Benahi Tata Kelola Kompetisi
Perbaikan tata kelola kompetisi menjadi suatu keniscayaan demi menghindari terulang jatuhnya korban jiwa di laga sepak bola. Aturan khusus untuk suporter dibutuhkan agar ada pedoman bersama.
Wafatnya 125 orang, yang mayoritas pendukung Arema atau Aremania, seusai laga derbi Jawa Timur antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022), seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi tata kelola kompetisi sepak bola profesional Indonesia. Tanpa perubahan menyeluruh pada pengelolaan liga, mustahil untuk menghindari terulangnya nyawa menghilang akibat pertandingan di lapangan hijau.
Sebelum pecahnya tragedi Kanjuruhan, berdasarkan data Save Our Soccer(SOS), Liga Indonesia telah mengakibatkan 81 orang meninggal sejak dimulai pada 1994. Lima korban jiwa di antaranya tercipta pada tahun ini.
Jatuhnya korban jiwa selama ini hanya dibalas PSSI dengan sanksi partai usiran, larangan penonton, hingga denda kepada klub tuan rumah sebuah pertandingan yang gagal mengantisipasi nyawa melayang. Hukuman itu berulang kali dijatuhkan, tetapi korban jiwa juga terus terjadi di setiap musim.
Baca juga : Mahfud MD: Ungkap Pelaku Pidana dalam Tragedi Kanjuruhan
Menurut Fajar Junaedi, peneliti budaya suporter sepak bola, tragedi Kanjuruhan membuktikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan PT Liga Indonesia Baru tidak kompeten mengelola pertandingan sepak bola secara profesional. Hal itu diperparah dengan buruknya tata kelola laga yang diperlihatkan melalui buruknya koordinasi federasi dengan aparat keamanan sehingga gas air mata tetap digunakan meski telah dilarang oleh FIFA.
Tragedi Kanjuruhan bukan konflik antarsuporter, tetapi merupakan konsekuensi tata kelola kompetisi yang buruk. Normalisasi hal-hal tidak normal, seperti situasi tim tamu (Persebaya) datang ke stadion dengan kendaraan lapis baja, menunjukkan buruknya tata kelola itu.
”Tragedi Kanjuruhan bukan konflik antarsuporter, tetapi merupakan konsekuensi tata kelola kompetisi yang buruk. Normalisasi hal-hal tidak normal, seperti situasi tim tamu (Persebaya) datang ke stadion dengan kendaraan lapis baja, menunjukkan buruknya tata kelola itu,” kata Fajar, Minggu (2/10/2022).
Lebih lanjut, Fajar menyebutkan, otoritas sepak bola Indonesia juga tidak memikirkan mitigasi dari sebuah musibah yang diakibatkan tingginya rivalitas di sebuah pertandingan besar. Pada laga Arema versus Persebaya, misalnya, tidak ada peringatan mitigasi mengenai jalur evakuasi, bahkan jalur evakuasi di stadion tidak disiapkan.
Baca juga : Pemerintah Bentuk Tim Pencari Fakta
Secara terpisah, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai, tragedi di pengujung derbi Jawa Timur itu adalah puncak dari rentetan kejadian jatuhnya korban jiwa di kompetisi sepak bola Indonesia. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah menghentikan kompetisi sampai akar permasalahan tragedi itu bisa ditemukan, lalu pemerintah perlu pula membentuk tim independen pencari fakta untuk mengusut tuntas kasus ini.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Stadion Kanjuruhan telah dibentuk pemerintah pada Senin (3/10/2022) dengan ketua Menko Polhukam Mahfud MD, wakil ketua Menpora Zainudin Amali, sekretaris Nur Rochmad (mantan Jampidum/mantan Deputi III Kemenko Polhukam), dan beranggotakan 10 orang.
”Sejak bergulirnya kompetisi pascapandemi telah banyak korban jiwa, seperti di Bandung dan Yogyakarta, tetapi respons pemerintah biasa saja serta tidak ada pembenahan serius dalam pengendalian suporter maupun keamanan di dalam dan luar stadion,” ujar Huda.
Ia menambahkan, temuan tim independen bisa menjadi rekomendasi untuk menentukan langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah guna membenahi manajemen kompetisi sepak bola.
