Enggan Mengemis, Lukman Bawa Thailand Berjaya di Vietnam
Tim angkat besi Thailand, yang sempat terpuruk akibat sanksi doping, bangkit perkasa di SEA Games Vietnam lalu. Lukman, mantan pelatih Indonesia, adalah sosok di balik kebangkitan Thailand mengalahkan ”Merah Putih”.
Oleh
KELVIN HIANUSA, I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
Lukman, mantan pelatih angkat besi Indonesia, membeberkan alasannya meninggalkan Tanah Air untuk membangkitkan Thailand yang sempat terpukul sanksi doping. Tak perlu waktu lama, ia meraih prestasi gemilang dalam debutnya bersama tim Thailand di SEA Games.
Pelatih yang pernah membawa sejumlah lifter nasional, seperti Eko Yuli, Triyatno, dan Lisa Rumbewas, meraih medali Olimpiade itu mengantarkan Thailand jadi juara umum cabang angkat besi SEA Games Vietnam 2021. Mereka meraih 6 medali emas, 5 perak, dan 1 perunggu. Namun, capaian gemilang itu tak semanis yang ia kira karena harus mengalahkan Indonesia, tanah kelahiran dan tempat hatinya tertambat.
Ia bahkan sempat dicap pengkhianat. Tim angkat besi Indonesia menempati peringkat ketiga di Vietnam dengan 3 emas, 3 perak, dan 4 perunggu. Berikut ini petikan hasil wawancara dengan Lukman di sela-sela SEA Games Vietnam di Hanoi Sports Training Center, Sabtu (21/5/2022).
Mengapa lifter-lifter Thailand masih mendominasi SEA Games setelah tiga tahun absen dari persaingan?
Kuncinya program latihan secara terus-menerus. Kami tetap ada periodisasi latihan. Ada tes, juga kejuaraan lokal. Kalau kejuaraan sendiri, kan, boleh (diikuti). Karena tidak ada pertandingan, ya sudah, saya lakukan pembinaan. Kami dapatkan tim ini dari hasil kejurnas. Sama seperti (di) Indonesia, kami punya fasilitas mess, tempat latihan, di camp tentara di Chiang Mai.
Setelah masuk timnas, program (untuk lifter) jalan terus. Walaupun (pandemi) Covid-19 juga jalan. Artinya, aktivitas untuk training program pembinaan itu jalan terus. Jadi, tidak ada berhentinya mereka. Seperti kita (Indonesia), kan, baru-baru saja.
Kalau di sana memang untuk pembangunan. Artinya, walaupun tidak mewah, kalau sudah namanya angkat besi, setiap daerah atau provinsi sangat mendukung sekali (di Thailand). Event yang dilakukan untuk remaja dua-tiga kali setahun. Yunior pun begitu. Pelajar juga ada. Program ini sudah bergulir bertahun-tahun. Di sini atletnya juga lebih nurut. Mungkin karena mayoritas datang dari militer. Ada (yang) beda dari sisi manajemennya. Lebih tertib di Thailand, dalam hal kepengurusan. Lebih disiplin, terprogram. Selama tak ada masalah, jalan terus. Itu yang saya salut. Federasi Angkat Besi Thailand ini sangat didukung juga.
Bisa diceritakan, bagaimana sampai melatih Thailand?
Saya sejak 1997 mulai jadi pelatih sampai kemarin (Olimpiade Tokyo) di Indonesia. Sebelum Tokyo, pada 2014 saya terakhir menangani Indonesia untuk Asian Games Incheon. Lalu, 2017, (pengurus cabang) katanya membuka peluang selebar-lebarnya bagi saya masuk timnas. Saya tunggu tak ada. Namun, jujur dan minta maaf, saya enggak ngemis. Saya enggak tagih. Saya profesional saja. Akhirnya, Asian Games 2018, Thailand lihat saya.
Barulah masuk ke sana. Saya baru terlibat di tim ini sekitar 3 tahun. Kebetulan, ketika saya datang, saya tidak masuk dalam tim (Thailand) untuk Kejuaraan Dunia 2018. Setelah Asian Games, tim ini ada yang membawa dua pelatih asing. Jadilah kena kasus doping sehingga di-banned 2-3 tahun. Tidak turun sampai Olimpiade (Tokyo). (Saat itu) saya diizinkan kembali menangani Eko (Yuli). Ada peran NOC Indonesia dengan Thailand. Setelah itu, saya kembali lagi ke Thailand.
Bagaimana perasaannya harus berhadapan dengan negara dan mantan atlet sendiri di Vietnam?
