Benfica berpegang pada kisah indah masa lalu untuk mengatasi Liverpool yang lebih unggul kualitas pemain. Dengan sejarah baik, Benfica punya setitik kepercayaan saat menghadapi ”Si Goliat”.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LISABON, SENIN — Banyak yang berpikir Liverpool sudah menginjakkan kaki di semifinal Liga Champions Eropa seusai undian perempat final. Di atas kertas, Mohamed Salah dan rekan-rekannya memang jauh diunggulkan menang atas tim ”kuda hitam”, Benfica. Namun, sejarah tidak berkata demikian. Kisah 16 tahun lalu bisa menjadi batu sandungan Liverpool sekaligus penyulut asa Benfica.
Pada 2006, kedua tim juga bertemu di babak 16 besar Liga Champions. Duel itu diibaratkan Daud versus Goliat. Realitasnya, sang juara bertahan, Liverpool, disingkirkan Benfica, tim yang tidak diunggulkan. ”Si Merah” kalah beruntun dalam tandang (0-1) dan kandang (0-2).
Pertemuan tim unggulan dan ”kuda hitam” ini tersaji lagi pada perempat final musim ini. Liverpool akan bertamu terlebih dulu ke kandang Benfica, Stadion da Luz, pada Rabu (6/4/2022) dini hari WIB. Seperti dahulu, stadion berkapasitas 65.000 penonton itu bakal kembali menjadi saksi bisu laga pertama perempat final.
Liverpool, juara Liga Champions 2019, jauh diunggulkan dengan bermodal 10 kemenangan beruntun di liga domestik. Tim asuhan manajer Juergen Klopp itu ibarat batu karang raksasa yang tidak bisa digeser oleh tiupan angin ataupun hantaman ombak. Dengan skuad bugar, mereka terlalu perkasa saat ini.
Meskipun begitu, Klopp paham mereka hanya unggul sebelum laga. Semua bisa berubah di lapangan. ”Orang-orang telah menempatkan kami di semifinal. Saya tidak melihat sama seperti itu. Benfica tim yang sangat kuat jika kami membiarkan mereka,” ucapnya.
Seperti diketahui, ini merupakan pertemuan pertama Benfica dan Liverpool di Liga Champions setelah 2006. Artinya, skuad Benfica yang dipimpin pelatih interim, Nelson Verissimo, masih mengunci ingatan indah pada duel terakhir, sementara Liverpool terbayang-bayang kenangan buruk.
Gol spektakuler
Simao Sabrosa, mantan penyerang Benfica, merupakan salah satu figur yang menggoreskan tinta pahit dalam sejarah Liverpool, 2006 silam. Dia mencetak gol spektakuler yang melengkung indah bak pelangi dari luar kotak penalti ke gawang kiper Pepe Reina. Gol itu membuat Benfica unggul agregat 3-0.
Simao, yang sekarang menjabat Direktur Hubungan Internasional Benfica, masih ingat betul kemenangan mengejutkan itu. Dia mengatakan, fondasi kemenangan bermula dari laga pertama di kandang ketika mereka menang 1-0. Kepercayaan dirinya dan rekan-rekannya memuncak setelah itu.
”Saya ingat semuanya. Atmosfer stadion begitu luar biasa. Terima kasih kepada penggemar karena kami bisa menang berkat itu. Kami hanya berpikir untuk memenangi laga saat itu meskipun lawannya adalah juara bertahan,” kata Simao kepada The Guardian.
Kisah heroik tersebut sangat mungkin terulang kembali dengan dukungan penggemar di Stadion da Luz. Benfica akan bermain di kandang lebih dulu. ”Sejarah itu mungkin terulang lagi. Semua bisa terjadi, seperti saat kami menyingkirkan Barcelona (di babak penyisihan grup) dan Ajax (di 16 besar). Ketika 11 melawan 11 di lapangan, semua mungkin terjadi,” ujar Simao.
Sempat inkonsisten
Padahal, tidak ada yang menyangka Benfica akan lolos sejauh ini. Penampilan mereka terbilang inkonsisten sejak pelatih sebelumnya, Jorge Jesus, dipecat pada akhir Desember. Pergantian pelatih ternyata tidak banyak membawa perubahan. Akhir pekan lalu, mereka dikalahkan Braga, 2-3.
Kami sadar (Liverpool kuat). Namun, laga Liga Champions selalu berbeda. Kami hanya harus bermain sebaik mungkin. (Nelson Verissimo)
Kemenangan Benfica atas Ajax Amsterdam di babak 16 besar juga berbau keberuntungan. Media sepak bola Portugal, A Bola, menulis, ”hanya satu tembakan cukup untuk membuat ’KO’ lawan”. Benfica lolos ke perempat final berkat gol semata wayang penyerang muda Darwin Nunez pada menit ke-77 laga kedua.
”Dewi Fortuna” seakan-akan memihak Benfica. Namun, sebenarnya, mereka punya Nunez yang bisa mengubah peruntungan dalam sekejap. Striker jangkung asal Uruguay yang disebut penerus Edinson Cavani itu punya insting membunuh di depan gawang. Dia sudah mencetak 27 gol dari 34 laga musim ini.
Nunez nyaris selalu muncul ketika dibutuhkan. Selain ke gawang Ajax, dia juga mencetak dua gol saat berhadapan dengan Barcelona. Dengan tubuh setinggi 1,87 meter, Nunez menjadi lawan sepadan untuk bek tangguh Liverpool, Virgil van Dijk.
Verissimo menyadari Liverpool begitu perkasa dengan kehadiran Salah di lini depan dan Van Dijk di barisan pertahanan. Jika dibandingkan, kedua tim itu bagaikan bumi dan langit. Namun, ia tak gentar.
”Kami sadar itu, tetapi kami tidak punya pilihan selain bertarung. Laga Liga Champions selalu berbeda. Kami hanya harus bermain sebaik mungkin,” ucapnya. (AFP)