Aubameyang dan Kutukan Pemegang Ban Kapten Arsenal
Pencabutan Aubameyang dari jabatan kapten Arsenal sama sekali tidak mengejutkan. Kegagalan para kapten Arsenal sudah menjadi tradisi tim sejak lama.
Oleh
kelvin hianusa
·4 menit baca
Ketika dijadikan kapten tim Arsenal pada 2019, striker veteran Pierre-Emerick Aubameyang dinilai sebagai figur paling tepat di posisi tersebut. Dia memiliki sikap rendah hati, kemampuan merangkul semua pemain dalam tim, hingga ambisi besar untuk berprestasi. Miris, keyakinan tersebut ternyata tidak bertahan lama.
Hanya berselang dua tahun, Arsenal mencopot Auba dari jabatan kapten tim setelah tren performa buruk dan kasus indisipliner. Sang penyerang asal Gabon itu kini dianggap sebagai sosok bintang egois yang tidak lagi mengutamakan kepentingan tim. Dia tidak pantas lagi jadi panutan untuk para pemain muda.
Saya tidak bisa mengatakan banyak hal. Saya pikir ini murni keputusan dari klub. Ini keputusan yang kami buat seiring dengan beberapa insiden yang terjadi dengan sang pemain (Auba). Inilah sikap kami.
”Saya tidak bisa mengatakan banyak hal. Saya pikir ini murni keputusan dari klub. Ini keputusan yang kami buat seiring dengan beberapa insiden yang terjadi dengan sang pemain (Auba). Inilah sikap kami,” kata Manajer Arsenal Mikel Arteta sehari jelang laga melawan West Ham United, Selasa (14/12/2021).
Auba tidak hanya dicopot sebagai kapten Arsenal. Dia juga tidak dimasukkan ke dalam skuad untuk melewan West Ham pada Kamis dini hari WIB. Ini merupakan kedua kalinya beruntun sang mantan kapten tidak ada dalam skuad setelah laga akhir pekan lalu versus Southampton.
Pencopotan ini bermula dari sikap indisipliner Auba. Top skor Arsenal pada musim 2018-2019 dan 2019-2020 ini meminta izin pergi ke Perancis untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit pada pekan lalu. Namun, dia terlambat kembali ke klub.
Insiden tersebut bukan yang pertama kali. Auba juga melakukan tindakan indisipliner serupa pada musim lalu. Akibat tidak menepati perkatannya waktu itu, sang penyerang tidak bisa membela Arsenal di derbi London Utara versus Tottenham Hotspur. Rentetan insiden memaksa klub untuk mengambil keputusan tegas.
Bagi ”Si Meriam”, pencopotan Auba merupakan sebuah ironi. Tepat dua tahun lalu ketika masih di bawah asuhan Unai Emery, Auba dianggap bisa menjadi pemimpin terbaik tim. Dia menyandang tanggung jawab besar untuk menggantikan kapten sebelumnya, Granit Xhaka. Adapun Xhaka dicopot dari jabatan kapten karena memaki pendukung Arsenal yang mencemoohnya di Stadion Emirates.
Kenyataannya amat miris. Nasib Auba ternyata sama saja dibandingkan dengan Xhaka. Tidak hanya gagal memimpin tim, dia bahkan tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Sikap buruk itu melengkapi penurunan performa sang penyerang yang sudah tidak mencetak gol dalam enam laga terakhir.
Kutukan kapten
Estafet kegagalan ini tidak terlalu mengejutkan. Gagalnya para kapten Arsenal untuk mengembalikan kejayaan tim sudah jadi tradisi selama lebih dari sedekade belakangan. Sembilan kapten Arsenal, sejak 2007, selalu memberikan pengalaman getir masing-masing.
Kutukan bermula dari mantan bek Arsenal, William Gallas, pada era kepemimpinan 2007-2009. Dia dicopot sebagai kapten tim oleh manajer legendaris, Arsene Wenger, karena mengkritik tim di depan para media.
Kutukan terus berlanjut kepada kapten-kapten setelahnya. Mulai dari Cesc Fabregas (2008-2011), Robin van Persie (2011-2012), Thomas Vermaelen (2012-2014), Arteta (2014-2016), Per Mertesacker (2016-2018), dan Laurent Koscielny (2018-2019).
Fabregas, Van Persie, dan Koscielny tidak dicopot paksa. Mereka justru yang memaksa Arsenal agar bisa pergi ke tim lain. Kepergian para kapten ini begitu menyesakkan sebab mereka merupakan pemain andalan tim ketika itu. Mereka ingin pergi tanpa memikirkan nasib klub.
Nasib berbeda dijalani Vermaelen, Arteta, dan Mertesacker. Ketiga pemain ini menderita berbagai macam cedera setelah menjabat kapten. Alhasil, mereka tidak bisa berkontribusi maksimal. Vermaelen kehilangan performa terbaik seusai cedera lutut, sementara Arteta hanya bermain 16 pertandingan liga domestik dan Mertesacker hanya tampil 7 pertandingan liga domestik pada masa itu.
Kapten baru
Setelah mencopot Auba, Arteta tidak mau terburu-buru untuk menentukan penggantinya. Dia ingin melihat perkembangan dalam tim sebelum memilih satu pemain sebagai kapten. Kapten baru mungkin akan ditentukan pada musim panas mendatang.
Untuk sementara, Arsenal akan memakai konsep pemimpin bersama. Wakil kapten sebelumnya, Lacazette dan Kieran Tierney, serta mantan kapten Xhaka, akan memimpin grup pada sisa musim ini.
”Ini adalah situasi yang sangat tidak menyenangkan dan ini bukan saatnya untuk mengambil keputusan yang terburu-buru. Kelompok pemimpin dalam tim ini punya peran sangat kuat. Kami yakin para pemimpin ini bisa membangun budaya baik di sekitar klub,” ucap Arteta.
Berkaca dari kisah buruk mantan kapten Arsenal, keputusan Arteta tampaknya sudah benar. Sang manajer harus mengamati kandidat kapten masa depan dengan cermat agar kutukan tidak terulang lagi. Adapun Arsenal juga punya pemain muda dengan jiwa kepemimpinan kuat, seperti bek Gabriel Magalhaes dan kiper Aaron Ramsdale.
Bagi Arteta, penentuan pemimpin tim ini akan sangat penting. Sejak datang ke Arsenal, dia mengutamakan sikap profesional dan disiplin sebagai penilaian utama para pemain. Arteta ingin membentuk kultur dalam tim muda Arsenal. Tujuan itulah yang membuatnya tidak segan mendepak pemain bintang seperti Mesut Oezil, yang dianggap kurang profesional.
Sosok kapten di lapangan sangatlah penting. Presensi mereka ibarat seorang jenderal perang di medan pertempuran. Tanpa mereka, pemain lain bisa kehilangan arah. Figur pemimpin sejati itu tidak dimiliki Arsenal dalam satu setengah dekade terakhir. Wajar saja jika prestasi ”Si Meriam” semakin mundur dari tahun ke tahun. (AP/REUTERS)