Mengapa Tottenham Hotspur Membuat Manajer Terbaik Terlihat Buruk?
Tottenham Hotspur telah mendatangkan Jose Mourinho dan Antonio Conte untuk mengakhiri puasa trofi. Bukan gelar yang didapat, reputasi dua manajer itu justru menjadi buruk saat menangani Spurs.
Dalam dua tahun terakhir, Tottenham Hotspur menunjukkan misi ambisius dengan merekrut dua manajer terbaik yang pernah berkiprah di Liga Inggris. Jose Mourinho tiba pada November 2019, lalu Antonio Conte menjadi juru taktik terkini yang bergabung pada November 2021 lalu.
Namun,di bawah kendali dua manajer itu, Spurs masih jauh tertinggal dari trio tim terbaik di Premier League saat ini, yaitu Manchester City, Liverpool, dan Chelsea. Performa Spurs justru membuat reputasi Mourinho dan Conte sebagai pelatih kaya trofi memudar. Keduanya terlihat buruk atau tak ubahnya manajer kelas medioker ketika memimpin Harry Kane dan kawan-kawan.
Selama menangani Spurs dalam periode 20 November 2019 hingga 19 April 2021, Mourinho mencatatkan persentase kemenangan terendah sejak menjadi pelatih Porto pada 2002 lalu. Ia hanya mencatatkan 51,16 persen kemenangan dari 86 pertandingan bersama Spurs.
Baca juga : Cetak Biru Muslihat Godfather
Hal serupa juga dicatatkan Conte. Sejak sukses bersama Juventus di musim 2011-2012, Conte selalu mengoleksi persentase kemenangan di atas 60 persen bersama tiga klub, seperti Juve, Chelsea, dan Inter Milan. Tetapi, dalam 23 laga memegang kendali di Spurs sejak 2 November lalu, persentase kemenangan Conte bersama “Si Lili Putih” hanya 52,17 persen.
Conte, dalam konferensi pers, Jumat (4/3/2022), mengatakan, Spurs mustahil menjadi tim yang bisa bersaing meraih gelar juara dalam waktu dekat. Di musim ini, Spurs telah memastikan diri tanpa raihan trofi setelah tersingkir dari putaran kelima Piala FA dari Middlesbrough, tim Divisi Championship.
“Cerita Tottenham dalam 20 tahun terakhir terlalu banyak naik-turun. Padahal, untuk menjadi tim yang kuat, satu hal yang harus dilakukan adalah menjadi tim yang stabil,” kata Conte dilansir BBC.
Ia menambahkan, “Untuk mengubah situasi ini, yang telah berjalan beberapa tahun, tidak mudah. Dalam waktu singkat, mustahil mengubah ini. Tidak hanya saya, tetapi juga setiap manajer yang datang ke klub ini”.
Jauh menurunnya persentase kemenangan Mourinho dan Conte di Spurs tidak semata-mata kesalahan mereka. Ketika tiba di Spurs, skuad yang dimiliki Spurs tidak sebanding dengan ekspektasi yang dicanangkan klub.
Sebagai gambaran, pemain Spurs amat tidak setara dengan kualitas skuad yang dimiliki kedua pelatih itu di tim-tim terdahulu saat meraih prestasi.
Ketika membawa Inter Milan meraih treble winner pada musim 2009-2010, Mourinho dibekali salah satu skuad terbaik saat itu. Permainan pragmatis mementingkan hasil yang diterapkan Mourinho bisa berjalan sukses karena Inter memiliki sejumlah pemain bertahan berkualitas dunia. Mereka di antaranya Lucio, Walter Samuel, Maicon, Javier Zanetti, Esteban Cambiasso, serta Julio Cesar.
Dua tahun sebelum memberlakukan kebijakan nihil transfer, Levy melakukan salah satu kekeliruan terbesarnya ketika memimpin Si Lili Putih, yakni melepas Paul Mitchell pada 2016.
Sementara Conte dibekali pemain belakang dan gelandang kelas wahid ketika mengembalikan dominasi Juventus mulai musim 2011-2022. Conte memperkenalkan kepada dunia trio BBC yang terdiri dari Leonardo Bonucci, Andrea Barzagli, dan Giorgio Chiellini. Mereka bahu-membahu bersama Gianluigi Buffon yang menjaga gawang “Si Nyonya Besar”.
