Indonesia hanya memiliki tujuh bulan menikmati gelar juara Piala Thomas 2020. Dengan jeda pendek dan materi pemain yang diperkirakan tidak akan berbeda, peluang juara Indonesia sama besar dengan peserta lain.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membuat Indonesia hanya memiliki tujuh bulan menikmati gelar juara Piala Thomas 2020. Dengan jeda pendek dan materi pemain yang diperkirakan tidak akan berbeda dengan tim juara 2020, skuad Merah Putih memiliki peluang juara yang sama besar dengan peserta lain.
Untuk pertama kali sejak 2002, Indonesia membawa pulang piala dari kejuaraan beregu putra Piala Thomas. Pandemi Covid-19 membuat Piala Thomas 2020 di Aarhus, Denmark, mundur dari Mei 2020 menjadi Oktober 2021. Setelah mengalahkan China, 3-0, pada final 17 Oktober, Anthony Sinisuka Ginting dan kawan-kawan hanya memiliki jeda tujuh bulan untuk Piala Thomas 2022 di Bangkok, Thailand, 8-15 Mei.
”Saya rasa, kekuatan Indonesia tidak akan berbeda jauh dengan Tim Thomas 2020. Peluang untuk mempertahankan gelar tetap besar. Tetapi, saat sudah memasuki lapangan, kesempatan setiap tim untuk juara adalah sama,” kata pemain senior ganda putra, Mohammad Ahsan, Rabu (22/12/2021).
Ganda putra nomor satu dunia, Kevin Sanjaya Sukamuljo, berpendapat serupa. Dia memberi contoh perjalanan Indonesia ketika menjuarai Piala Thomas 2020.
Dalam dua dari tiga pertandingan pada penyisihan grup, yaitu melawan Taiwan dan Thailand, kemenangan didapat dengan skor tipis, 3-2. Tunggal putra Shesar Hiren Rhustavito, yang berperan sebagai tunggal ketiga Indonesia, pun selalu bermain saat Indonesia dan tim lawan berbagi kemenangan, 2-2.
Meski menang dengan skor lebih baik saat mengalahkan Malaysia (3-0), Denmark (3-1), dan China (3-0) pada perempat final, semifinal, dan final, setiap angka diraih dengan perjuangan berat. ”Semua pertandingan tidak ada yang mudah. Kemenangan ditentukan siapa yang lebih siap dan bisa bermain dengan lebih baik saat bermain,” ujar Kevin.
Kevin, bersama partnernya, Marcus Fernaldi Gideon, berpeluang tetap menjadi andalan Indonesia pada nomor ganda. Sementara partisipasi Ahsan, yang berstatus pemain profesional bersama Hendra Setiawan, akan ditentukan oleh PP PBSI. Selain itu, masih ada pemain-pemain pelapis, seperti Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin.
Bersama Shesar, mereka menjadi bagian dari Tim Thomas Indonesia dari PB Djarum yang mendapat penghargaan dari klub tersebut. Bakti Olahraga Djarum Foundation memberi bonus, masing-masing, Rp 250 juta.
Pemberian penghargaan ini, seperti dikatakan Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation Yoppy Rosimin, menjadi tradisi yang dilakukan setiap akhir atau awal tahun untuk atlet-atlet Djarum berprestasi sepanjang tahun. Penghargaan diberikan kepada atlet yang meraih gelar juara di level nasional dan internasional dengan total Rp 1,5 miliar.
Pada 2021, gelar juara Piala Thomas menjadi salah satu yang tertinggi bagi bulu tangkis Indonesia selain medali emas ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 dari Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Seperti Piala Thomas, penyelenggaraan Olimpiade, juga, dimundurkan setahun.
Buku Piala Thomas
Gelar dari Piala Thomas 2020 menjadi yang ke-14 bagi Indonesia sejak kejuaraan itu digelar tahun 1949. Gelar pertama didapat pada 1958 dalam keikutsertaan pertama Indonesia dalam ajang yang digelar tiga tahunan sejak awal, lalu berubah menjadi dua tahunan sejak 1984 tersebut.
”Kami berutang budi kepada Eddy Yusuf karena dia yang memaksa PBSI untuk ikut serta dalam Piala Thomas, sementara waktu itu PBSI menyatakan belum siap,” kata Tan Joe Hok, salah satu legenda bulu tangkis yang mengantarkan Indonesia menjuarai Piala Thomas 1958.
Tan, yang berusia 85 tahun dan menjadi satu-satunya tim juara 1958 yang masih hidup, bercerita, perjalanan menjadi juara dimulai dengan persaingan dalam zona Australasia, lalu playoff interzone yang mempertemukan tim peserta dari zona berbeda. Setelah mengalahkan Denmark dan Thailand pada babak ini, Indonesia bertemu Malaysia dalam final di Singapura dan menang, 6-3.
Selain Tan dan Eddy, skuad Indonesia saat mengalahkan Malaysia adalah Ferry Sonneville, Tan King Gwan, dan Njoo Kiem Bie. ”Indonesia tidak diperhitungkan juara. Setelah menang, kami disambut lautan manusia. Itu adalah momen yang tidak ternilai harganya, sangat membanggakan,” ujar Tan.
Buku ini tak ternilai harganya. Saya berharap anak-anak muda bisa membaca buku ini untuk mengetahui salah satu sejarah penting dunia bulu tangkis Indonesia.
Cerita Tan itu menjadi salah satu kisah tim Thomas Indonesia dalam buku Thomas Cup tentang Sejarah Kehebatan Indonesia. Buku tersebut ditulis tim Bakti Olahraga Djarum Foundation, bekerja sama dengan redaksi Kompas yang menyediakan foto-foto dokumentasi.
”Buku ini tak ternilai harganya, baik untuk saya maupun teman-teman atlet bulu tangkis yang bertanding pada ajang Thomas Cup. Saya berharap anak-anak muda bisa membaca buku ini untuk mengetahui salah satu sejarah penting dunia bulu tangkis Indonesia,” kata Tan.