Dukungan Cinta bagi yang Lara
Masyarakat yang bersimpati dengan korban Tragedi Kanjuruhan mengulurkan bantuan lewat berbagai cara. Mereka memang bukan ahli psikologi, namun memilih mengobati dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Tragedi Kanjuruhan yang terjadi Sabtu lalu menyisakan luka yang dalam. Luka tak hanya dirasakan di fisik, namun juga batin bagi semua yang menyaksikan dan mengalami tragedi itu.
Dadang Indarto (41), PNS Kota Batu, adalah salah satu penonton yang masih merasakan perih batin sampai saat ini. Dengan mata kepala sendiri melihat banyak saudaranya terimpit, sesak, berebut keluar dari gate 13, pintu keluar Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) malam itu.
Dadang bercerita, saat gas air mata ditembakkan, penonton di stadion panik. ”Sesak napas saya. Kulit terasa perih. Saya mencoba berlindung,” katanya. Sampai asap tembakan ketiga mulai menipis, ia pun mulai mencari pintu keluar.
Namun, saat menemukan gate 13, ia melihat pemandangan yang membuatnya terguncang. Teriakan kesakitan bersahut-sahutan. Ratusan orang terjepit di lorong pintu keluar, beberapa dalam kondisi lemas, terinjak-injak di bawah. Ada pula yang sudah diam tak bergerak.
Dadang dan beberapa orang mencoba membantu korban yang terjepit, namun tak semua bisa dilepaskan. ”Beberapa saya gendong kondisinya lemas, saya letakkan, dan saya lari lagi ke gerbang untuk menolong yang lain,” kisahnya dengan suara bergetar.
Baca juga : Untuk Martir Tragedi Kanjuruhan
Entah berapa orang yang ia angkat, ia tak ingat pasti. Ia hanya ingat terakhir mengangkat seorang anak kecil. Ia berlari menggendong anak itu karena kondisinya terlihat kritis. ”Saya lari minta bantuan polisi. Ada polisi datang membantu, namun karena massa sudah marah, polisi itu dikejar sampai menjauh. Setelah itu tak ada lagi petugas yang membantu,” ceritanya terbata-bata.
Hatinya hancur melihat beberapa jasad tergeletak. Ia meminta bantuan teman-temannya untuk menggotong jasad itu ke ruang VIP, namun begitu masuk ruang VIP ia melihat tiga jenazah lagi, dua di antaranya polisi dan satu perempuan. ”Saya masih berpikir hanya itu korbannya, tapi saat saya ke mushala... jenazah berjajar. Di lorong-lorong…,” kata Dadang yang tak sempat mengakhiri cerita karena tercekat tangis.
Rasa trauma juga dialami Eko Dau (50). Di malam pertandingan itu, ia memilih nongkrong di luar dan menikmati secangkir kopi di pinggir stadion. Tiba-tiba ia mendengar suara tembakan yang akhirnya dia ketahui sebagai tembakan gas air mata. Suara itu terdengar tak hanya sekali, dua kali, namun hingga empat kali.
Eko berlari hendak masuk ke stadion karena mengkhawatirkan nasib rekan-rekannya. Saat berada di gate 14, ia membantu beberapa perempuan yang sudah lemas untuk dibawa menepi. Ketika gate 14 sudah aman, ia pun menyisir gate 13 dan menemukan kengerian di gate tersebut. ”Gate 13... seperti kuburan... adik-adik saya,” kata Eko tersendat-sendat.
Tangisnya pun kemudian pecah tak kuasa melanjutkan cerita. Ia merasa bersalah karena banyak ”saudaranya” yang meregang nyawa, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. ”Aku ga kuat Mas, aku ga kuat,” katanya dalam tangis.
Dadang dan Eko hanyalah dua dari 42.000-an orang yang terpukul dengan kejadian Sabtu kelabu lalu. Kejadian itu menimbulkan trauma dan mungkin butuh bertahun-tahun untuk menghapusnya. Mereka juga merasa marah karena melihat ”saudara-saudara” mereka menderita dan meninggal dengan cara yang tak sewajarnya.
