Tragedi Kanjuruhan, yang menewaskan setidaknya 131 orang, meninggalkan trauma bagi banyak orang, tidak hanya di Malang. Penggemar sepak bola di sejumlah daerah kini mendadak takut ke stadion.
Oleh
Christina Mutiarani Jeinifer Sinadia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah masyarakat penggemar sepak bola mulai mengkhawatirkan keamanan laga, terutama di stadion. Bahkan, ada orangtua yang melarang anaknya untuk memainkan olahraga tersebut menyusul tragedi Kanjuruhan di Malang yang menelan sedikitnya 131 korban jiwa.
Penggemar sepak bola asal Kota Manado, Sulawesi Utara, Oktovir Samadi (25), saat dihubungi Kamis (6/10), mengatakan, dirinya mulai khawatir untuk menonton sepak bola di stadion, terutama di luar daerah. Kekhawatiran tersebut muncul pasca mengetahui informasi mengenai tragedi Kanjuruhan.
Padahal, bagi pria yang menggemari sepak bola sejak usia tujuh tahun itu, menonton pertandingan sepak bola di stadion merupakan sebuah hiburan. Hanya saja, kini terdapat berbagai pertimbangan dalam benaknya, salah satunya masalah keamanan, dalam melanjutkan hobinya itu.
“Kalau nonton di stadion yang ada di daerah saya, ya tidak masalah karena bisa diperkirakan keamanan dan kenyamanannya. Kalau di daerah lain, saya khawatir karena tidak memahami kondisi di sana, baik stadion maupun tabiat penonton dan suporter di daerah itu,” ujar Oktovir.
Hal serupa dikatakan Tirsa Katili (28), penggemar sepak bola di Manokwari, Papua. Ia mengatakan, kini dirinya akan mempertimbangkan beberapa hal sebelum menonton pertandingan sepak bola di stadion. Pertimbangan tersebut antara lain lokasi stadion, klub yang bertanding, dan banyaknya penonton.
“Sekarang, semakin ada pertimbangan karena tragedi itu. Menurut saya, itu hal yang menakutkan, apalagi kerusuhan sepak bola di Indonesia tidak hanya terjadi dalam pertandingan-pertandingan besar. Pertandingan antarkampung juga masih ada kerusuhan,” ucapnya.
Sementara Jainy Tumandung (28), penggemar sepak bola di Kota Bitung, Sulawesi Utara, memutuskan tidak menonton pertandingan sepak bola dalam waktu dekat. Ia mendadak takut ke stadion setelah mengetahui jumlah korban tragedi Kanjuruhan yang kian bertambah.
“Saya belum mau nonton pertandingan bola di stadion. Mungkin, sampai situasi sudah mereda dan sudah ada aturan atau sistem baru yang menjamin keamanan di dalam arena stadion,” kata Jainy.
Masalah kaderisasi
Ketakutan publik akan berulangnya tragedi-tragedi di sepak bola dikhawatirkan meluas dan mempengaruhi kaderisasi pemain atau atlet. Kekhawatiran itu antara lain diungkapkan Riccy Rorong (36), pelatih tim futsal asal Kota Bitung. Di derahnya, sejumlah orangtua, khususnya ibu, mulai melarang anak-anaknya untuk bermain sepak bola. Hal itu juga terjadi pada anggota timnya.
“Sangat disesalkan, pasca-tragedi itu, mulai ada orangtua yang melarang anak-anaknya bermain bola. Para orangtua mulai memandang (sepak) bola sebagai olahraga yang bisa memakan korban jiwa,” ungkap pelatih tim futsal Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Kota Bitung itu.
Akibat seluruh jenjang kompetisi dihentikan sementara, kata Riccy, ia mengkhawatirkan perkembangan kemampuan fisik dan mental para pemain muda. Hingga kurun waktu yang belum diketahui, tidak akan ada laga yang menjadi sarana para pemain untuk mengeksplorasi kemampuannya.
Saya belum mau nonton pertandingan bola di stadion. Mungkin, sampai situasi sudah mereda dan sudah ada aturan atau sistem baru yang menjamin keamanan di dalam arena stadion. (Jainy Tumandung)
Menurut Riccy, penundaan atau moratorium kompetisi sebaiknya tidak perlu memakan waktu lama karena kejadian serupa belum tentu terjadi di daerah lain. Ia juga optimistis bahwa tragedi serupa tidak akan terjadi lagi sehingga tidak akan menambah catatan buruk bagi sepak bola Tanah Air.
Hal wajar
Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, mengatakan, kekhawatiran masyarakat menyusul tragedi Kanjuruhan merupakan hal yang wajar. Tragedi itu memang baru saja terjadi dan hangat dibicarakan di mana-mana.
Hanya saja, ia meyakini, fenomena kecemasan itu tidak akan berlangsung lama. “Kekhawatiran itu tidak akan lama karena sepak bola itu menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Walaupun amatir, sepak bola ada di semua kalangan, mulai dari rukun tertangga (RT), rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, bahkan nasional. Kemudian, menyebar dari Sabang sampai Merauke,” kata Sigit.
Ia menjelaskan, kerusuhan sepak bola sudah sering terjadi sejak 1930-an. Ketika bertemu dengan kerumuman, ucapnya, fanatisme berpotensi menciptakan kerusuhan. Dalam sepak bola, kata Sigit, fanatisme penonton sulit dihilangkan. Sebab, fanatisme itulah yang menghidupkan olahraga sepak bola.
“Pertandingan sepak bola tanpa penonton sama dengan mati. Makanya, menurut saya, keliru saat ada kebijakan pertandingan tanpa penonton. Mungkin, yang lebih baik adalah pembatasan penonton. Fanatisme itu wajar, hanya tidak boleh dibiarkan meluap-luap di tengah kerumunan yang besar. Makanya, sistem manajemen sepak bola di negara kita memang harus ada pembenahan,” ujar Sigit kemudian.