Petaka 71 Tahun Silam Mulai Menghantui Everton
Ancaman degradasi mulai membayangi Everton. Mereka tetap mencatatkan poin terendah di Liga Primer Inggris meskipun telah mendatangkan Frank Lampard untuk menjadi manajer barunya, awal tahun ini.
Kekalahan 0-5 dari Tottenham Hotspur pada duel Liga Inggris, Selasa (8/3/2022) dini hari WIB, di London, kian menjerumuskan Everton ke ambang zona degradasi. Frank Lampard, manajer yang baru bergabung akhir Januari lalu, seakan sulit untuk membawa “The Toffees” keluar dari tren hasil buruk demi menghindari petaka terdegradasi dari kompetisi kasta tertinggi Inggris, Liga Primer, sejak 1951 silam.
Everton menjadi tim dengan hasil terburuk pada laga tandang di Liga Primer edisi 2021-2022. Mereka hanya mengoleksi enam poin dari 13 laga tandang. Jumlah poin itu didasari hasil sekali menang, tiga seri, dan sembilan kali kalah.
Satu-satunya hasil positif yang diraih “The Toffees” pada laga di luar markasnya tercipta ketika menumbangkan tuan rumah Brighton & Hove Albion, 28 Agustus lalu. Setelah kemenangan itu, Everton gagal menang di 11 laga tandang beruntun dengan hasil dua imbang dan sembilan kalah.
Sebanyak 61 persen dari total 48 gol yang bersarang ke gawang Everton yang dikawal Jordan Pickford tercipta pada duel di kandang lawan. Persentase itu setara dengan 28 gol.
Baca juga : Kemalasan Setan Merah yang Tuman
Adapun Lampard telah memimpin skuad Everton di tiga laga tandang pada ajang Liga Inggris. Seluruh laga itu berakhir dengan kekalahan. Ketiga lawan Everton adalah Newcastle United, Southampton, dan Spurs.
Lebih buruk lagi, pada dua duel di markas Southampton dan Spurs, pemain Everton gagal mencatatkan satu pun tembakan ke gawang. Padahal, dalam dua laga itu, Everton telah diperkuat dua penyerang terbaiknya, yakni Dominic Calvert-Lewin dan Richarlison.
“Perasaan di dalam klub ketika saya datang adalah kami akan terdegradasi. Perasaan itu bergema di seluruh kota. Jadi, tergantung kepada saya untuk mengubah itu dan saya pikir perlahan sudah mulai ada asa untuk perubahan itu,” kata Lampard seusai laga di Stadion Tottenham Hotspur kepada BBC.
Sejak menjalani debutnya di Everton pada laga putaran keempat Piala FA menghadapi Brentford, 5 Februari lalu, Lampard telah memimpin tujuh pertandingan. Kehadiran Lampard serta sejumlah pemain baru yang direkrut pada bursa transfer musim dingin, seperti Donny van De Beek dan Dele Alli, belum bisa memperbaiki performa The Toffees.
Minim kemenangan
Dalam tujuh laga itu, Everton hanya mencatatkan tiga kemenangan, dua di antaranya tercipta pada laga kandang di Piala FA. Empat laga lainnya berbuah kekalahan yang seluruhnya tercipta di liga. Alhasil, Lampard baru mempersembahkan tiga poin di liga berkat kemenangan atas Leeds United di Stadion Goodison Park, 12 Februari lalu.
Meski begitu, Lampard meminta seluruh pemain dan pendukung Everton tidak kehilangan harapan untuk melihat The Toffees bertahan di Liga Primer musim depan. Menurut legenda Chelsea itu, timnya masih memiliki kesempatan untuk keluar dari situasi sulit.
“Kami harus berpikir dengan melihat gambaran yang lebih besar. Masih ada 13 pertandingan, sehingga penting bagi seluruh elemen di klub menjaga sikap positif,” ucapnya.
Terendah
Koleksi poin yang diraih Richarlison dan kawan-kawan hingga pekan ke-25 adalah catatan terendah dalam sejarah Everton sejak mereka kembali ke kasta tertinggi Liga Inggris pada musim 1954-1955. Everton baru mengumpulkan 22 poin. Dengan koleksi poin itu, Everton berada di peringkat ke-17.
Ketika mengalami degradasi di akhir musim 1950-1951, Everton hanya mengoleksi 32 poin dari 42 laga. Oleh karena itu, permintaan Lampard kepada para fans untuk tetap optimis ditolak mentah-mentah.
Mereka (Everton) tidak berada di kualitas sesungguhnya sebab mereka menampilkan performa level Championship (liga divisi kedua di Inggris). (Jamie Carragher)
Sejumlah pendukung Everton melontarkan kekecewaannya di media sosial seusai melihat tim kesayangannya tidak berdaya di hadapan Spurs. Salah satu pendukung The Toffees, Aidan Barlow, mengatakan, dirinya amat antusias ketika Lampard datang serupa dengan di awal masa Everton diasuh David Moyes. Namun, setelah menjalani tujuh laga, optimismenya terhadap Lampard memudar.
