelalaian belaka. Sebab, rentang waktu dari awal suporter turun ke lapangan dan ada pemukulan kepada suporter hingga penembakan gas air mata itu di bawah 15 menit. Apakah tindakan itu suatu kelalaian semata?
Keempat, tindakan kekerasan tidak hanya dilakukan oleh kepolisian melainkan pula oleh TNI. Kelima, penembakan gas air mata tidak diarahkan ke lapangan melainkan ke beberapa sisi tribune. Itu menimbulkan kepanikan luar biasa yang membuat para suporter berdesak-desakan untuk ke luar stadion. Situasi semakin buruk karena efek gas air mata yang menyebabkan gangguan penglihatan dan pernafasan.
Keenam, ketika penembakan gas air mata dan suporter ingin ke luar stadion, pintu ternyata terkunci sehingga suporter tidak bisa ke luar. Dengan kondisi ruangan yang sangat terbatas, akumulasi efek gas air mata dan kerumunan suporter mengakibatkan dampak yang jauh lebih buruk yang berakibat kepada kematian. ”Ada informasi sebenarnya pintu keluar sudah dibuka pas pertandingan berakhir, tetapi ditutup pas ada tembakan gas air mata,” ungkap Andi.
Ketujuh, tidak ada pertolongan secara langsung dari aparat keamanan maupun panitia pelaksana kepada para suporter yang terdampak tersebut. Tak sedikit orangtua korban menjelaskan, anaknya meninggal akibat gas air mata dan tidak ditangani dengan cepat. Kedelapan, penembakan gas air mata juga terjadi di luar stadion. ”Akibatnya, efek gas air mata menimbulkan dampak yang sangat masif,” tutur Andi.
Terkait ada terminologi tragedi Kanjuruhan suatu kerusuhan karena minuman alkohol, Andi tidak sepakat dengan teori tersebut. ”Itu menyesatkan. Sebab, sejumlah saksi menyampaikan, mereka melalui pengecekan yang ketat sebelum masuk stadion. Dengan begitu, tidak mungkin ada minuman alkohol yang bisa masuk stadion,” cetus Andi.
Upaya mengaburkan fakta
Mirisnya, Daywin mengutarakan, ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan fakta-fakta riil dari tragedi Kanjuruhan. Sejatinya, tragedi itu mendapatkan perhatian luar biasa dari masyarakat. Tak sedikit orang yang ikut mencari tahu penyebabnya. Ada yang mengunggah video rekaman ke sosial modia, tidak sedikit yang bersedia memberikan keterangan publik.
Namun, diduga ada upaya menghentikan orang-orang yang ingin memberikan informasi tersebut. ”Dari temuan kami, ada beberapa orang yang diamankan berhubungan dengan informasi yang dimilikinya. Itu membuat masyarakat ragu dengan pengungkapan fakta dari tragedi ini. Padahal, peristiwa ini sudah diketahui oleh masyarakat luas, bukan hanya di Malang melainkan seluruh dunia,” ujarnya.
Di sisi lain, tambah Daywin, pihaknya menemukan garis polisi mulai dicabut. Padahal, belum ada proses rekontruksi kasus yang jelas. ”Sampai sekarang, kita dan para keluarga korban masih bertanya apa yang sebenarnya terjadi kemarin (dalam tragedi Kanjuruhan),” katanya.
Selain itu, kepolisian tidak berinisiatif melakukan otopsi kepada korban meninggal. ”Dalam situasi ada yang meninggal tidak wajar, polisi berhak minta otopsi korban. Tapi, hingga sekarang, apakah ada permintaan itu? Kami belum mendapatkan jawabannya,” ucap Daywin.
Secara umum, Daywin mengatakan, kepolisian belum jua memberikan keterangan detail mengenai penyebab terjadinya tragedi Kanjuruhan. Sejauh ini, semuanya masih gelap. ”Itu bentuk kritik kami kepada kepolisian ataupun pemerintah. Ungkap dahulu fakta apa yang dialami suporter sehingga jumlah korban mencapai 700an orang, baik yang meninggal maupun luka-luka. Kalau ingin serius menuntaskan kasus itu, korban harus dilibatkan dalam proses rekontruksi perkara tersebut,” tegasnya.
Daniel menambahkan, selain ada orang-orang yang diamankan karena mengunggah video rekaman, ada pula orang yang diteror karena memasang spanduk yang berisi kritikan agar tragedi Kanjuruhan diusut tuntas. Selepas memasang spanduk itu, orang bersangkutan pulang menggunakan sepeda motor dan dibuntuti oleh empat orang yang menggendarai dua sepeda motor. ”Jadi, itu semacam upaya agar orang-orang tidak berani bersuara dalam peristiwa ini,” tuturnya.
Libatkan lembaga independen
Agar bisa diusut tuntas dengan terpercaya, Andi mengatakan, pihaknya berharap pengungkapan tragedi Kanjuruhan bisa melibatkan lembaga independen. Sebab, peristiwa itu diduga disebabkan oleh aparat kepolisian. Akan tetapi, kini, proses hukum yang berjalan ditangani oleh kepolisian. Hal itu dikhawatirkan menyebabkan pengungkapan kasus tidak kredibel.
Untuk itu, harus ada lembaga independen yang ikut mengusutnya. Berkaca dari negara-negara maju, seperti Inggris, mereka memiliki lembaga independen kalau ada aparat yang melakukan tindakan sewenang-wenang. ”Di Indonesia, belum ada lembaga seperti itu. Makanya, kami berharap pada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang proaktif memberikan rasa aman kepada saksi dan korban,” terangnya.
Daywin menuturkan, tragedi Kanjuruhan tidak boleh terhenti kepada enam tersangka yang telah ditetapkan kepolisian, Kamis (6/10), yakni Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP BSA Bambang Sidik Achmadi, Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP H Hasdarman, Kepala Bagian Operasional Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Ahmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema Abdul Harris, dan security steward Suko Sutrisno.
Para tersangka itu, terutama dari kepolisian, hanyalah petugas lapangan. Mereka bergerak berdasarkan perintah dari atasannya. Oleh karena itu, perlu ada pengusutan lebih lanjut terhadap para atasan tiga polisi tersebut, terkait siapa yang menyiapkan pasukan, yang mengecek peralatan, dan yang memberikan arahan standar operasional prosedur.
”Yang jelas, tragedi Kanjuruhan bukan diakibatkan oleh kelalaian belaka. Sebab, rentang waktu dari awal suporter turun ke lapangan dan ada pemukulan kepada suporter hingga penembakan gas air mata itu di bawah 15 menit. Apakah tindakan itu suatu kelalaian semata? Apakah justru memang sudah ada kesepakatan atau rencana untuk melakukan tembakan gas air mata tersebut,” ungkap Daywin.
Haris menyampaikan, dirinya curiga ada unsur kesengajaan pada tragedi Kanjuruhan. Sebab, menjaga pertandingan sepak bola bukan hal baru untuk kepolisian. ”Jadi, yang mesti dicari siapa yang memobilisasi pasukan, siapa yang memerintahkan pasukan, dan siapa yang harusnya menghentikan tindakan pasukan. Pertandingan ini bukan yang pertama di Malang dan saya rasa semua orang sudah paham bagaimana karakter suporter sepak bola, terutama Aremania,” ungkapnya.