Gregoria Mariska Tunjung bermain baik dalam tiga turnamen terakhir, di Malaysia dan Singapura. Kini, rasa percaya diri yang dibangunnya secara perlahan akan duji dalam panggung besar, yaitu Kejuaraan Dunia.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Kalah pada babak pertama dalam dua turnamen pertama pada 2022 membuat Gregoria Mariska Tunjung bercerita melalui media sosial tentang rasa tak percaya dirinya. Melihat masih banyak yang mendukung, dia bangkit dalam turnamen di Malaysia dan Singapura. Kini, ketahanan mental Gregoria akan diuji dalam panggung lebih besar, Kejuaraan Dunia.
Gregoria menjadi wakil tunggal putri Indonesia, bersama Putri Kusuma Wardani, dalam salah satu ajang Kategori I pada struktur turnamen Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) itu. Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis untuk ke-27 kali ini akan berlangsung di Tokyo Metropolitan Gymnasium.
Memang sulit untuk mengharapkan gelar juara dunia seperti ketika Verawaty Fajrin mendapatkannya dari Kejuaraan Dunia Jakarta 1980 dan Susy Susanti di Birmingham 1993. Dari dua penampilan sebelumnya, di Nanjing 2018 dan Basel 2019, Gregoria kalah pada babak kedua dan ketiga. Adapun bagi Putri, ini akan menjadi Kejuaraan Dunia pertamanya.
Tahun ini, juga, bukan tahun yang mudah bagi Gregoria. Kekalahan pada babak pertama dua turnamen awal, yaitu All England dan Kejuaraan Asia, membuatnya kehilangan kepercayaan diri.
Ini berbeda dengan tahun pertamanya setelah naik dari level yunior, yaitu ketika dia bisa mencapai semifinal Thailand Terbuka BWF World Tour Super 500 dan perempat final Denmark Terbuka BWF World Tour Super 750 2018. Hasil itu menjadi bagian dari prestasi yang bisa membawanya menjadi tunggal putri nomor satu Indonesia, sejak Mei 2018, menggeser posisi Fitriani.
Namun, sejak memasuki musim kompetisi 2019, dia bagai ditenggelamkan statusnya itu hingga membuka isi hatinya pada publik melalui Twitter pada 23 Mei 2022. Gregoria merasa tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya selama empat tahun terakhir, sejak naik kelas dari kategori yunior.
“Setelah saya menulis di Twitter, perasaan saya lebih enteng karena banyak yang memberi dukungan, tentunya selain dukungan dari pelatih, psikolog, dan keluarga,” kata Gregoria.
Secara garis besar, tunggal putri yang saat ini berperingkat ke-24 dunia itu bercerita, selama ini, dia tidak bisa mencari cara yang benar mendorong diri sendiri untuk menjadi lebih baik. Pada akhirnya, semua menjadi beban baginya.
Setelah saya menulis di Twitter, perasaan saya lebih enteng karena banyak yang memberi dukungan.
Saat berhadapan dengan pemain top dunia misalnya, Gregoria tidak menjadikan itu sebagai motivasi untuk bermain tanpa tekanan, melainkan menjadi beban. Maka, meski sering mendapat peluang menang, hasilnya selalu berakhir dengan kekalahan bagi pemain berusia 23 tahun itu.
Pada babak kedua Kejuaraan Dunia 2018, dia kalah dua gim dari unggulan kelima, Chen Yu Fei, dalam skor ketat 17-21 20-22. Peraih perunggu SEA Games Vietnam 2021 itu, bahkan, hampir mengalahkan juara dunia 2013, Ratchanok Intanon, pada babak ketiga di Basel 2019. Dia memenangi gim pertama dan hampir menang dua gim, tetapi akhirnya kalah 21-18, 21-23, 10-21.
Dalam jeda satu bulan di antara Kejuaraan Asia dan Indonesia Masters, sepanjang Mei, Gregoria menata kembali mentalnya. Dia berusaha tak menyerah meski dalam kondisi terpuruk.
Pelatih tunggal putri pelatnas Herli Djaenudin membantu membangkitkan motivasinya dengan mengingatkan pada prestasi di level yunior. Sebelum menjadi juara dunia 2017, Gregoria mendapat perak Kejuaraan Asia yunior 2016.
Sementara, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP PBSI Rionny Mainaky, berkali-kali mengingatkan kurangnya daya juang Gregoria, bahkan, sejak latihan. “Urusan kalah menang, itu belakangan. Kalaupun kalah, dia tidak boleh kalah begitu saja. Daya juangnya harus ditambah. Apalagi, dia sebenarnya pukulan berbahaya yang bisa membuat lawan kesulitan,” tutur Rionny.
Setelah berkontemplasi selama Mei, Gregoria bertanding di hadapan publik sendiri, di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, dengan hasil kalah pada babak kedua Indonesia Masters dan babak pertama Indonesia Terbuka.
Optimisme baru akhirnya terlihat ketika dia tampil pada Malaysia Terbuka, Malaysia Masters, dan Singapura Terbuka selama tiga pekan beruntun pada Juli. Dia dua kali mengalahkan pemain tunggal putri nomor satu dunia, Akane Yamaguchi, yaitu pada babak pertama Malaysia Terbuka dan perempat final Malaysia Masters.
“Saya bisa berpikir lebih positif. Tidak lagi menjadikan semuanya sebagai beban, tetapi motivasi,” katanya tentang kunci penampilan di Malaysia dan Singapura.
Sebulan setelah momen itu, pola pikir Gregoria akan diuji pada panggung lebih besar, yaitu Kejuaraan Dunia. Dia pun berharap bisa tampil dengan sikap yang sama seperti ketika di Malaysia dan Singapura. Apalagi, jika bisa mengalahkan Kirsty Gilmour (Skotlandia) pada babak pertama, Gregoria akan berhadapan dengan Yamaguchi, sebagai juara bertahan, pada babak kedua.
Pemain Jepang itu difavoritkan mempertahankan gelar juara. Namun, dia harus bertahan dari kejaran tiga pesaing beratnya, yaitu Tai Tzu Ying (juara All England), An Se-Young (bintang muda Korea Selatan), dan Chen Yu Fei (peraih emas Olimpiade Tokyo 2020).
Keempatnya telah memperoleh gelar juara dari ajang besar tahun ini, di antaranya Yamaguchi yang menjuarai All England dan Tai sebagai juara Indonesia Terbuka. An, yang berusia 20 tahun dan termuda di antara mereka, mendapat dua gelar juara pada level Super 500 serta final All England, sementara Chen menjadi juara Indonesia Masters 500.
Dengan level prestasi yang jauh di bawah empat tunggal putri peringkat teratas itu, maka, cukuplah bagi Gregoria dan Putri untuk bisa mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Jadikan setiap tantangan menjadi motivasi, apalagi, tak setiap pebulu tangkis bisa memperoleh kesempatan tampil dalam Kejuaraan Dunia.