Manchester United lagi-lagi menunjukkan dua wajah dalam derbi Manchester. Sempat tampil bak predator yang sedang lapar pada babak pertama, mereka berubah jadi mangsa yang pincang seusai turun minum. Hal itu telah tuman.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
MANCHESTER, SENIN — Sangatlah sulit mengubah Manchester United dari salah satu tim paling malas menjadi bermain agresif. Tangan dingin Ralf Rangnick, manajer interim yang merupakan maestro permainan gegenpressing, saja kewalahan mengubah mentalitas itu. Kemalasan skuad MU, yang sudah tuman, kembali dipertontonkan dalam derbi Manchester.
Skuad ”Setan Merah” pulang dari derbi dengan rasa malu setelah ditaklukkan tuan rumah Manchester City, 1-4, pada laga di Stadion Etihad yang berakhir Senin (7/3/2022) dini hari WIB. MU seperti sudah menyerah lebih dulu sebelum peluit panjang laga itu berbunyi.
Mereka hanya terpaku menonton kombinasi umpan-umpan pendek lawan pada babak kedua, terutama setelah tuan rumah unggul 3-1, menyusul gol Riyad Mahrez pada menit ke-68. Tidak terlihat daya juang MU layaknya tim yang sedang menjalani laga derbi melawan rival sekotanya.
Selama 15 menit terakhir, para pemain MU lebih banyak joging, adapun City begitu nyaman mendominasi permainan. Penguasaan bola tuan rumah dalam rentang waktu tersebut mencapai 92 persen.
”United menyerah dalam laga derbi. Saya bisa memaafkan kesalahan yang dibuat. Tetapi, ini keterlaluan karena mereka tidak berlari saat bertahan dan tidak menekel. Itu tidak bisa dimaafkan. Ada lima hingga enam pemain yang seharusnya tidak akan bermain untuk tim ini lagi,” ungkap Roy Keane, mantan kapten MU, kepada Sky Sports.
Hasil akhir laga itu tidak hanya mencerminkan perbedaan kualitas pemain kedua rival sekota, tetapi juga keinginan tim. Seperti kata Manajer Manchester City Josep ”Pep” Guardiola, sepak bola adalah tentang emosi. Bukan hanya taktik semata.
Tentang emosi
Emosi itulah yang diperlihatkan City dengan tampil penuh gairah sejak menit pertama hingga peluit panjang berbunyi. ”Kami selalu menunjukkan gairah dan rasa lapar setiap kehilangan bola. Kami ingin menguasai permainan ini sebanyak mungkin,” ucapnya.
Padahal, pada babak pertama, MU sempat tampil agresif. Mereka pun membuat gol lewat Jadon Sancho. Namun, seusai turun minum, mereka menampilkan wajah berbeda. Setan Merah kehilangan intensitas dan agresivitas bagai mangsa pincang yang menanti disantap predator.
Banyak pemain yang kurang bagus atau memang tidak terlalu peduli dengan tim ini, apalagi mereka sadar manajer sementara tidak akan berpengaruh banyak (kepada masa depan mereka). Pemain yang akan habis kontrak, seperti Pogba, justru tetap dimainkan sejak awal. (Peter Schmeichel)
Perubahan wajah MU setelah turun minum sudah menjadi masalah klasik, setidaknya dalam sebulan terakhir. Mereka berkali-kali kehilangan poin akibat lengah di paruh kedua. Jalan ceritanya pun selalu sama. Mereka menampilkan gegenpressing pada babak pertama, lalu kehilangan tenaga.
Kelemahan itu pun diakui Rangnick. ”Di paruh kedua, itu (perbedaan kualitas antara MU dan City) terlihat. Anda harus berada dalam mode berburu seperti pada babak pertama (jika ingin menang),” ujarnya seusai laga itu.
Persoalan berulang ini memperlihatkan skuad MU belum siap bermain agresif seperti pola yang diinginkan Rangnick. Mereka sudah terbiasa malas bermain menekan pada era manajer terdahulu, Ole Gunnar Solskjaer.
Sebelum Solskjaer dipecat pada tengah musim, MU merupakan salah satu tim paling tidak agresif saat bertahan. Data Sky Sports menunjukkan, Setan Merah menempati lima peringkat terbawah dalam kategori tekel, menang duel, intersepsi, duel udara, dan merebut kembali bola.
Skuad MU pun terkejut dengan gaya baru yang dibawa Rangnick. Nyaris mustahil mengubah kebiasaan tim 180 derajat hanya dalam tiga bulan. Kebiasaan lama itu pun sering muncul kembali pada paruh kedua, entah karena masalah fisik atau mentalitas.
Peter Schmeichel, kiper legendaris MU, melihat masalah utamanya lebih ke mentalitas. Ia menilai bekas timnya tidak lagi harmonis karena banyak pemain yang sudah ingin pergi. Para pemain itu antara lain gelandang Paul Pogba yang akan habis kontrak pada musim panas mendatang dan Jesse Lingard yang mengisyaratkan ingin hengkang untuk mendapat menit bermain.
”Banyak pemain yang kurang bagus atau memang tidak terlalu peduli dengan tim ini, apalagi mereka sadar manajer sementara tidak akan berpengaruh banyak (kepada masa depan mereka). Pemain yang akan habis kontrak, seperti Pogba, justru tetap dimainkan sejak awal,” keluh Schmeichel seperti dikutip BBC Sports.
Cristiano Ronaldo, penyerang andalan MU, sempat menjadi kambing hitam kurangnya intensitas tim saat bertahan. Hal itu tidak terbukti. Ketika Ronaldo tidak tampil dalam derbi itu, karena disebut-sebut akibat cedera, rekan-rekannya masih bermain kurang agresif. Padahal, Rangnick sudah memainkan penyerang muda Anthony Elanga.
Adapun mengubah tim untuk bermain gegenpressing butuh waktu tidak sebentar. Manajer Liverpool Juergen Klopp pernah merasakan kesulitan itu. Dia butuh beberapa musim sampai skema itu sempurna dimainkan Liverpool. Itu pun dicapai setelah sang manajer membeli banyak pemain yang sesuai dengan sistemnya. (AFP/REUTERS)