Di lini tengah, Conte memiliki trisula gelandang yang tidak tertandingi di Italia dan salah satu terbaik di Eropa saat itu. Mereka adalah Arturo Vidal, Andrea Pirlo, dan Claudio Marchisio.
Adapun di Spurs, Mourinho dan Conte relatif memiliki susunan pemain yang sama. Untuk pemain belakang, misalnya, Eric Dier, Davinson Sanchez, Japhet Tanganga, dan Joe Rodon, bukan susunan pemain yang sebanding dengan skuad Mourinho bersama Inter atau bisa membentuk trio kokoh seperti BBC.
Conte memang memiliki satu tambahan bek, yaitu Cristian Romero, yang direkrut dari Atalanta. Tetapi, Romero adalah bek muda yang belum memiliki banyak pengalaman di level tertinggi, kecuali mengantarkan tim nasional Argentina menjuarai Copa America 2021.
Baca juga : Conte Hanya Manajer, Bukan Pesulap
Romero sendiri tidak bisa bersaing dengan tiga bek Juve, Chiellini, Bonucci, dan Matthijs De Ligt, sehingga gagal menembus skuad utama Juve dan akhirnya dilego ke Atalanta pada musim 2020-2021.
Praktis, Mourinho dan Conte hanya memiliki pemain berlabel kelas dunia pada diri kiper, Hugo Lloris, yang telah merasakan gelar Piala Dunia 2018 bersama timnas Perancis. Lalu, Harry Kane yang menjadi salah satu penyerang tersubur di dunia saat ini.
Parade keputusan keliru
Selain kualitas tim yang tidak sebanding dengan manajer yang memiliki citra kelas dunia, manajemen Spurs yang dipimpin Daniel Levy acapkali mengambil keputusan yang keliru. Salah satu keputusan itu ialah memecat Mourinho pada enam hari sebelum laga final Piala Liga Inggris 2020-2021 menghadapi Manchester City.
Sebelumnya, Levy juga lebih mementingkan peningkatan tim di luar lapangan hijau melalui proyek renovasi Stadion White Hart Lane menjadi Stadion Tottenham Hotspur yang mulai digunakan pada April 2019 lalu. Imbasnya, Levy tidak memberikan uang sepeserpun kepada Mauricio Pochettino untuk membeli pemain baru dalam dua jendela transfer musim 2018-2019.
Kehadiran Paratici terlihat pula sebagai keputusan yang tidak tepat, setidaknya melihat hasil kerjanya pada musim ini.
Dua tahun sebelum memberlakukan kebijakan nihil transfer, Levy melakukan salah satu kekeliruan terbesarnya ketika memimpin Si Lili Putih, yakni melepas Paul Mitchell pada 2016. Mitchell adalah Kepala Pemandu Bakat Spurs sejak 2014.
Ia adalah salah satu kolega kepercayaan Pochettino sejak menangani Southampton pada 2012. Insting cemerlang Mitchell dalam jendela transfer menghadirkan sejumlah pemain yang menjadi pilar utama Spurs di era Pochettino. Mereka adalah Son Heung-min, Dele Alli, Ben Davies, Kieran Trippier, dan Toby Alderweireld.
Tanpa Mitchell, yang hijrah pada 2016 untuk menjadi Direktur Olahraga RB Leipzig, Spurs hanya menjadi tim yang sia-sia membuang dana besar untuk membeli seorang pemain. Sebut saja pembelian Tanguy Ndombele seharga 60 juta poundsterling (Rp 1,06 triliun) pada 2017 yang berakhir gagal.
Ndombele merupakan pembelian termahal Spurs di abad ke-21. Tetapi, ia gagal tampil menjadi andalan Spurs di bawah asuhan Pochettino dan Mourinho, lalu dilepas pada era Conte.
Levy memang telah mendatangkan Fabio Paratici sebagai Direktur Olahraga sejak pertengahan 2021 lalu. Namun, kehadiran Paratici terlihat pula sebagai keputusan yang tidak tepat, setidaknya melihat hasil kerjanya pada musim ini.
Baca juga : Siasat Conte Angkat Derajat Spurs
Paratici memang terkenal berkat perannya bersama Juventus selama 11 tahun sejak 2010. Tetapi, ia bukanlah sosok utama di balik transfer Juve, kecuali dalam pembelian Cristiano Ronaldo dari Real Madrid pada 2018.
