Indonesia berhasil merebut kembali Piala Thomas setelah menunggu selama 19 tahun. Bagi para mantan pebulu tangkis, menjuarai Piala Thomas adalah kebanggaan tersendiri dan simbol kekuatan dalam keberagaman pemain.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
KOMPAS/JB SURATNO
Presiden Abdurrahman Wahid, Senin (22/5/2000), menerima pebulu tangkis Indonesia yang sukses mempertahankan Piala Thomas. Dari kiri, Sigit Budiarto, Marlev Mainaky, Ricky Subagja, Rexy Mainaky, Hariyanto Arbi, Hendrawan, Taufik Hidayat, Tony Gunawan, Antonius Budi Ariantho, dan Candra Wijaya.
Gelar dari kejuaraan beregu bermakna dalam karena diraih berkat kekompakan semua anggota tim. Bagi bulu tangkis Indonesia, gelar ini juga menjadi lambang keberagaman latar belakang anggotanya.
Indonesia menjadi negara dengan gelar juara terbanyak pada kejuaraan beregu putra Piala Thomas, yaitu sebanyak 14 gelar. Terakhir, skuad ”Merah Putih” mendapatkannya dari Piala Thomas 2020 yang diselenggarakan di Aarhus, Denmark. Dalam final, Minggu (17/10/2021), Anthony Sinisuka Ginting dan kawan-kawan mengalahkan China, 3-0.
Ini menjadi gelar pertama Indonesia dalam berbagai ajang beregu tingkat dunia sejak menjuarai Piala Thomas 2002. Mantan-mantan pemain memiliki beragam kesan ketika mereka menjadi bagian dari tim juara.
”Juara dalam ajang beregu didapat berkat kebersamaan. Tim bisa juara kalau mereka kompak,” ujar Marlev Mainaky.
Marlev tiga kali membela ”Merah Putih” dalam Piala Thomas dan tiga kali menjadi juara, yaitu pada 1998, 2000, dan 2002. Dia pernah merasakan ketegangan tampil dalam laga pembuka 2002, juga dalam partai terakhir pada semifinal melawan Denmark di Piala Thomas 2000.
KOMPAS/EDDY HASBY
Atlet bulu tangkis tunggal putra nasional saat pertandingan uji coba di Cipayung, Jumat, 25 Februari 1994, menjelang putaran final Piala Thomas dan Piala Uber.
”Skor 2-2 saat saya main, sudah pasti saya tegang. Apalagi, saya punya rekor bagus dari Kenneth Jonassen (lawan Marlev saat itu) dan itu menjadi beban. Pelatih saya juga tegang. Namun, Puji Tuhan, saya bisa menang,” tutur Marlev.
Namun, dari semua pengalaman, Piala Thomas Hong Kong 1998 menjadi yang paling berkesan meski Marlev hanya berperan sebagai tunggal ketiga. Dia melihat rekan-rekannya, seperti Hariyanto Arbi dan Hendrawan, menghadapi tekanan.
Juara dalam ajang beregu didapat berkat kebersamaan. Tim bisa juara kalau mereka kompak.
Selain memiliki tanggung jawab membawa nama Indonesia dalam ajang penting, semua anggota tim harus menghadapi ketegangan akibat kerusuhan politik di negara sendiri. ”Saya salut melihat senior-senior saya mengatasi tekanan itu. Mereka bisa menang,” kata Marlev.
Salah satu pemain yang tampil di Piala Thomas 1998, termasuk di final, adalah Candra Wijaya. Berpasangan dengan Sigit Budiarto, dia menjadi bagian tim yang menyumbangkan kemenangan ketika Indonesia mengalahkan Malaysia, 3-2, pada final.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Pebulu tangkis tunggal putra nasional, Hariyanto Arbi, melawan Marlev Mainaky dalam simulasi ketiga tim Piala Thomas yang berlangsung di Istora Senayan, Jakarta, Jumat , 24 April 1998. Pertarungan berlangsung cukup ketat dengan hasil akhir rubber set untuk kemenangan Marlev Mainaky, 15-18, 15-8, 15-6.
”Atmosfer dalam kejuaraan beregu terasa berbeda. Apalagi, tim bulu tangkis Indonesia, dengan latar belakang berbeda, menjadi lambang keberagaman. Itu sangat terasa ketika kami tampil dalam situasi politik sulit di Indonesia, pada 1998,” ujar Candra.
