TGIPF: Stadion Kanjuruhan Tidak Layak untuk Laga Berisiko Tinggi
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta mengungkapkan investigasi awal bahwa Stadion Kanjuruhan sebetulnya tidak layak menggelar laga berisiko tinggi. Banyak hal perlu dibenahi, antara lain akses dan pintu keluar tribune.
Oleh
YULVIANUS HARJONO, DEFRI WERDIONO, ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, ternyata tidak layak menggelar pertandingan berisiko tinggi, seperti Arema FC versus Persebaya yang berujung tewasnya 131 orang, pekan lalu. Stadion itu tidak dilengkapi akses dan pintu keluar yang memadai ketika terjadi kondisi darurat.
Hal itu disampaikan Nugroho Setiawan, anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan, dalam keterangan resmi, Minggu (9/10/2022). ”Pintu-pintu keluar (di Kanjuruhan) tidak memadai. Pintu itu juga dipakai masuk. Tak ada pintu darurat. Stadion ini hanya layak untuk (laga) medium dan low risk,” ujarnya.
Selain itu, dari penelusuran pihaknya di Kanjuruhan, Nugroho juga menemukan kondisi anak tangga ke pintu keluar cukup curam, 30 sentimeter. ”Ketinggian normalnya 18 cm. Jadi, intinya, dengan ketinggian normal, kita tidak akan terjatuh ketika berlari turun,” ujar Nugroho yang merupakan security officer Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Kondisi yang tidak ideal itu membuat banyak korban jiwa berjatuhan ketika mereka berdesak-desakan mencari pintu keluar setelah gas air mata ditembakkan aparat ke tribune. Kebanyakan korban tewas akibat terjatuh, terinjak-injak, dan sulit bernapas (asfiksia).
”Saya sempat melihat rekaman dari CCTV, khususnya (suasana) di pintu 13. Itu mengerikan sekali. Pintu terbuka, tetapi kecil. Situasinya orang berebut keluar, sementara sebagian sudah jatuh, pingsan, terimpit, terinjak, karena efek (kepanikan) akibat gas air mata. Penumpukan (di pintu keluar) dan detik-detik penonton meregang nyawa terekam di CCTV,” ungkap Nugroho.
Menurut dia, ke depan, perlu ada langkah perbaikan, yaitu mengubah struktur dan akses pintu-pintu keluar di Stadion Kanjuruhan, untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. ”Efek dari zat yang terkandung di gas air mata juga sangat luar biasa (ke korban). Perlu dipertimbangkan (dilarang) untuk crowd control di masa depan,” ujarnya kemudian.
Temuan sementara dari TGIPF itu sejalan penyidikan yang dilakukan Kepolisian Negara RI. Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Kamis (6/10/2022), mengumumkan enam tersangka dalam tragedi itu. Salah satu tersangka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita yang dianggap bertanggung jawab memastikan kelayakan stadion.
Semestinya, dalam kondisi eskalasi massa yang mulai mereda, aparat tidak perlu melakukan tembakan gas air mata. (Jauhar Kurniawan)
Pihaknya diduga tidak melakukan verifikasi keamanan dan kelayakan Stadion Kanjuruhan dengan benar untuk kompetisi tahun 2022. PT LIB juga kedapatan memakai hasil verifikasi lama, tahun 2020, itu pun dengan sejumlah catatan.
”Kami menghormati proses hukum yang berlaku dan akan mengikuti seluruh tahapannya. Kami juga berharap peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak,” ungkap Akhmad tentang penetapannya sebagai tersangka tragedi itu.
Aparat disorot
Selain Akhmad, sejumlah anggota Polri yang mengizinkan dan memerintahkan penggunaan gas air mata juga ditetapkan tersangka. Pemakaian alat kimia untuk membubarkan massa itu dikritisi Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil dalam jumpa pers, kemarin. Koalisi itu terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Yayasan Lokataru.
Menurut mereka, berdasarkan keterangan saksi dan video yang dikumpulkan dari lokasi tragedi, turunnya suporter ke lapangan pada awalnya bukan untuk melakukan kekerasan. Mereka hendak memberikan semangat kepada pemain karena telah bermain maksimal meskipun dikalahkan Persebaya.
”Ketika mulai banyak suporter turun, mereka sebenarnya sudah didorong mundur oleh aparat keamanan. Pada titik itu, kami melihat situasi sudah mulai terkendali. Namun, entah bagaimana, di tribune selatan, gas air mata ditembakkan (aparat),” ujar Jauhar Kurniawan dari LBH Surabaya.
Koalisi Masyarakat Sipil melihat potensi pelanggaran aturan pengendalian massa dalam kasus di Malang. Penggunaan gas air mata semestinya merupakan langkah akhir yang wajib didahului imbauan lisan dan penggunaan meriam air. Namun, tahapan awal itu tidak dilakukan. ”Semestinya, dalam kondisi eskalasi massa yang mulai mereda, aparat tidak perlu melakukan tembakan gas air mata,” ucap Jauhar kemudian.
Andi Muhammad Rizaldi dari Kontras menjelaskan, reaksi berlebih dari aparat membuat suporter lainnya marah dan ikut turun ke lapangan. Tindak kekerasan ke suporter itu tidaklah hanya dilakukan oknum polisi, tetapi juga TNI. ”Efek gas air mata berdampak buruk pada kesehatan. Tidak hanya penglihatan, tetapi juga gangguan saluran pernapasan,” ujarnya menjelaskan.