Indonesia Mencoba Keluar dari Jerat Sanksi WADA
Sanksi Badan Antidoping Dunia mengancam posisi Indonesia sebagai tuan rumah sejumlah turnamen olahraga internasional. Pemerintah dan Lembaga Antidoping Indonesia melakukan upaya klarifikasi untuk menghindar dari sanksi
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia untuk kedua kalinya terancam sanksi dari Badan Antidoping Dunia atau WADA karena ketidakmampuan memenuhi rencana jumlah tes doping tahunan. Sanksi mengancam posisi Indonesia sebagai tuan rumah sejumlah turnamen internasional. Pemerintah dan Lembaga Antidoping Indonesia mengupayakan langkah klarifikasi untuk keluar dari jerat sanksi.
Dalam pernyataan yang dipublikasikan pada Jumat (8/10/2021) WIB, Badan Antidoping Dunia atau WADA menegaskan lima organisasi antidoping telah dinyatakan tidak mematuhi kode etik antidoping dunia.
Kelima organisasi antidoping yang dimaksud terdiri dari tiga organisasi antidoping nasional (National Anti Doping Organization/NADO) dari Indonesia, Korea Utara, dan Thailand. Kemudian ada dua federasi olahraga internasional, yaitu Federasi Bola Basket Tuli Internasional (Deaf International Basketball Federation/DIBF) dan Federasi Olahraga Gira Internasional (International Gira Sport Federation/IGSF).
Dalam kasus DIBF, IGSF dan NADO Thailand, ketidakpatuhan disebabkan oleh kurangnya implementasi penuh dari kode etik antidoping versi tahun 2021 dalam sistem hukum mereka. DIBF dan IGSF dinilai tidak mengimplementasikan aturan antidoping, sedangkan NADO Thailand dinyatakan tidak patuh karena menerapkan kode antidoping melalui undang-undang.
Sementara itu, untuk kasus NADO Korea Utara dan Indonesia, ketidakpatuhan dikarenakan ketidaksesuaian dalam melaksanakan program pengujian yang efektif.
Berdasarkan keputusan WADA, tidak satu pun dari lima organisasi antidoping tersebut membantah pernyataan tentang ketidakpatuhan, konsekuensi yang diusulkan dari ketidakpatuhan, atau kondisi pemulihan yang diusulkan dalam jangka waktu 21 hari. WADA telah mengirimkan pernyataan ketidakpatuhan sejak 15 September 2021. Karena tidak ada bantahan, kelima organisasi antidoping itu dianggap menerima keputusan tersebut.
Baca juga : Indonesia Terancam Sanksi WADA, Badan Antidoping Dunia
Keputusan WADA itu membawa implikasi bahwa Indonesia tidak memenuhi syarat untuk menjadi tuan rumah kejuaraan tingkat regional, kontinental, atau dunia, selama 1 tahun dan bisa lebih lama. Agenda terdekat, Indonesia akan menjadi tuan rumah tiga turnamen bulutangkis internasional di Bali, yaitu Indonesia Masters yang bakal digelar pada 16-21 November, lalu Indonesia Terbuka (23-28 November), dan ditutup dengan BWF World Tour Finals (1-5 Desember).
Lebih dari itu, atlet Indonesia terancam sanksi tidak boleh mengibarkan dan membawa nama negara di ajang internasional apapun
Sanksi lainnya, WADA mencabut hak-hak privilese pengurus Lembaga Antidoping Indonesia (LADI) di dalam kepengurusan WADA. Hak yang dimaksud seperti hak suara dan bantuan dari WADA kepada LADI. Pengurus LADI juga tidak bisa masuk dalam komite yang terafiliasi dengan WADA dan Komite Olimpiade Internasional.
Wakil Ketua LADI dr Rheza Maulana menyebut unsur ketidakpatuhan dari WADA sebagai bentuk miskomunikasi. Unsur ketidakpatuhan yang dimaksud berkaitan dengan jumlah tes doping yang dilakukan LADI sepanjang tahun 2021-2021. Menurut Rheza, LADI tidak mampu memenuhi target tes tahunan akibat terkendala pandemi Covid-19.
Baca juga : WADA Selidiki Warna Bendera Rusia di Mobil Haas
Ketidakpatuhan kedua adalah terkait tes doping untuk ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021. Rheza mengatakan, WADA meminta LADI untuk mengirim hasil tes doping PON sebelum tenggat waktu. “Untuk yang ini kami sudah kirim dan sudah aman,” kata Rheza.
Rheza menolak membeberkan berapa rencana tes doping tahunan dan realisasinya, termasuk jumlah tes doping yang akan dikirimkan dari ajang PON karena alasan privasi. Namun, dari surat klarifikasi yang dikirimkan Kemenpora ke WADA, disebutkan LADI berencana mengirimkan sekitar 700 sampel dari rencana tes doping ajang PON ke Departemen Kepatuhan WADA. Lebih jauh, LADI berencana mengambil 300 sampel tes doping pada 2021. Saat ini capaian maksimum tes doping di kuarter pertama dan kedua 2021 baru mencapai 72 sampel.
