Verawaty Fadjrin, Sosok Pantang Menyerah Itu Berpulang
Pebulu tangkis putri andalan 1970-1980-an, Verawati Fadjrin, wafat pada usia 64 tahun setelah berjuang melawan kanker paru-paru stadium empat. Semasa hidup, Vera dikenal sebagai orang yang disiplin dan pantang menyerah.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pebulu tangkis putri andalan Indonesia era 1970-1980-an, Verawaty binti Gani Wiharyo alias Verawaty Fadjrin, wafat dalam usia 64 tahun setelah berjuang melawan kanker paru-paru stadium empat di RS Dharmais, Jakarta Barat, Minggu (21/11/2021) pukul 06.58 WIB. Semasa aktif hingga pensiun sebagai atlet, dia dikenal sebagai sosok disiplin dan pantang menyerah untuk menang. Etos hidup itu diharapkan bisa menjadi teladan pebulu tangkis muda Indonesia saat ini.
Sahabat sekaligus legenda bulu tangkis Indonesia, Imelda Wiguna, seusai pemakaman di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Minggu, mengatakan, salah satu yang luar biasa dari Verawaty adalah keinginannya untuk menang dan tidak mau kalah. Itu dinilainya sulit sekali ditemui dalam diri atlet zaman sekarang.
Di dalam setiap kejuaraan, terutama beregu, Verawaty nyaris selalu menyumbangkan dua poin atau kemenangan karena bermain rangkap tunggal dan ganda putri atau campuran. Kadang tim Indonesia hanya berangkat dengan lima pemain, termasuk Verawaty, Imelda, Christian Hadinata, dan Liem Swie King.
Namun, karena kegigihan dan karakter kuat semua pemain, mereka bisa mendapatkan tiga-empat gelar. ”Kisah ini diharapkan bisa menjadi pelajaran, terutama bagi atlet-atlet muda,” ujar Imelda, yang berpasangan dengan Verawaty saat meraih emas ganda putri Asian Games Bangkok 1978 dan menjuarai ganda putri All England 1979.
Komitmen tinggi
Bermain rangkap bukan hal yang mudah dalam bulu tangkis. Dia melakukannya dengan sangat baik meski berat.
Christian Hadinata menilai Verawaty sebagai sosok pekerja keras dan punya komitmen tinggi terhadap bulu tangkis. Salah satu bentuk komitmen ini terlihat dari prestasi Verawaty yang diraih dalam dua nomor dengan karakter yang sangat berbeda, yaitu tunggal dan ganda. ”Bermain rangkap bukan hal yang mudah dalam bulu tangkis. Dia melakukannya dengan sangat baik meski berat,” katanya.
Verawaty menjadi bagian dari kejayaan bulu tangkis Indonesia pada akhir era 1970-an hingga awal era 1980-an. Beberapa kali, Christian menuturkan, tim Indonesia pada era itu terdiri atas materi minimalis yang selalu menghasilkan prestasi maksimal.
Pada All England 1979, misalnya, skuad ”Merah Putih” meraih empat gelar juara dari ajang All England. Gelar tersebut didapat oleh Liem Swie King (tunggal putra), Tjun Tjun/Johan Wahyudi (ganda putra), Verawaty/Imelda (ganda putri), dan Christian/Imelda (ganda campuran).
Setahun berikutnya, Indonesia berjaya dalam Kejuaraan Dunia di Istora Senayan, Jakarta. Kali ini, Verawaty menjuarai tunggal putri untuk melengkapi gelar juara dunia yang didapat Rudy Hartono, Christian/Ade Chandra, dan Christian/Imelda.
Dengan postur yang tinggi-besar, ujar Christian, Verawaty sangat ditakuti lawan karena memiliki smes sangat keras. Ini menjadi senjatanya dalam bertanding pada nomor tunggal, serta sebagai pemain belakang di ganda putri untuk menyelesaikan pola main yang dirancang Imelda di bagian depan lapangan. ”Untuk mengikuti turnamen pada zaman itu, kami mengurus semua keperluan sendiri, saling menjadi pelatih dan saling menyemangati saat bertanding,” terang Christian.
