Paradigma lama, yaitu prestasi instan di Asia Tenggara, ternyata masih terbawa di SEA Games Vietnam 2021. Atlet senam kalah bersaing dari atlet vovinam menjadi bukti skema DBON belum diterapkan optimal.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
Muthia Nur Cahya (20), pesenam artistik putri asal Makassar, hanya bisa meratapi nasib di kampung halaman. Seharusnya, dia akan menjalani debut di SEA Games Vietnam 2021 dalam waktu kurang dari sebulan lagi. Namun, mimpi itu mendadak buyar karena pemotongan jumlah kontingen Indonesia.
Rasanya campur aduk saat disampaikan kami tidak jadi berangkat. Kecewa banget, sedih juga. Nyesek, kami sudah berlatih sekuat tenaga karena dijanjikan berangkat, tetapi tiba-tiba dibatalkan sebulan sebelum ke Vietnam.
”Rasanya campur aduk saat disampaikan kami tidak jadi berangkat. Kecewa banget, sedih juga. Nyesek, kami sudah berlatih sekuat tenaga karena dijanjikan berangkat, tetapi tiba-tiba dibatalkan sebulan sebelum ke Vietnam,” ucap Muthia saat dihubungi, Senin (18/4/2022), dari Jakarta.
Muthia, peraih emas PON Papua 2021, sudah dua pekan dipulangkan dari pemusatan latihan nasional di Surabaya, Jatim. Dia adalah satu dari empat pesenam putri yang tidak jadi berangkat ke Vietnam. Hanya dua pesenam yang berangkat, yaitu Rifda Irfanaluthfi (22) dan Ameera Hariadi (16).
Semua usaha kerasnya selama di pelatnas pun menguap begitu saja. Muthia sudah berjuang di pelatnas selama hampir enam bulan terakhir, setelah PON. Tidak kurang dari 750 jam dihabiskannya di tempat latihan. Dia juga rela menunda kuliah dan menahan rindu bertemu keluarga.
Mimpi itu terputus karena keputusan Tim Review Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Kementerian Pemuda dan Olahraga. Menurut ketua tim review Moch Asmawi, dengan keterbatasan anggaran tahun ini, hanya atlet berpotensi medali yang diberangkatkan.
Beberapa pengurus provinsi Persatuan Senam Indonesia (Persani) sempat ingin patungan memberangkatkan para pesenam tersisa. Namun, Muthia dan rekan-rekan tetap dituntut target medali oleh tim review. Pengurus Besar Persani tidak berani menjanjikan prestasi karena mayoritas atlet debutan.
Pemotongan ini masih terasa janggal mengingat senam merupakan salah satu cabang prioritas dalam skema Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Seperti yang selalu disampaikan Menpora Zainudin Amali, cabang prioritas akan menjadi difokuskan untuk mengejar prestasi Olimpiade. Adapun SEA Games hanya dijadikan sasaran antara, bukan prestasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prioritas artinya didahulukan. Namun, senam yang merupakan cabang induk di olahraga justru dikesampingkan. Tim review, kepanjangan tangan Kemenpora untuk mewujudkan skema DBON, lebih memilih mengirim 10 atlet dari cabang vovinam.
Vovinam, selain bukan cabang prioritas, juga bukan cabang populer. Jangankan Olimpiade, bela diri asal Vietnam itu bahkan tidak dimainkan lagi sejak terakhir kali di SEA Games Naypyidaw 2013. Vovinam bisa memberi prestasi instan, tetapi tidak dalam jangka panjang sesuai cita-cita DBON.
Di titik ini, prestasi instan masih jadi prioritas, bukan regenerasi untuk melompat lebih tinggi. ”Semoga pemerintah bisa menyesuaikan program jangka panjang. Jangan hanya medali. Pengalaman bertanding atlet sangat penting untuk mencapai target pada masa depan,” ucap manajer pelatnas yang juga mantan atlet senam, Dian Arifin.
Muthia tidak hanya melewatkan kesempatan debut di SEA Games, tetapi juga berpotensi kehilangan karier internasional. Adapun Vietnam merupakan batu loncatannya untuk bisa naik level ke Asian Games ataupun Olimpiade. Pesenam binaan Pusat Pelatihan Olahraga Ragunan itu kehabisan waktu.
Seperti diketahui, karier pesenam putri sangat pendek. Mayoritas pesenam saat ini sudah menurun drastis ketika berusia 25 tahun. ”Pasti akan sulit untuk bisa mengejar prestasi internasional. Apalagi sekarang saya berlatih di Makassar. Alat latihannya jauh dibandingkan di pelatnas,” ucap Muthia.
Mirisnya, cabang senam sedang mencari pengganti Rifda. Pesenam yang sudah berprestasi sejak 2015 itu mengumumkan tidak akan tampil lagi di SEA Games setelah Vietnam. Tanpa memberi jam terbang kepada sebanyak mungkin pesenam muda, akan lebih sulit lagi mencari penerus Rifda.
Ancaman paceklik pesenam putri pun di depan mata. Sebelumnya, butuh waktu dua dekade lebih untuk menemukan sosok ratu senam, dari Eva Novalina Butar Butar ke Rifda. Kata Eva yang sekarang memimpin pelatnas senam putri, paceklik itu sangat mungkin terulang tanpa persiapan regenerasi dari sekarang.
Senam kalah dari vovinam bukan tentang membandingkan dua cabang olahraga, melainkan tentang seberapa serius pemerintah mewujudkan DBON yang selalu disebut bisa memajukan prestasi olahraga. Sejauh ini, eksekusi rencana itu masih jauh dari sempurna, masih setengah hati.