Poin ketidakpatuhan ketiga adalah mengenai jumlah tes doping untuk tahun 2022. Ketentuan itu, kata Rheza, sudah dipenuhi LADI. “Jika poin-poin klarifikasi dan upaya kami sudah tertunaikan, sesuai surat dari WADA status LADI akan dikembalikan seperti semula dan predikat ketidakpatuhan akan dicabut,” tutur Rheza ketika dikonfirmasi.
Rheza membantah isu yang menyebutkan jumlah tes doping tidak mencapai target karena terkendala pendanaan. Menurut Rheza, pendanaan dari pemerintah untuk tes doping memadai. Pemerintah mendukung 100 persen. Hanya saja, kata Rheza, saat implementasi kemarin ada kendala teknis karena pandemi sehingga LADI sulit untuk memenuhi target tes yang ditetapkan WADA. Selama ini Indonesia mengirim sampel tes doping ke laboratorium di Qatar.
Secara terpisah, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali menjelaskan, pemerintah bersama LADI telah mengirim surat klarifikasi kepada WADA terkait keputusan yang dijatuhkan kepada Indonesia. Permasalahan utama, kata Zainudin, dikarenakan adanya ketidaksesuaian antara rencana jumlah sampel doping yang akan dites pada tahun 2020 hingga 2021 dengan realisasinya.
Menurut Zainudin, ketidaksesuaian antara perencanaan tes dengan realisasi disebabkan adanya pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020. Akibat pandemi, semua aktivitas termasuk kegiatan olahraga menjadi terhenti. Hal itulah yang mengakibatkan jumlah sampel tes doping Indonesia selama kurun waktu tersebut tak sesuai perencanaan.
Zainudin menambahkan, sampel yang sudah disiapkan tidak bisa segera dites karena bersifat berdasarkan nama atlet (by name). Pada saat itu, beberapa atlet sedang berada di luar negeri untuk mengikuti sejumlah turnamen dan kualifikasi. Ke depan, sampel pengetesan akan diatur berdasarkan cabang olahraga sehingga bisa dilakukan kepada seluruh atlet yang tersedia pada saat itu juga.
Kini dengan adanya PON Papua, Zainudin menyebut jumlah tes doping yang dilakukan LADI akan mampu mencapai jumlah seperti yang direncanakan. "Sekarang kami dan LADI punya komitmen untuk mematuhi semua aturan yang disepakati. Kami juga jelaskan kendala yang kami hadapi di dalam negeri kenapa perencanaannya bisa berbeda dengan faktanya. Setelah mengirim surat klarifikasi, saya optimistis sanksi tidak perlu dijatuhkan," kata Zainudin melalui konferensi pers secara daring.
Kami juga jelaskan kendala yang kami hadapi di dalam negeri kenapa perencanaannya bisa berbeda dengan faktanya. Setelah mengirim surat klarifikasi, saya optimistis sanksi tidak perlu dijatuhkan. (Zainudin Amali)
Meski berada dalam bayang-bayang sanksi WADA, Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PBSI) menyatakan, tiga turnamen bulu tangkis internasional di Bali pada tahun ini dipastikan akan berjalan sesuai jadwal. Kepastian itu diperoleh PBSI setelah berkoordinasi dengan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF). Ketiga turnamen tersebut tetap bisa dijalankan karena sudah mendapat jadwal dari BWF sejak berbulan-bulan lalu.
"Turnamen di Bali nanti dipastikan tidak ada masalah. Dari pihak BWF tidak ada masalah, bisa jalan terus," kata Kepala Bidang Luar Negeri Pengurus Pusat (PP) PBSI Bambang Roedyanto melalui siaran pers.
Sedangkan, Sekretaris Jenderal PP Perbasi Nirmala Dewi mengaku baru mendengar ihwal sanksi WADA dari sosial media sehingga belum dapat berkomentar lebih jauh. Namun, Dewi menyampaikan, Perbasi tetap akan berkoordinasi dengan Kemenpora untuk meminta petunjuk.
Kejadian kedua
Bukan kali ini saja Indonesia terkena sanksi WADA. Pada 2016 silam, LADI dilarang beroperasi oleh WADA karena menggunakan laboratorium doping tanpa akreditasi atau diakui WADA untuk memeriksa sampel para atlet. Sanksi dijatuhkan karena LADI tak kunjung memberikan penjelasan kepada WADA hingga batas waktu yang ditentukan). Akibat keputusan itu, LADI dilarang mengambil sampel urine, darah, atau apa pun dari atlet selama belum memenuhi standar WADA (Kompas, 1/12/2016).
