Wajah-wajah baru atlet disabilitas datang ke Papua tanpa nama besar. Namun, sebagian dari mereka justru mampu mengukir sejarah. Mereka tidak takut bersinar karena sudah cukup akan gelapnya hidup di dalam keterbatasan.
Oleh
Kelvin Hianusa
·4 menit baca
Entah apa yang ada di benak Gerry Pahker (17). Perenang debutan di kelas S6, tunadaksa, ini hanya bengong dengan mata berkaca-kaca seusai menyentuh garis finis. Tidak ada selebrasi darinya. Padahal, layar besar menunjukkan dia sebagai peraih medali emas di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) Papua 2021 sekaligus pemecah rekor nasional 50 meter renang gaya dada.
Perenang berperawakan pendek yang sering dijuluki ”kurcaci” ini terdiam karena kaget dengan hasil akhir tersebut. Semenit sebelumnya, Gerry hanyalah atlet disabilitas awam yang sedang berdiri di balok start. Atlet Riau itu sama sekali tidak diperhitungkan.
Namun, setelah melompat ke kolam, Gerry mulai menunjukkan aura kebintangannya. Lewat kayuhan lincah dari tubuh mungilnya, dia meluncur begitu cepat di dalam air. Sang debutan mulai jauh meninggalkan para pesaingnya. Penampilan hebat itu disambut sorakan ratusan penonton di Arena Akuatik Lukas Enembe, Jayapura, Papua.
Gerry finis dengan catatan waktu fenomenal, 44,32 detik. Dia melampaui rekornas milik Toif Fauzi (48,02 detik) yang diraih di Bandung pada 2016. Dengan polosnya, Gerry berkata prestasi itu bukan karena kemampuannya.
”Mungkin, berkat doa mamak (ibu) di Pekanbaru sehingga aku bisa mencapai semua ini,” ucapnya setelah seremoni penyerahan medali, Senin (8/11/2021).
Hari itu, Gerry sukses melampaui batas dirinya. Dia datang dengan segala keterbatasan, mulai dari persiapan tampil yang hanya tiga bulan, minimnya pengalaman sebagai debutan, hingga catatan waktu pribadi yang tidak pernah di bawah 49 detik, sebelumnya.
”Prestasi terbesar saya hanya perunggu di Peparpenas (Pekan Paralimpiade Pelajar Nasional). Grogi pastinya. Ini kan Peparnas pertama, apalagi lawan-lawannya hebat, termasuk pemegang rekornas (Toif). Saat turun, saya berkata ke diri sendiri, ’sudahlah, apa pun hasilnya, terima saja’. Hal terpenting berusaha semaksimal mungkin,” ungkapnya.
Bagi Gerry, menembus keterbatasan bukanlah hal baru. Dengan tubuh setinggi dada kebanyakan orang dewasa, dia kerap harus melewati hinaan di lingkungannya. Namun, dia tidak menyerah dengan tubuh mungilnya itu. Dia memutuskan jadi perenang disabilitas pada 2015 dan menciptakan jalan kesuksesannya sendiri.
Sekarang, nama Gerry tercatat dalam sejarah. Tetapi, dia belum akan berhenti. ”Saya ingin bisa bertarung di panggung internasional. Saya ingin menjadi seperti idola warga Riau, kak Syuci (Indriani) yang kemarin tampil di Paralimpiade Tokyo,” pungkasnya.
Ibarat telur penyu yang menetas bersamaan, demikian gambaran bakat-bakat baru di Peparnas Papua sejauh ini. Pada hari yang sama, perenang debutan asal Jawa Tengah, Siti Alfiah (19), juga meraih emas dan memecahkan rekornas di kelas S5-S6 dalam nomor 50 meter gaya dada putri.
Banyak bintang baru yang belum pernah terlihat sebelumnya. Ini bisa jadi momentum meningkatkan prestasi kita. (Slamet Widodo)
Siti, yang turun di lintasan keenam, finis dengan waktu 52,44 detik. Ia melewati rekornas atas nama Riyanti, yaitu 59,15 detik, yang diciptakan di Bandung pada 2018. Sama seperti Gerry, Siti tidak menyangka bisa menggapai podium tertinggi di Peparnas 2021.
”Dulu, saya takut air. Namun, saya bisa mengalahkan takut itu saat diajak belajar renang pada 2015. Sejak itu, rasa percaya diri naik. Saya yakin bisa mengalahkan apa pun selama berusaha keras. Hasil hari ini adalah usaha saya latihan 7 bulan terakhir. Usaha itu tidak sia-sia,” ucap Siti, yang mulai dilirik pemusatan latihan nasional sejak 2019 lalu.
Kian populer
Dimin BA, pelatih pelatnas renang paralimpiade, mengatakan, lahirnya bakat-bakat baru itu tidak lepas dari kian populernya olahraga disabilitas. Kini, kian banyak penyandang disabilitas yang ingin jadi atlet.
Bukti nyata fenomena itu adalah pemecahan dua rekornas di kelas S6 dengan catatan waktu jauh lebih baik. Biasanya, sulit mencari atlet dalam klasifikasi yang mencakup perenang berperawakan pendek, mengalami amputasi kedua lengan, atau masalah koordinasi tingkat sedang pada satu sisi tubuh tersebut. ”Sekarang, sudah banyak. Kompetisinya pun ikut bertumbuh,” kata Dimin.
Selain renang, bakat-bakat baru dari nomor yang kurang populer juga bermunculan di cabang atletik. Mereka, antara lain, pelari tunanetra (T11) asal Jawa Tengah, Muhammad Dimas, yang meraih emas di nomor 400 meter. Finis dengan waktu 55,55 detik, Dimas juga memecahkan rekornas atas nama Rully Alkhafi Mubarok (56,53 detik) yang dihasilkan di Peparnas Jabar 2016.
Hadirnya sosok pelari tunanetra merupakan anugerah bagi pelatnas atletik. Atlet dari kelas ini sangat langka sehingga tidak ada wakil Indonesia yang dominan di ajang internasional.
”Banyak bintang baru yang belum pernah terlihat sebelumnya. Ini bisa jadi momentum meningkatkan prestasi kita,” ujar Slamet Widodo, pelatih kepala pelatnas atletik paralimpiade.