Di balik kelancaran PON Papua 2021, ada sosok di balik layar berperan besar. Mereka adalah sukarelawan kesehatan dan aparat keamanan yang memastikan warga yang terlibat aman di tengah pandemi Covid-19 dan isu keamanan.
Oleh
Fabio Maria Lopez Costa/Adrian Fajriansyah/Kelvin Hianusa/Muhammad Ikhsan Mahar
·6 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19 dan isu keamanan dari kelompok kriminal bersenjata, sukarelawan kesehatan dan aparat keamanan menjadi elemen penting di balik penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional Papua 2021. Walau belum sepenuhnya ideal, terutama dari sisi penerapan protokol kesehatan, keberadaaan orang-orang di balik layar itu yang membuat pesta olahraga yang sudah tertunda setahun ini bisa berjalan tanpa gangguan berarti hingga Rabu (13/10/2021).
Di tengah hiruk-pikuk penonton laga antara tim basket putra Jawa Timur dan Bali dalam babak penyisihan terakhir di dalam GOR Kompleks Olahraga Mimika PT Freeport Indonesia, Kota Timika, Kabupaten Mimika, Rabu (6/10/2021), mata Jaqline C Gala (31) tajam bak elang mengawasi gerak-gerik penonton. Tak lama, perempuan asal Toraja, Sulawesi Selatan, itu menegur sekelompok pemuda yang terdiri dari satu laki-laki dan dua perempuan karena duduk berdekatan.
Namun, pemuda-pemudi itu tidak mengindahkan teguran tersebut. Akhirnya, Jaqline tegas meminta penonton bandel itu keluar arena. Ada sedikit adu mulut antara Jaqline dan penonton itu yang menganggap mereka tidak diperlakukan adil. Namun, Jaqline tetap tegas menjalankan aturan. Dia pun coba meminta aparat keamanan untuk membantu mengusir penonton bandel tersebut. Setelah aparat bergerak menghampiri, ketiga orang itu pergi.
Jaqline mengaku, sebelum ini, dirinya beberapa kali menegur penonton yang ngeyel saat diingatkan. Awalnya, dirinya takut. Namun, demi keselamatan bersama, dirinya mengingatkan semua penonton yang tidak patuh. ”Saya mesti tegas karena Mimika masih zona merah penyebaran Covid-19. Kalau tidak tegas, itu membayakan semua orang yang tidak hanya atlet ataupun penonton lain, tetapi termasuk saya sendiri,” ujar guru di SMK Negeri 3 Mimika tersebut.
Jaqline adalah salah satu dari 27 anggota tim sukarelawan protokol kesehatan di arena basket PON Papua. Dia telah bertugas sejak hari pertama pertandingan basket pada Rabu (29/10/2021). Tugas sebagai sukarelawan itu tidak mudah. Apalagi, penonton selalu penuh di setiap laga, terutama ketika tim putra ataupun tim putri tuan rumah tampil.
Sejatinya, panitia memberlakukan aturan protokol kesehatan cukup ketat di arena basket. Aturannya, antara lain, penonton yang bisa masuk cuma yang sudah dua kali menerima vaksinasi Covid-19, berusia di atas 12 tahun dan bukan lansia, wajib menggunakan masker, serta selalu menjaga jarak.
Jumlah penonton yang dibolehkan masuk maksimal 25 persen dari total kapasitas arena. Bangku diberi sejumlah tanda silang untuk memastikan penonton duduk di tempat yang disediakan agar bisa menjaga jarak sekitar 1 meter dengan penonton lainnya. ”Kendati demikian, tetap ada penonton yang bandel tidak mematuhi aturan. Misalnya, ada penonton yang coba melepas masker atau duduk berdekatan dengan penonton lainnya,” ucap Jaqline yang telah setahun tinggal di Timika.
Tugas tak mudah
Tugas menjadi sukarelawan memang sama sekali tidak mudah. Apalagi, animo masyarakat Papua menyaksikan laga-laga yang ada cukup tinggi. Adu mulut menjadi pemandangan sehari-hari antara sukarelawan dan warga yang ingin menonton.
Di arena sepak bola di Stadion Barnabas Youwe, Kabupaten Jayapura, Yesaya yang berperan sebagai sukarelawan pemeriksa kartu vaksin dan aplikasi Peduli Lindungi sering berdebat dengan calon penonton. Itu karena tak sedikit calon penonton yang memaksa masuk, tetapi tidak memenuhi syarat sehingga tidak bisa diberi gelang tanda tiket masuk. ”Kalau ada yang marah, saya hanya mendengarkan mereka, tetapi aturan harus tetap diterapkan,” katanya.
Sukarelawan protokol kesehatan di pintu masuk arena akuatik Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, Agustina Kaigere (30), mengatakan, sering kali ratusan penonton antre dan memaksa masuk meski kapasitas arena sudah dinyatakan penuh. ”Terkadang saya kasihan dengan warga yang datang jauh-jauh untuk menonton PON. Namun, saya harus tegas karena demi PON bisa terus berlangsung. Apalagi, sekarang sedang pandemi,” ucap warga asli Sentani, Kabupaten Jayapura tersebut.