Senior International Doping Control Officer Heru Purwanto berpendapat, sanksi WADA bisa merugikan Indonesia yang didapuk sebagai tuan rumah sejumlah turnamen internasional. Heru mendesak pemerintah dan LADI untuk proaktif melakukan pendekatan dan menghubungi WADA untuk menanyakan solusi dari sanksi tersebut. Tujuannya agar Indonesia tidak mengalami nasib serupa Rusia yang dilarang mengibarkan bendera kebangsaan dan nama negara di ajang multicabang. Di samping itu, ia meminta agar LADI diisi oleh orang-orang yang kompeten dan paham mengenai aturan antidoping.
Baca juga : Ketika Tim Rusia Berganti Menjadi ROC
“Karena kita akan menjadi tuan rumah agenda internasional seperti bulutangkis, basket, dan sepak bola, pemerintah harus peduli soal doping ini,” kata Heru yang juga mantan pengurus LADI.
Persoalan ketidakpatuhan LADI terkait jumlah sampel yang dites doping berpotensi terulang. Heru menjelaskan, Indonesia saat ini tidak mempunyai laboratorium terakreditasi WADA. Meski ada sejumlah laboratorium yang bisa digunakan, akreditasi sulit diperoleh karena laboratorium di Indonesia tidak sulit memenuhi syarat melakukan pengetesan hingga 3.000 sampel per hari.
Oleh karena itu, sampel-sampel yang dikumpulkan LADI selalu dikirim ke laboratorium di India atau Qatar untuk dites. Biaya pengetesan di laboratorium luar negeri dan pengiriman sampelnya tergolong mahal. Dari pengalaman Heru, untuk menguji 2.000 sampel saja membutuhkan biaya sekitar Rp 5 miliar sementara dana yang diberikan pemerintah kepada LADI untuk melakukan pengetesan di luar negeri terbatas.
Menanggapi itu, Zainudin mengatakan, Kemenpora pernah berencana dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memperkuat laboratorium tes doping di Rumah Sakit dr Soeharso di Surakarta, Jawa Tengah. Namun karena ada pergantian posisi menteri kesehatan, rencana tersebut terhenti.
"Kami harus bicara lagi dengan Kemenkes. Konsentrasi teman-teman Kemenkes sekarang masih di penanganan Covid-19," ujar Zainudin.
Tes doping di PON Papua
Menurut Widia Fujiyanti, peraih emas nomor lead perseorangan putri PON Papua prosedur tes doping itu diawali dengan wawancara data pribadi, mulai dari nama, nomor telepon/ponsel, hingga alamat email.
Kemudian, petugas menanyakan mengenai obat-obatan yang terakhir kali dikonsumsi sebelum laga final. Lalu, obat-obatan itu dicatat oleh petugas tersebut. Selanjutnya, petugas meminta sampel cairan urine. Proses ini yang memakan waktu cukup lama karena atlet bersangkutan mesti menunggu hingga bisa mengeluarkan urine.
Setelah cairan urine didapat dan dimasukan dalam botol, petugas mengecek kode botol itu untuk disesuaikan dalam kotak sebelum dikirim ke luar negeri. Petugas menyampaikan, sampel urine itu arus dikirim ke laboratorium di luar negeri untuk memastikan ada atau tidak kandungan doping di dalamnya. ”Hasil itu keluarnya sekitar 3-6 bulan,” ujar Widia yang kelahiran Bogor, Jawa Barat, 5 Januari 1999 tersebut.
Widia mengatakan, dia baru pertama kalinya menjalani tes doping seperti itu. Sebelumnya, dalam kejuaraan-kejuaraan nasional, proses tes doping berlangsung cepat dan hasilnya keluar saat itu juga. ”Sampel yang diambil sama, yakni cairan urine,” kata atlet yang sudah mulai berlatih panjat tebing sejak tahun 2009 tersebut.
Adapun proses tes doping dalam PON Papua dianggap telah sesuai prosedur. Sebab, lanjut Widia, dia didampingi oleh dokter tim Jawa Barat selama menjalani tes doping. Dokter itu menyatakan bahwa proses yang ada berjalan sesuai prosedur yang ada. ”Kan dokter tim perlu mendampingi agar tidak ada unsur kecurangan selama tes doping. Menurut dokter kami, prosedur kali ini sesuai yang dia ketahui,” ungkap Widia.
Juri Presiden Panjat Tebing PON Papua Muhammad Efendi menerangkan, proses tes doping itu hanya dijalani oleh pemenang atau peraih emas dari nomor pertandingan perseorangan. ”Tes doping itu dilakukan sesuai aturan LADI (Lembaga Anti Doping Indonesia). Setelah hasil laboratorium keluar, hasil itu akan dilaporkan langsung kepada pengurus induk cabang,” tuturnya