“Pada saat ini, tidak ada rasa percaya diri bahwa era Lampard akan berakhir indah di musim ini. Hanya dua kemenangan dari 19 laga terakhir. Pendukung tidak memiliki perasaan lain terhadap klub, kecuali rasa takut (degradasi),” cuit Barlow di akun Twitternya.
Kekhawatiran Barlow cukup beralasan. Meskipun masih memiliki tabungan satu laga dibandingkan Burnley, yang berada di peringkat ke-18 atau batas zona degradasi, Everton akan menjalai laga sulit di pekan-pekan mendatang.
Dalam sepekan mendatang, Everton akan kedatangan dua tamu yang tampil baik di putaran kedua musim ini, yakni Wolverhamtpon Wanderers dan Newcastle. Kemudian, mereka akan menghadapi duel sesama tim papan bawah ketika melawan Watford dan Brentford.
Selain empat lawan itu, Everton akan bertemu dengan West Ham United, Liverpool, Leicester City, dan Arsenal, di laga tandang. Lalu, mereka menjamu Manchester United, Crystal Palace, dan Chelsea di Goodison Park.
Baca juga : Anomali Pesta City di Derbi Manchester
Mantan pemain Liverpool, Jamie Carragher, menilai, Everton pantas terdegradasi dengan rentetan hasil buruk di laga tandang. Menurut dia, Everton telah kehilangan identitas sebagai tim yang selama ini bertarung untuk memerebutkan zona Eropa di Liga Inggris.
“Ketika Anda melihat tim yang sangat buruk di liga pada laga tandang, satu hal yang terlintas di pikiran tentu tim itu lemah dan buruk. Mereka (Everton) tidak berada di kualitas sesungguhnya sebab mereka menampilkan performa level Championship (liga divisi kedua di Inggris),” kata Carragher di acara Monday Night Football di Sky Sports.
Termahal kedelapan
Padahal, dengan skuad yang dimiliki saat ini, Everton tidak seharusnya berada di papan bawah. Merujuk data Transfermarkt, The Toffees memiliki skuad dengan nilai pasar termahal kedelapan di Liga Primer musim ini.
Nilai pasar skuad Everton berada di angka kisaran 453,75 juta euro atau sekitar Rp 7,8 triliun. Pemain dengan nilai pasar tertinggi yang dimiliki Everton adalah Calvert-Lewin, sang penyerang utama. Namun, performa pemain berusia 24 tahun itu jauh dari kata ideal. Ia dirundung cedera di paruh pertama musim ini, kemudian tampil inkonsisten di awal tahun 2022.
Everton menjadi tim keempat dalam ranking pertahanan terburuk di liga musim ini. Mereka telah kemasukan 46 gol atau rata-rata kebobolan 1,84 gol per laga.
Calvert-Lewin baru mencetak tiga gol dari sembilan penampilan di liga. Ia tentu akan sulit untuk menyamai prestasi musim lalu yang mampu menghasilkan 16 gol untuk The Toffees di Liga Primer.
Selain lini depan, penampilan lini belakang Everton juga jauh lebih menyedihkan. Lima gol yang dicetak Spurs menjadi fakta betapa buruknya kuartet bek Everton yang diisi Seamus Coleman, Mason Holgate, Michael Keane, dan Jonjoe Kenny.
Keane mencetak gol bunuh diri yang membuka keran gol Spurs ke gawang Pickford. Kemudian, empat gol lainnya merupakan buah dari lemahnya kemampuan pemain belakang Everton membaca permainan dan mengantisipai kolaborasi umpan-umpan yang ditampilkan pemain Spurs.
Tak heran, Everton menjadi tim keempat dalam ranking pertahanan terburuk di liga musim ini. Mereka telah kemasukan 46 gol atau rata-rata kebobolan 1,84 gol per laga. Hanya Leeds United, Norwich City, dan Watford, yang memiliki catatan pertahanan lebih buruk dari The Toffees.
Dengan berbagai performa dan catatan statistik itu amat wajar jika Barlow dan pendukung Everton lainnya mulai khawatir akan melihat timnya keluar dari persaingan elite di Premier League. Lalu, tidak lagi menyaksikan derbi Merseyside kontra Liverpool pada musim depan.
“Degradasi tidak menghormati reputasi atau kekayaan sejarah sebuah klub. Banyak klub dengan kekayaan rekor di masa lalu telah merasakan pahitnya realitas turun kasta. Jika Everton melanjutkan gaya (permainan) yang kacau seperti di hadapan Spurs, mereka akan menjadi tim yang akan merasakan pengalaman terdegradasi itu,” tulis Phil McNulty, Kepala Rubrik Sepak Bola BBC. (REUTERS)