Baca juga : Kematian Menghantui Sejarah Sepak Bola Indonesia
Tidak hanya buruknya tata kelola, tragedi Kanjuruhan juga membuktikan masih gagapnya otoritas sepak bola Indonesia mengimplementasikan aturan hukum yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Padahal, pada Pasal 54 Ayat (4) UU Keolahragaan disebutkan bahwa penyelenggara kompetisi wajib memperhatikan hak penonton, seperti mengekspresikan dukungan, semangat, dan motivasi; memperoleh fasilitas; serta mendapat jaminan keselamatan dan keamanan.
Regulasi suporter
Koordinator SOS Akmal Marhali menuturkan, PSSI harus menjadikan tragedi di Kanjuruhan sebagai momentum untuk menciptakan regulasi khusus bagi suporter, seperti Football Spectators Act yang dikeluarkan Inggris pada 1989 untuk memerangi aksi holiganisme pendukung sepak bola. Tak hanya dibuat, lanjutnya, regulasi itu penting disosialisasikan kepada suporter demi membangun kesadaran bersama untuk diterapkan secara patuh di kompetisi nasional.
”Kehadiran regulasi yang mengikat menjadi kunci agar suporter memahami halal dan haram ketika menonton pertandingan. Selain itu, Regulasi Keamanan dan Keselamatan Stadion FIFA juga harus disosialisasikan kepada seluruh pihak terkait agar tidak ada lagi kekeliruan, seperti penggunaan gas air mata,” ucap Akmal.
Baca juga : Aremania dan Identitas Sosial Arek Malang
Kelompok suporter pun terbuka untuk kehadiran regulasi khusus. Hal itu disampaikan oleh sejumlah pendukung Persebaya yang tergabung dalam Bonek Writers Forum (BWF) serta Brigata Curva Sud (BCS), salah satu kelompok pendukung PS Sleman.
Iwan Iwe, anggota BWF, menyebut UU suporter seperti di Inggris wajib disusun oleh otoritas sepak bola bersama pemerintah. Upaya itu, tambahnya, menjadi salah satu cara untuk membenahi permasalahan suporter yang berulang menahun.
”Penghentian liga sementara memang salah satu langkah (pembenahan), tetapi jangan lupakan akar dari permasalahan ini, yakni tak adanya regulasi untuk mengantisipasi agar peristiwa serupa tidak terjadi di masa mendatang,” kata Iwan.
Di sisi lain, Zulfikar Nugroho Putro, salah satu koordinator BCS, mengatakan, semua pihak, baik federasi, operator kompetisi, klub, maupun suporter, harus melakukan introspeksi diri untuk perbaikan kultur sepak bola nasional menyusul liga tak berhenti menghadirkan korban jiwa. Di musim ini, BCS telah kehilangan dua anggota keluarganya yang menjadi korban laga sepak bola, yaitu Tri Fajar Firmansyah dan Aditya Eka Putranda.
Baca juga : Cegah Tragedi Kanjuruhan Berulang, Pemerintah Bakal Sosialisasikan Protokol Internasional
Akibat hal itu, BCS melakukan aksi menarik diri untuk tidak memenuhi tribune selatan Stadion Maguwoharjo pada laga kandang PSS selama satu bulan terakhir.
”Kami undur diri karena ingin mengintrospeksi diri. Korban jiwa yang hadir di sepak bola nasional adalah kesalahan kolektif semua elemen yang terlibat sehingga perlu sama-sama membenahi diri. Kami pun terbuka apabila dilibatkan dalam penyusunan aturan suporter demi perbaikan bersama,” kata Zulfikar.
Adapun Sekretaris Jenderal PSSI Yunus Nusi menyatakan, respons terhadap tragedi Kanjuruhan amat ditentukan dari hasil penyelidikan tim investigasi PSSI dan PT LIB yang baru dimulai. Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan memimpin langsung penyelidikan itu.
”Kami tentu akan melakukan evaluasi, seperti di setiap kejadian sebelumnya. Ini menjadi evaluasi yang sangat serius bagi PSSI, PT LIB, dan semua pihak. Kami akan menyiapkan kajian-kajian tentang kelanjutan kompetisi seperti yang diminta Bapak Presiden dan Bapak Menpora,” kata Yunus.