Baca juga : Kematian Menghantui Sepak Bola Indonesia
Butuh Dukungan
Christyaji Indradmojo, pengajar di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, yang mendalami kedokteran emergensi mengatakan, mereka yang melihat dan mengalami hal-hal buruk seperti di Atadion Kanjuruhan pada Sabtu malam itu butuh dukungan dan bantuan psikologi.
Saat ini, mereka masih dalam fase marah (angry) dan mengingkari (denial). ”Dalam fase ini, sebaiknya kita tidak memperparah dengan mengungkapkan hal-hal yang berpotensi menyakiti hati mereka atau menambah amarah. Karena itu akan memperparah kondisi mereka,” kata Christyaji.
Kadang dukungan terbaik, tambahnya, adalah diam. Menahan agar tak berkomentar negatif, termasuk di media sosial.
Ketika denial dan angry sudah terlewati. mereka akan memasuki fase depresi, dan kemudian baru fase menerima (acceptance). Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun. Namun, ada pula yang prosesnya tak selesai. Mereka bisa kembali ke depresi dan angry. Tak terbayangkan jika ada 42.000 warga Malang yang mengalami hal ini.
Pemerintah Kabupaten Malang dan Pemerintah Kota Malang menyadari kondisi tersebut. Sejak Senin (3/10/2022), mereka membuka posko penanggulangan trauma bagi warga yang membutuhkan. Karena banyaknya pasien yang mengalir, mereka pun memakai berbagai media, mulai dari konsultasi lewat Whatsapp, Zoom, hingga kunjungan langsung ke rumah korban.
Kadang dukungan terbaik adalah diam. Menahan agar tak berkomentar negatif, termasuk di media sosial.
Di sisi lain, masyarakat yang bersimpati mengulurkan bantuan lewat berbagai cara. Mereka memang bukan ahli psikologi, namun mereka mengobati dengan kemampuan yang dimiliki.
Devi Dafara (47), ibu rumah tangga yang juga musisiVoice of Malang, memilih membantu keluarga korban dengan menggelar acara amal di pinggir Stasiun Kota Malang.
Ia dan rekan-rekannya membawa ketipung, gitar, bas, beserta sound system untuk mengiringi musik mereka. Lagu-lagu Iwan Fals yang lekat dengan kemanusiaan dan kritik ia dendangkan. ”Alhamdulillah, ngamen kecil-kecilan ini kami dapat Rp 6 juta, padahal baru sejam. Uangnya kami kumpulkan dan akan kami serahkan ke rekan-rekan kami yang menjadi korban. Tidak bisa semua memang, tapi di lingkungan yang paling dekat,” kata Devi.
Baca juga : Aremania Identitas Arek Malang
Supriyanto (41) alias Iboy COD yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur pun rela menutup barber shop-nya sementara untuk membantu rekan-rekannya menggalang dana. Tidak sungkan, ia berdiri di pinggir jalan menyanyikan lagu dengan iringan musik.
”Kami tidak tahu bantuan apa yang bisa meringankan teman-teman. Kalau mereka minta, kami akan berikan. Tapi, mereka tidak minta, akhirnya kami bahu-membahu saja mengumpulkan dana setidaknya untuk meringankan beban mereka,” kata Iboy.
Lantunan doa juga tak putus-putus dipanjatkan berbagai kelompok masyarakat. Di depan Balai Kota Malang, di depan Gereja Kayu Tangan, di halaman Stadion Kanjuruhan, bahkan hingga ribuan kilometer dari Malang, doa terlantun pagi, siang, malang. Semua berharap para korban meninggal dengan tenang, yang ditinggalkan sabar, dan berharap pula hal ini tak terulang.
Dengan berbagai dukungan tulus itu, diharapkan luka-luka batin yang ada bisa terobati segera. Lekas pulih kawanku, lekas pulih saudaraku.