Paruh pertama Liga 1 2021-2022 rampung hanya dalam 110 hari. Meski kompetisi tidak menghadirkan kluster Covid-19, kualitias liga tercoreng akibat buruknya kualitas wasit dan lemahnya penerapan regulasi.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·5 menit baca
Tahun 2021 menjadi kebangkitan kompetisi sepak bola profesional di Tanah Air. Setelah 17 bulan vakum di masa pandemi Covid-19, BRI Liga 1 edisi 2021-2022 dimulai pada akhir Agustus di Stadion Gelora Bung Karno dengan menyajikan laga Bali United kontra Persik Kediri.
Secara total, hanya dalam 110 hari, perjalanan Liga 1 musim ini telah merampungkan satu putaran hingga pekan ke-17. Bhayangkara FC menjadi tim yang menunjukkan performa terbaik. Sejak pekan kelima, ”The Guardians”, julukan Bhayangkara, telah menguasai posisi puncak hingga putaran pertama berakhir.
Pada putaran pertama Liga 1 2021-2022, hanya empat tim yang pernah merasakan puncak klasemen. Selain Bhayangkara, tiga tim lain adalah Borneo FC, Bali United, dan PSIS Semarang yang sempat silih berganti menduduki peringkat pertama pada empat pekan awal.
Dari sisi persaingan, Liga 1 musim ini tidak kehilangan daya tarik. Selain itu, upaya PT Liga Indonesia Baru, operator Liga 1, untuk menyelenggarakan kompetisi dengan protokol kesehatan patut diacungi jempol. Tidak ada kasus Covid-19 dari 151 laga yang telah dilaksanakan.
Hanya saja, persaingan sengit di papan atas yang hadir di Liga 1 2021-2022 agak tercoreng dengan kehadiran dua ”noda” di dalam kompetisi. Pertama, performa pengadil lapangan yang beberapa kali menghadirkan keputusan yang tidak sesuai dengan aturan permainan. Kedua, regulasi kompetisi yang tidak patuh diterapkan.
Berdasarkan catatan Kompas, terdapat 12 laga yang dipengaruhi keputusan kontroversial wasit. Keputusan keliru yang berulang dilakukan wasit Liga 1 ialah mengenai implementasi aturan offside. Terdapat empat pertandingan yang dihiasi lemahnya pemahaman wasit dan hakim garis tentang aturan offside.
Pada laga pekan pertama antara Persipura dan Persita Tangerang, wasit Fariq Hitaba menganulir masing-masing satu gol dari kedua tim karena offside. Dari siaran ulang, kedua gol itu seharusnya sah karena pemain yang mencetak gol berada di posisi onside. Laga itu dimenangi Persita, 2-1.
Kemudian, pada pekan kedelapan, wasit Musthofa Umarella mengesahkan gol Persela Lamongan ke gawang Persebaya Surabaya pada laga yang berakhir 1-1. Padahal, Ivan Carlos, penyerang Persela, berada di posisi offside sebelum menaklukkan kiper Persebaya, Andhika Ramadhani.
Hal itu menunjukkan lemahnya pemahaman para wasit terbaik Indonesia untuk menjalankan aturan permainan atau The Laws of the Game yang dikeluarkan Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB). Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas wasit, sejatinya telah membekali para wasit dengan pendidikan aturan permainan terbaru itu sebelum Liga 1 2021-2022 dimulai.
Selain itu, PSSI telah menaikkan gaji pengadil pertandingan di Liga 1 musim ini. Wasit utama menerima honor Rp 10 juta per laga, sedangkan hakim garis dibayar Rp 7 juta per gim. Jumlah itu meningkat pesat daripada Rp 7,5 juta untuk wasit utama dan Rp 5 juta untuk hakim garis pada Liga 1 2020, yang hanya berjalan tiga pekan.
Kenaikan gaji itu diberikan agar wasit tidak tergiur iming-iming para mafia bola yang ingin mengatur hasil akhir pertandingan. Alih-alih wasit terhindar dari skandal pengaturan skor, mereka tetap diprotes peserta kompetisi karena keputusan yang tidak sesuai dengan aturan permainan yang berlaku secara internasional.
Lisensi pelatih
Selain persoalan wasit, satu lagi noda yang harus dibenahi para pemangku kepentingan sepak bola nasional adalah kepatuhan menjalankan regulasi. PSSI dan PT LIB seakan tidak patuh dengan aturan yang mereka ciptakan sendiri di Liga 1 musim ini.
Salah satu regulasi yang gagal dipatuhi PSSI dan PT LIB adalah lisensi pelatih. Liga 1 2021-2022 mewajibkan setiap pelatih kepala tim telah lulus dan memiliki lisensi A Pro dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Nyatanya, tiga juru taktik tetap diizinkan mendampingi timnya di awal kompetisi meskipun baru mengantongi lisensi kepelatihan setara AFC A atau setingkat di bawah A Pro. Mereka adalah Stefano Cugurra alias Teco (Bali United), Hendro Susilo (Persiraja Banda Aceh), dan Imran Nahumarury (PSIS).
Keputusan keliru yang berulang dilakukan wasit Liga 1 ialah mengenai implementasi aturan offside.
Akibat regulasi itu, Cugura sempat didaftarkan sebagai manajer pada laga perdana Bali United di musim ini. Tetapi, Teco telah menerima dokumen Pengakuan Pengalaman dan Kompetensi Terkini (RECC) dari AFC. Dokumen itu membuat Teco sah melatih di Liga 1.
Adapun Hendro mendapat dispensasi dari PSSI karena rencana mengikuti kursi kepelatihan AFC pada 2020 batal akibat pandemi Covid-19. Sementara itu, PSIS sempat mengganti Imran dengan Ian Andrew Gillan sebagai pelatih pada pekan ketujuh.
Kemudian, Imran kembali ditunjuk sebagai juru taktik utama ”Mahesa Jenar” mulai pekan ke-12. Namun, Imran mundur di masa jeda tengah musim.
Tidak hanya soal lisensi pelatih kepala, pelaksanaan Liga 1 2021-2022 juga tercoreng dengan kedisiplinan mematuhi aturan-aturan kecil yang seharusnya tidak terjadi apabila semua pihak menjalankan kompetisi secara profesional. Hal itu misalnya warna kostum penjaga gawang yang sama dengan wasit. Kasus itu terjadi di tiga laga.
Lalu, ada pula penggunaan nomor pemain yang tidak sesuai dengan daftar susunan pemain. Kejadian itu terjadi ketika kiper PSIS, Jandia Eka Putra, mengenakan jersei kiper cadangan, Joko Ribowo, saat menghadapi PSM, 22 November. Wasit pun tidak menindak tegas insiden itu yang melanggar Pasal 44 Regulasi Liga 1 2021-2022.
Dengan berbagai ”noda” itu, amat wajar AFC menempatkan Liga 1 di posisi keenam dari 11 liga di Asia Tenggara pada ranking kompetisi 2021. Oleh karena itu, pembenahan harus terus dilakukan PSSI dan PT LIB agar kompetisi sepak bola terakbar Indonesia tidak semakin tertinggal dari para pesaing di kawasan.