Orang yang paling berperan penting pada kebijakan transfer yang membantu Juve menjadi raja di Italia selama 9 musim ialah Giuseppe Marotta. Vidal, Pirlo, Paul Pogba, Patrice Evra, Dani Alves, dan Carlos Tevez, adalah buah kepiawaian negosiasi serta kemampuan Marotta untuk mendatangkan pemain-pemain berkualitas dengan dana minim.
Hasilnya pun terlihat di Spurs pada bursa transfer Januari lalu. Paratici gagal mendatangkan Adama Traore, pemain incaran utama Conte, yang lebih memilih bergabung dengan Barcelona.
Sebagai gantinya, Paratici lantas mendatangkan dua pemain yang sudah tersisih dari skuad Juve di musim ini, Rodrigo Bentancur dan Dejan Kulusevski. Selain Bentancur dan Kulusevski, Paratici juga mendatangkan Romero yang pernah direkrutnya untuk Juve dari Genoa pada 2019.
Meskipun pernah diperkenalkan sebagai rekrutan baru Juve, Romero belum pernah sekalipun bermain dengan seragam Si Nyonya Besar.
Mental lemah
Kondisi mayoritas pemain yang minim merasakan gelar juara berimbas pula pada ketangguhan mental skuad Spurs. Mourinho dan Conte adalah dua pelatih kenyang pengalaman juara yang dikenal tidak segan melakukan kritik langsung pemainnya apabila tampil buruk.
“Potensi pemain kami sangat tinggi, tetapi kami tidak bisa mencapai potensi itu. Tim ini telah memiliki masalah itu dalam waktu lama, sehingga saya tidak bisa menyelesaikannya sendiri sebagai seorang manajer,” kata Mourinho, yang kini menangani AS Roma, Februari 2021.
Conte pun pernah pula mengungkapkan buruknya mentalitas skuad Spurs ketika timnya tumbang dari Mura di Liga Konferensi Eropa, akhir November lalu.
“Kami butuh pemain dengan mentalitas yang tepat, mereka yang pantas bermain untuk Tottenham dan menginspirasi tim tampil lebih kompetitif. Faktor (mental) itu yang membuat kami memiliki jarak dengan tim top Inggris lainnya,” ucap Conte.
Buruknya mental pemain Spurs amat tergambarkan dari hasil yang mereka koleksi di bulan Februari lalu. Dari tujuh laga, Spurs hanya mengoleksi dua kemenangan dan lima kekalahan.
Kemenangan itu pun sempat didapatkan atas Manchester City, sang penguasa klasemen, tetapi mereka tumbang dari Burnley yang tengah berjuang keluar dari zona degradasi. Oleh karena itu, jika Conte dipertahankan Spurs untuk mengarungi musim depan, manajer asal Italia itu pasti menuntut kehadiran pemain yang bisa melecut semangat tim.
Hal itu dilakukan Conte ketika merekrut Vidal dari Barcelona pada musim 2020-2021. Vidal menjadi pemain penting bagi Inter untuk merebut scudetto di Liga Serie A Italia musim lalu.
Posisi yang perlu dibenahi Spurs untuk memperkuat tim sekaligus meningkatkan kekuatan mental adalah bek tengah dan gelandang. Atas dasar itu, menurut laporan The Guardian, Conte telah menargetkan kepada Paratici untuk mendatangkan bek Inter, Alessandro Bastoni, dan gelandang AC Milan, Frenkie Kessie, di musim panas nanti.
Bastoni telah mengenal keinginan Conte setelah mereka bekerja dua musim bersama di Stadion Giuseppe Meazza. Adapun Kessie adalah salah satu gelandang tangguh yang bisa menjalani berbagai peran di jantung permainan tim.
Conte sejatinya adalah “pertaruhan” terakhir Spurs untuk mengakhiri paceklik gelar selama 14 tahun pada musim depan. Oleh karena itu, Levy dan Paratici tidak punya jalan selain memberikan pelayanan terbaik atas tuntutan Conte untuk membenahi skuad.
Kalau Conte akhirnya cabut dari Spurs tanpa gelar juara, sulit rasanya bagi Spurs untuk kembali mendatangkan manajer terbaik. Para juru taktik terbaik tentu tidak ingin mempertaruhkan kredibilitas mereka untuk klub tanpa budaya juara seperti Si Lili Putih. (AFP/AP)