Kalau pakai perasaan pasti enggak tega. Enggak tega mengalahkan. Namun, secara profesional, saya punya tanggung jawab. Saya harus nunjukin prestasi (bersama Thailand). Saya anggap ini hanya games. Tidak ada istilah mengalahkan. Ini harus jadi suatu prinsip yang saya lakukan. Fighting, ya, fighting saja. Namun, kenyataannya, kadang-kadang begitu kalau kita tidak digunakan dan dipakai negara lain. Kita selalu dikatakan pengkhianat. Jadi, saya dikira pengkhianat.
Lalu, 2017, (pengurus cabang) katanya membuka peluang selebar-lebarnya bagi saya masuk timnas. Saya tunggu tak ada. Namun, jujur dan minta maaf, saya enggak ngemis. Saya enggak tagih. Saya profesional saja. Akhirnya, Asian Games 2018, Thailand lihat saya.
Anda sempat kembali melatih Eko di Olimpiade Tokyo. Apakah mungkin kembali bersama Eko menuju Olimpiade Paris 2024?
Saya selalu siap. Namun, tampaknya saat ini karena satu dan lain hal saya tidak bisa kembali. Sempat habis Olimpiade berbincang dengan Ketum PABSI Pak Rosan (P Roeslani), (tentang) bagaimana pembinaan untuk Eko karena masih ada keinginan di Olimpiade 2024.
Saya menunggu konfirmasi, tetapi tidak ada keputusannya. Saya tidak tahu juga. Saya pikir, selama masih ada urusan itu (politik), saya sulit kembali. Apalagi, saya baru saja tanda tangan perpanjangan kontrak dengan Thailand. Mereka ingin fokus ke kualifikasi Olimpiade. Karena tak ada kepastian (dari Indonesia), ya, saya ambil saja.
Kenapa Indonesia belum bisa dapat emas di Olimpiade?
Di tim angkat besi Indonesia, saya empat-lima kali bawa (tim) sampai (Olimpiade) di Tokyo. Eko tiga kali di Olimpiade, Lisa dua kali. (Meraih) medali semua. Cuma, belum bisa mendapat medali emas. Mungkin karena faktor nonteknis atau internal yang menjadikan kita tidak maksimal. Nonteknis seperti (kondisi) organisasi. Harusnya, atlet itu fokus. Namun, dengan adanya hal, seperti politik di dalam, itu membuat suasana gaduh.
Contohnya, saat saya mau datang kemarin (ke Indonesia), kan, dihalangi. Awalnya sudah disetujui, tiba-tiba dianulir. Jadi, saya dihalangi menangani Eko. Kan, Eko sejak awal sampai dia bisa meraih medali di Olimpiade maunya ditangani saya. Nah, untuk atlet yang sudah level Olimpiade, mestinya didengar pengurus. Jadi, jangan maunya pengurus. Yang menjalaninya, kan, atlet, bukan pengurus.
Nah, ini adalah faktor nonteknis. Politik itu yang membuat kita rusak. Atlet jadi kacau. Persiapan kita juga enggak maksimal. Faktor ini yang membuat kita nggak bisa maksimal. Kalau memang PB (Pengurus Besar PABSI) sadar, petingginya juga, saya bersyukur. Kalau enggak, ya, begitu terus.
Lantas, apa yang bisa dikembangkan dalam kepelatihan angkat besi di Indonesia?
Penanganan harus betul-betul (dari) pelatih ke atlet. Maksimal lima atlet (ditangani) satu pelatih. Tingkat elite maksimal dua-tiga atlet. Penanganan harus lebih spesifik. Siapa yang lebih kompeten. Harusnya, federasi yang tahu. Jangan sampai ada intrik politik.
Bagaimana hubungan Anda dengan Eko Yuli saat ini?
Dia sudah seperti anak saya. Tidak bisa dimungkiri, sejak kecil sampai sekarang. Kedekatan saya (dengan Eko) sudah sekitar 20 tahun. Saya melatih dia dari usia 12 tahun.
Lantas, bagaimana Anda menilai prestasi Indonesia di SEA Games Vietnam?
Saya cukup salut dengan Rahmat (Erwin Abdullah) dan Rizki (Juniansyah). Namun, kita juga jangan cepat puas. Mereka harus didukung lebih besar lagi. Dukungan sport science (lebih ditingkatkan). Di Indonesia, ini (pendekatan sains olahraga) kan masih tradisional. Kalau ditangani dengan sport science yang betul dan sport nutrition yang betul-betul diprogramkan, saya yakin mereka akan lebih bagus performanya.