Terkadang saya kasihan dengan warga yang datang jauh-jauh untuk menonton PON. Namun, saya harus tegas karena demi PON bisa terus berlangsung.
Agustina juga membagikan masker kepada setiap penonton yang masuk. Menurut dia, masih banyak warga yang datang tanpa mematuhi protokol kesehatan. Dia pun mewajibkan mereka memakai masker. Jika tidak mau, penonton dilarang masuk.
”Saya tidak mau PON Papua tercemar karena penyebaran virus Covid-19. Ini, kan, baru pertama kali ada acara seperti ini di Papua. Kami sangat senang karena suasana di sini jadi lebih hidup. Kami tidak mau PON gagal karena ini belum tentu terulang berpuluh-puluh tahun lagi,” ujarnya.
Tanggung jawab besar
Menjadi sukarelawan kesehatan ataupun petugas keamanan PON merupakan tanggung jawab besar. Praka Andrian Rusdar (28), yang ditugaskan dari Batalyon 753 Nabire untuk menjaga keamanan di arena panjat tebing, Timika, selama 27 September-8 Oktober, mengatakan, dirinya dan 39 aparat TNI-Polri tidak hanya memastikan keamanan diri sendiri, tetapi juga semua masyarakat di sekitar arena panjat tebing, dari atlet, ofisial, sampai penonton.
Itu berbeda sekali saat dirinya ditugaskan menyerbu kelompok kriminal bersenjata pimpinan Rambo Telenggeng di kawasan Puncak Jaya selama 10 bulan medio 2016. ”Ketika itu, saya dan rekan-rekannya hanya bertanggung jawab memastikan keamanan diri sendiri,” ujar Andrian, prajurit asli dari Maluku Utara tersebut.
Padahal, menurut Andrian, potensi ancaman keamanan selama PON cukup tinggi. Berdasarkan info yang didapatnya, kelompok kriminal bersenjata dari kawasan Intan Jaya berencana mengarah ke Timika guna membuat kerusuhan. Maka dari itu, Andrian dan 39 rekannya di arena panjat tebing mesti memakai peralatan dan senjata lengkap serta berjaga 24 jam sehari.
Untuk mengakali jadwal tidur, mereka membagi tugas, yakni 20 orang jaga dan 20 orang istirahat secaran selang-seling setiap hari. Tatkala berjaga, lanjut Andrian, 20 orang berbagi waktu tidur sejenak dengan alas seadanya di tenda yang ada di arena dan sebagian berjaga.
”Walau tanggung jawab besar, saya bekerja dengan sepenuh hati dan penuh kebanggaan. Apalagi ini pengalaman pertama saya bertugas di ajang sebesar PON. Di sini, saya mendapatkan banyak pengalaman baru, terutama menyaksikan perjuangan atlet panjat tebing yang ternyata seru-seru ditonton,” ujar Andrian.
Tidak sebanding
Kendati demikian, penghargaan untuk sukarelawan tidak sebanding dengan risiko yang bisa ditanggung. Contohnya, upah yang diterima sukarelawan kesehatan, seperti Jaqline. Mereka cuma dijanjikan upah Rp 300.000 per hari. Padahal, mereka bekerja setiap hari di tengah ancaman penyebaran Covid-19 yang begitu tinggi.
Tak sedikit pula yang patut membagi waktu antara tugas sebagai sukarelawan dan tugas profesi sehari-hari. Jaqline, misalnya. Walau bertugas sebagai sukarelawan dari pukul 06.00 sampai 19.00 setiap hari dari hari pertama hingga semua agenda basket tuntas pada Jumat (8/10), dia masih menyempatkan mengajar daring jam saat jam makan siang sekitar pukul 12.00-13.00.
Mirisnya, upah bagi sukarelawan seperti Jaqline tidak lancar. Per 6 Oktober, Jaqline belum menerima upah tersebut. ”Karena telanjur terpilih sebagai sukarelawan, mau tidak mau saya tetap menjalankan tanggung jawab yang telah diberikan. Lagi pula, di sini saya bisa mendapatkan pengalaman dan jaringan baru,” kata Jaqline yang terpilih sebagai sukarelawan sekitar sebulan sebelum PON dimulai.
Dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan keselamatan, tak berlebihan jika sukarelawan kesehatan ataupun aparat keamanan dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa selama PON. Mereka bertugas dalam senyap dan nyaris luput dari perhatian, tetapi berkontribusi besar memastikan atlet, ofisial, ataupun penonton merasa aman dan nyaman.
”Sebelum ke Papua, awalnya saya takut karena mendengar kabar tentang tingginya angka Covid-19 dan isu kemananan di sini. Namun, sejak tiba di Timika pada 29 September hingga hari ini (Rabu, 13/10), semuanya berjalan dengan lancar dan nyaman. Sukarelawan sangat cekatan membantu ketika kami butuh bantuan. Aparat juga selalu berjaga untuk memastikan keamanan, khususnya di tempat kami tinggal. Mereka semua luar biasa,” ujar Ulfa Silviana (24), pelari Jawa Barat yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Papua.