Karakter pekerja keras di lapangan, menurut Christian yang juga sukses sebagai pelatih ganda putra itu, sejalan dengan sifat Verawaty di luar lapangan. ”Dia orangnya spontan, berani berbicara apa adanya dan tidak sungkan untuk menyampaikan kritik,” tuturnya.
Pasangan Verawaty tatkala merebut emas ganda putri SEA Games Jakarta 1987, Rosiana Tendean, menyampaikan, dirinya bersyukur pemerintah memberikan perhatian luar biasa kepada Verawaty dari masa perawatan sejak akhir September 2021 sampai berpulang. Bahkan, Verawaty yang lahir di Jakarta, 1 Oktober 1957, ini dimakamkan di Area Makam Perintis dan Pejuang Kemerdekaan, TPU Tanah Kusir.
Rosiana berharap kisah Verawaty bisa menginspirasi pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib mantan atlet, terutama atlet berprestasi ketika pensiun. Verawaty dan suaminya, Fadjriansyah, berjuang mandiri untuk menjalani pengobatan sebelum mendapatkan perhatian besar dari pemerintah setelah kisahnya viral di media sosial.
”Kasus Kak Vera ini cuma salah satu contoh. Mungkin masih banyak mantan atlet bernasib serupa, tetapi tidak terpantau. Saya harap pemerintah bisa lebih perhatian dengan nasib mantan atlet, terutama yang berprestasi. Jangan hanya jor-joran memberikan hadiah saat mereka aktif sebagai atlet. Apalagi, tidak semua atlet bisa mengelola hadiah dengan baik. Jangan sampai pula memberi perhatian setelah nasib mereka viral di sosial media. Kita ada momentum melakukan perbaikan itu lewat revisi UU SKN (Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional,” tegas Rosiana.
Anak semata wayang Verawaty dan Fadjriansyah, Fidyan Dini, menerangkan, ibunya telah berjuang melawan kanker paru-paru stadium empat itu setahun terakhir. Sekitar dua bulan setengah ini, Verawati mendapatkan perawatan intensif dari RS Dharmais. Pengobatannya sempat tidak mengalami perkembangan.
Akan tetapi, dua minggu lalu, kondisi Verawaty membaik. Jumat pekan lalu, tim dokter ingin menyedot cairan dari paru-parunya, tetapi ternyata cairannya minim. Ketika dicek, cairannya memang nyaris tidak ada lagi. Hasil itu menjadi pertimbangan dokter untuk membolehkan Verawaty kembali ke rumahnya pada Senin malam.
Di rumah, kamar Verawaty didesain sedemikian rupa agar bisa membuatnya nyaman dan kesehatannya terpantau. Namun, Kamis malam, kondisinya turun lagi dan dibawa kembali ke RS Dharmais. Cairan dalam paru-parunya kembali penuh yang membuatnya kesulitan bernapas. Minggu subuh, dirinya sudah kehilangan kesadaran dan berpulang pada pukul 06.58 WIB.
”Selama sakit, ibu tidak pernah sekali pun mau mengeluh. Dia terus berjuang melawan penyakit itu. Ini memang teladan yang ditunjukkan ibu sejak saya kecil sehingga menginspirasi saya menjadi atlet bola basket,” ujar Fidyan, yang mantan pebasket Liga Bola Basket Indonesia (IBL) musim 2003-2018.
Dekat dengan cucu
Pemakaman Verawaty dihadiri oleh keluarga, rekan kerja, dan mantan sesama pebulu tangkis, sampai tetangga di sekitar tempat tinggalnya di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Suasana pemakaman berlangsung khidmat penuh keharuan.
Cucu tertua Verawaty, Fieldy Kennard Nayottama, yang berusia 16 tahun tampak paling terpukul. Dia memeluk erat foto Verawaty setiba di pemakaman hingga foto itu diletakkan di atas pusara. Beberapa kali, dia tak kuasa menahan tangis dan berulang kali mengucapkan kata ”nenek”.
”Anak pertama saya sempat menjadi cucu tunggal. Makanya, dia dekat sekali dengan neneknya. Dia diasuh ibu dari lahir sampai umur 6 tahun. Ke mana-mana selalu dibawa ibu sampai semua rekan ibu kenal dengannya. Kalau adiknya, Chelsea Princessa Nayatama yang masih berusia 9 tahun, tidak punya kedekatan seperti itu,” pungkas Fidyan.