Pesenam artistik Rifda Irfanaluthfi akan menuju SEA Games terakhir dalam karier cemerlangnya. Pelatih tim putri, Eva Novalina Butar Butar, akan memulai perjalanan berliku melahirkan ratu senam selanjutnya.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Rifda Irfanaluthfi berdiri tegak, membusungkan dada di matras senam lantai GOR Radin Inten, Jakarta, Kamis (28/4/2022). Tangan kirinya bertolak di pinggang, tangan kanannya diangkat ke arah berlawanan. Pelatih Eva Novalina Butar Butar mengawasi di baliknya. Para pesenam klub yang berada di GOR sejenak memalingkan fokus ke Rifda.
Musik latar mulai berdetak. Rifda yang memasang wajah serius langsung berubah ceria. Dia menampilkan rutin gerakan, dari tarian luwes hingga salto energik, mengikuti irama bertempo agak cepat. Tanpa terasa, satu set gerakan semenit lebih yang akan dibawa ke SEA Games Vietnam 2021 telah rampung.
Eva tampak puas, terlihat dari anggukan kepala selama penampilan anak asuhnya. Di sekeliling matras, pesenam muda klub berdecak kagum. Mereka memberikan tepuk tangan. Pesona Sang ”Ratu Senam” tak memudar meskipun tengah dibelenggu cedera retak tulang kering di kaki kiri.
Sambil menahan rasa sakit, atlet asli Jakarta itu tetap mampu tampil bak primadona. ”Mencari sosok seperti Rifda sangat sulit. Dia punya semua talenta yang dibutuhkan, fisik hingga mental. Belum tentu ada di setiap generasi sosok seperti ini,” puji Eva, yang dijuluki ”Ratu Senam Asia Tenggara” pada 1980-an.
Rifda bukan hanya ikon senam nasional, melainkan juga pesenam tersukses dalam sejarah Indonesia. Tidak ada yang bisa meraih medali perak dari cabang senam di Asian Games, selain dia di nomor senam lantai pada 2018.
Namun, waktu berlalu. Begitu juga dengan era pesenam. Rifda yang akan berusia 23 tahun pada Oktober berencana menjadikan ajang di Vietnam sebagai SEA Games terakhirnya. Berada di pengujung usia karier mayoritas pesenam putri, dia menatap persimpangan akhir setelah berprestasi di tiga edisi sebelumnya.
Teror Filipina
SEA Games terakhir itu tidak semulus rencana Rifda. Dia begitu bersemangat. Akan tetapi, ambisi berprestasinya dihadang cedera. Kata Rifda, persiapan kali ini merupakan paling minim ketimbang ajang terdahulu. Akibat pemulihan cedera tulang kering, dia baru efektif berlatih mulai Maret lalu.
Mirisnya, cedera itu belum sembuh total meskipun pemulihan sudah berlangsung sejak PON Papua 2021, Oktober lalu. Dia masih merasa sakit setiap bertumpu. Eva pun terpaksa mengurangi tingkat kesulitan gerakan anak asuhnya di nyaris semua alat, kecuali palang bertingkat yang tidak banyak membutuhkan peran kaki.
Rifda, menurut Eva, masih bisa mempertahankan nilai seperti di ajang-ajang sebelumnya walaupun tingkat kesulitan diturunkan. Dia akan lebih difokuskan dalam eksekusi gerakan yang lebih bersih. Kesempurnaan itu terus ditekankan selama pemusatan latihan nasional.
Namun, tantangan terbesar justru berasal dari calon kompetitor. Rifda tidak akan bertemu lagi dengan rival terbesarnya di Asia Tenggara, yaitu pesenam Malaysia Farah Ann Abdul Hadi (27). Peraih 7 emas SEA Games itu memutuskan pensiun dua bulan lalu.
Ancaman kini datang dari tim Filipina yang membawa atlet keturunan Amerika Serikat, Aleah Finnegan (19). Mantan pesenam nasional AS itu berpaling ke Filipina setelah gagal masuk tim Olimpiade Tokyo 2020. Dia yang dilatih di negara kiblat senam dunia, bersama peraih emas Olimpiade Sunisa Lee, punya kualitas melampaui pesenam Asia Tenggara.
Karena itu, Rifda tidak terlalu membebani diri. ”Aku hanya mau melakukan yang terbaik saja. Enggak mau menuntut banyak, apalagi spesifik harus medali emas. Nanti malah jadi beban, kepikiran, lalu buyar saat tampil,” ucap peraih 2 emas SEA Games itu.
Persimpangan akhir
Persimpangan akhir Rifda membawa problem lebih kompleks. Ada satu pertanyaan tak terjawab, ”Siapakah penerus Rifda?” Belum ada pengganti sepadan Sang Ratu Senam hingga kini. Jarak kualitasnya dengan para yunior terpisah jurang lebar.
Ameera sudah harus kita siapkan dari sekarang. Ada potensi dia untuk tampil di Olimpiade 2028 saat usia 22 tahun. Namun, dia harus dikirim ke luar, Amerika Serikat mungkin. Tidak bisa didiamkan saja.
PON Papua memperlihatkan jurang itu ketika Rifda menyabet empat emas (3 individu, 1 beregu) tanpa kesulitan berarti. Di nomor individu keseluruhan, empat alat, dia meraih emas dengan total nilai 51,500. Peringkat kedua, Trithalia (19), tertinggal jauh dengan nilai 46,650. Selisih nilai 1,000 cukup besar di senam artistik, menandakan perbedaan tingkat kesulitan dan eksekusi.
Saat regenerasi sangat dibutuhkan, tim senam hanya bisa membawa dua atlet dari total enam atlet pelatnas ke Vietnam. Mereka dibatasi kuota oleh Tim Review Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Eva terpaksa meninggalkan pesenam potensial, seperti Trithalia dan Salsabila Hadi (16). Karena hanya bisa membawa satu atlet, selain Rifda, dia memilih pesenam belia Ameera Rahmajanni Hariadi (16) yang baru saja naik status dari usia yunior ke senior tahun ini.
Ameera belum terbukti di level senior. Dia tidak mengikuti PON karena belum cukup umur. Meskipun begitu, Eva memilihnya karena melihat potensi besar untuk jangka panjang. Menurut pelatih bertangan dingin ini, Ameera mungkin belum bisa berprestasi di SEA Games, tetapi dia bisa melampaui pesenam senior lain dalam beberapa tahun mendatang.
Salah satu pertimbangannya, Ameera lebih lengkap karena kemampuan merata hampir semua alat.
”Ameera sudah harus kita siapkan dari sekarang. Ada potensi dia untuk tampil di Olimpiade 2028 saat usia 22 tahun. Namun, dia harus dikirim ke luar, Amerika Serikat mungkin. Tidak bisa didiamkan saja,” ucap Eva, yang tidak membebani target terhadap tim putri di Vietnam.
Seperti berulang kali disampaikan Eva, sulit mencari bakat atlet seperti Rifda. Untuk mencari penggantinya, butuh keseriusan membina dalam jangka panjang. Bakat pesenam muda, seperti Ameera, mungkin tidak sebesar Rifda, tetapi mereka bisa berkembang lebih baik dengan program tepat.
Jangan berharap hujan prestasi dari senam di Vietnam. Akan tetapi, jadikan hasil nanti sebagai pelecut untuk mewujudkan program pesenam menuju Olimpiade, melahirkan Rifda baru. Tanpa keseriusan jangka panjang, cabang prioritas Desain Besar Olahraga Nasional ini akan menatap era kegelapan yang pernah terjadi awal abad ke-21, sebelum lahirnya Rifda di SEA Games Singapura 2015.