Seperti Marlev, Candra juga menjadi bagian dari tim ketika Indonesia juara pada 1998-2002. Gelar itu menjadi bagian dari prestasi Candra di ajang individu, seperti ketika meraih medali emas Olimpiade Sydney 2000 bersama Tony Gunawan.
Bersama Tony pula, Candra menjuarai All England 1999, lalu menjadi juara lagi bersama Sigit Budiarto pada 2003. Dalam kejuaraan dunia, Candra juara bersama Sigit pada 1997.
Kebanggaan setiap kali dipilih menjadi anggota tim dalam ajang beregu membuat Candra selalu punya prinsip harus bisa memanfaatkan kesempatan setiap kali dipercaya bertanding. ”Bagi saya, di luar ajang Olimpiade, Piala Thomas adalah kejuaraan dengan prestise tinggi. Kejuaraan individu tentu menjadi target dari setiap atlet, tetapi bisa tampil dan juara dalam kejuaraan beregu memberi kesan berbeda,” katanya.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Pemain ganda Indonesia, Candra Wijaya/Sigit Budiarto, pada pertandingan kejuaraan bulu tangkis Grand Prix Lipton 1997, Kamis (11/12/1997), di Istora Senayan, Jakarta. Candra/Sigit kalah dari ganda Malaysia, Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock, dengan 10-15, 15-3, 11-15.
”The Magnificent Seven”
Legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata, juga punya kesan mendalam tentang Piala Thomas. Tak bisa merasakan bersaing dalam Olimpiade pada eranya, Christian menyetarakan Piala Thomas seperti All England dalam kejuaraan individu.
”Piala Thomas jadi kejuaraan beregu pertama yang paling bergengsi. Piala Thomas menjadi kehormatan setiap generasi yang pernah menjuarainya. Ini juga menjadi lambang pembinaan negara, terutama dalam bulu tangkis putra. Jadi, nilainya dalam persaingan bulu tangkis sangat penting,” ujar Christian.
Sosok yang selalu berpenampilan kalem itu menjadi bagian dari tim Thomas Indonesia pada 1973, 1976, 1979, 1982, ketika kejuaraan yang pertama kali digelar pada 1949 ini berlangsung tiga tahun sekali. Saat format berubah menjadi dua tahun sekali pada 1984, Christian tampil pada tahun tersebut dan 1986. Dari enam penampilan itu, Christian membantu Indonesia juara pada 1973, 1976, 1979, dan 1984.
Christian merasakan perbedaan format kompetisi dalam enam penampilannya itu. Sebelum 1984, putaran final digelar dalam sembilan partai dalam dua hari. Setelah itu, diperkenalkan format lima partai dengan susunan pemain berdasarkan peringkat dunia seperti yang digunakan saat ini.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pengamat bulu tangkis dan mantan pemain tim nasional, Christian Hadinata.
”Setelah lima partai, persaingan terasa lebih berat, apalagi susunan harus berdasarkan ranking. Bermain dalam sembilan partai, Indonesia lebih dominan, apalagi saat itu memiliki ’Magnificent Seven’. Jadi, persaingan rasanya seperti datar-datar saja meskipun berlangsung dua hari. Kami tidak punya lawan setara,” canda Christian.
”The Magnificent Seven” adalah julukan yang ditujukan pada tujuh pemain putra Indonesia yang mendominasi persaingan dunia pada era 1970-an. Selain Christian, ada Tjun Tjun, Johan Wahyudi, Ade Chandra, Rudy Hartono, Liem Swie King, dan Iie Sumirat. Kombinasi ketujuh pemain itu menghasilkan kemenangan 9-0 atas Malaysia dan Denmark pada final 1976 dan 1979.
Selain saat menjadi atlet, Christian juga menjadi bagian dari tim juara Piala Thomas Indonesia ketika berposisi sebagai pelatih. Sosok yang saat ini berusia 71 tahun tersebut dikenal melahirkan pemain-pemain ganda putra kelas dunia. Tak heran, ganda putra pun selalu menjadi sektor yang wajib menyumbangkan poin dari dua partai Piala Thomas.
Di balik keberhasilan nomor ini pada ajang beregu, ada prinsip yang diingat pemain dan selalu diingatkan Christian, yaitu ”Kamu harus selalu menjadi bagian dari pemenang saat timmu bertanding!”