Modal Bakat Semata Tidak Lagi Cukup untuk Menembus IBL
Modal bakat saja tidak cukup untuk pebasket muda menjadi pemain profesional di IBL. Kisah perjuangan calon pendatang baru di Rookie Combine menggambarkan itu. Mereka bahkan nyaris menggadaikan mimpinya.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Sebanyak 32 calon rookie alias pendatang baru saling unjuk gigi dalam kegiatan latih tanding di Aim High Stadium, Tangerang, pada hari terakhir Rookie Combine Liga Bola Basket Indonesia (IBL), Kamis (29/9/2022). Di antara banyaknya bakat baru, Ryan Mauliza, pebasket asal Medan (22), adalah salah satu yang paling mencuri perhatian.
Berposisi sebagai shooting guard, tubuh pemain muda itu hanya setinggi 1,78 meter. Ia kalah postur dari mayoritas pemain lainnya yang tinggi rata-ratanya lebih dari 1,8 meter. Namun, dengan tubuh berotot kering, dia tidak takut beradu badan dengan siapa saja, termasuk rookie rekomendasi setinggi 1,97 meter, yaitu Julian Chalias.
Ketika menjaga guard lawan, Ryan selalu dihalangi oleh Chalias. Meskipun begitu, Ryan selalu bisa mengejar sang lawan berkat kecepatan langkah lateral. Dia tampak sangat tenang dan percaya diri, ketika banyak calon rookie lainnya sering membuat kesalahan karena grogi dipantau para pelatih dari klub-klub IBL.
”Dia (Ryan) sudah punya modal sejak hari pertama. Dia mencatat nilai terbaik dalam tes fisik beep test, bahkan melampaui catatan rookie tahun lalu. Kalau fisik bagus, mau diberi latihan apa pun sanggup. Dia bisa berpikir jernih dalam keadaan capek,” kata Pelatih Rookie Combine IBL Amin Prihantono.
Ryan sebetulnya bukan tipe guard atraktif. Kemampuan dribelnya biasa-biasa saja. Akan tetapi, gerakan mahasiswa dari Universitas Prima Indonesia itu selalu efisien. Dia tahu kapan harus mengoper atau menembak. Tembakan tiga angka dari sudut kanan menjadi kelebihannya. Namun, kemampuan terbaiknya adalah saat bertahan.
”Saat latihan, dia selalu agresif membuat defense. Pemain yang dijaganya pasti 'gerah'. Kemampuan defense itu sangat penting karena kalau shooting semua bisa. Harus ada yang menonjol biar dipakai pelatih,” ujar Amin yang dulu mengawali kariernya di Satria Muda sebagai pemain spesialis bertahan.
Mirisnya, potensi Ryan ternyata tidak terpantau hingga baru-baru ini, yaitu pada usia 22 tahun. Pemain yang sempat tinggal di Aceh dan Medan itu tidak punya kesempatan menunjukkan potensinya. Kompetisi berlevel perguruan tinggi sangat minim di dua kota itu.
Nyaris menggadaikan
Pemain dari klub Methodist 2 Hawks itu bahkan sempat nyaris menggadaikan mimpinya untuk bermain di liga profesional. Mahasiswa semester delapan itu akan segera lulus kuliah. Dia fokus kuliah karena terikat beasiswa dari klub.
”Selama kuliah saya selalu bertanggung jawab dengan beasiswa itu. Jadi, saya tidak mau kerja yang lain. Fokus saya hanya kuliah dan terus berlatih basket. Sempat bingung kalau kuliah sudah selesai mau ngapain. Untungnya, ada Rookie Combine ini. Tuhan itu baik sekali. Saya dikasih kesempatan seperti ini,” ujarnya.
Keberuntungan Ryan itu datang tiba-tiba. Pada pertengahan September, Methodist 2 Hawks menjalin kerja sama dengan klub IBL, Pacific Caesar Surabaya. Mereka merger menjadi Elang Pacific Caesar Surabaya. Maka, beberapa pemain berbakat Hawks, salah satunya Ryan, dipanggil berlatih ke Surabaya.
Alhasil, banyak yang memutuskan kuliah ke luar negeri. Mungkin, pertimbangan utamanya kesejahteraan. (Jap Ricky Lesmana)
Ryan pun direkomendasikan menjadi calon rookie IBL, bersama dua pemain lainnya dari Medan. Alhasil, upayanya berlatih tanpa henti selama ini terbayar lunas. Bakatnya bisa terlihat juga, setelah sekian lama terpendam di Medan. Kesempatan langka itu pula yang membuat Ryan tampil serius di Rookie Combine.
”Saya baru pertama kali merasakan main sama pemain bagus. Ini mimpi saya. Mau terpilih atau tidak, saya akan memberikan yang terbaik. Tak semua orang bisa dapat, terutama orang Sumatera seperti kami. Basket jarang terpantau di sana. Kompetisi level kampus sangat jarang,” katanya.
Jap Ricky Lesmana, asisten pelatih Pelita Jaya Bakrie Jakarta sekaligus pelatih tim asket SMA Bukit Sion, berkata, masuk IBL sangatlah sulit. Bahkan, setelah bertahun-tahun melatih tim langganan juara DBL (kompetisi antarpelajar) itu, belum ada anak asuhnya yang bisa tampil di IBL.
Ia berkata, ada kekosongan jenjang sebelum pebasket masuk IBL dan seusai lulus SMA. Tidak ada kompetisi yang bisa menjamin keberlangsungan karier mereka. ”Alhasil, banyak yang memutuskan kuliah ke luar negeri. Mungkin, pertimbangan utamanya kesejahteraan,” katanya.
Pada akhirnya, modal bakat saja memang tidak cukup bagi pebasket muda untuk menembus IBL. Begitu banyak faktor yang ikut menentukan, mulai dari sabar menanti peluang hingga bertaruh masa depan. Itulah risiko jika ingin menjadi pebasket profesional di negara yang belum punya ekosistem kompetisi dan pembinaan terstruktur.