Setelah 12 tahun absen, petenis nasional, Christopher Rungkat, kembali ke ajang PON untuk mengklaim ”takhta”-nya. Tanpa banyak berkeringat, dia merajai PON Papua dengan koleksi tiga medali emas.
Oleh
kelvin hianusa
·5 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Petenis nasional, Christopher Rungkat (31), merebut kembali takhtanya sebagai ”raja” tenis di PON Papua 2021 lewat raihan tiga medali emas, setelah 12 tahun absen dari ajang multicabang nasional itu. Dominasi Christo di usia yang tidak lagi muda itu memperlihatkan gagalnya aturan pembatasan usia pada dua edisi PON sebelumnya.
Christo, ikon tenis nasional, pernah mengguncang panggung PON Kaltim 2008 dengan koleksi tiga emas ketika berstatus debutan pada usia 18 tahun. Penampilannya itu adalah yang pertama sekaligus terakhir di PON sebelum Papua 2021. Dia absen di PON Riau 2012 dan Jabar 2016 akibat pembatasan usia maksimal 21 tahun.
Setelah aturan tersebut dicabut jelang PON Papua, Christo pun kembali dengan seragam berbeda. Sempat membela DKI Jakarta, ia kini berseragam tim Jawa Timur. Tidak tanggung-tanggung, dia langsung menyabet tiga emas sekaligus di PON Papua. ”Senang sekali pastinya karena saya bisa memenuhi ekspektasi emas dari tim Jatim,” ucapnya.
Satu medali emas, yaitu dari beregu putra, diraihnya pada Minggu lalu. Adapun dua emas lainnya digapainya lewat nomor ganda campuran (bersama Aldila Sutjiadi) dan ganda putra (bersama David Agung Susanto) di Arena Sian Soor, Kota Jayapura, Kamis (7/10/2021).
Christo/Aldila mengalahkan sesama wakil Jatim, Anthony Susanto/Beatrice Gumulya, 7-5, 6-2. Adapun Christo/David menaklukkan wakil Papua Barat, Tio Juliandi Hutahuruk/Achad Imam Maruf, 6-2 6-3, di final.
Meskipun prestasinya setara, pemain berciri khas ikat kepala itu merasa ada yang berbeda dibandingkan PON 2008 dan 2021. Di Papua, Christo meraih emas tanpa banyak berkeringat. Semua laga berakhir lewat dua set langsung. Saking mulusnya perjalanan sang juara, dia seringkali melemparkan senyuman di lapangan, bahkan ketika tengah kehilangan poin.
Saya berharap format ini (tanpa batasan usia) bisa dipertahankan. Ini kan ajang nasional. Jadi, kenapa mesti dibatasi? Mudah-mudahan, dalam 4-8 tahun ke depan, regenerasinya mulai terlihat. (Christopher Rungkat)
”Iklim kompetisinya berbeda dengan waktu itu (2008). Kalau dulu, cowok (putra) jauh lebih ketat karena setiap provinsi punya jagoan masing-masing. Jadi, merata. Kalau mau dibilang, sekarang kompetitif, tetapi tidak lagi seketat dulu,” kata peraih emas Asian Games Jakarta-Palembang 2018 tersebut.
Kata Christo, kurang kompetitifnya PON tidak lepas dari aturan pembatasan usia dalam dua edisi sebelumnya. Akibat aturan itu, banyak petenis yang seangkatan dengannya memilih pensiun. Mereka tidak bisa melanjutkan karier karena dilarang ikut PON. Generasi terbaik di angkatannya pun hilang.
Bagi petenis profesional, dukungan daerah terhadap karier mereka sangat penting. Jika tidak bisa ikut PON, maka dukungan daerah pun tidak lagi ada. Alhasil, mereka tidak punya dukungan dana untuk bertanding reguler di luar negeri.
Padahal, seperti disampaikan Christo, petenis butuh setidaknya 25-35 minggu turnamen per tahun untuk bisa bertahan di ajang profesional. Kebutuhan itulah yang lantas membulatkan keputusannya untuk pindah dari DKI ke Jatim. Daerah itu berkomitmen memfasilitasinya dalam jangka panjang.
”Saya berharap format ini (tanpa batasan usia) bisa dipertahankan. Ini kan ajang nasional. Jadi, kenapa mesti dibatasi? Seharusnya, ini menjadi pesta olahraga nasional. Mudah-mudahan, dalam 4-8 tahun ke depan, regenerasinya mulai terlihat,” ujarnya kemudian.
Terbukti, tanpa pembatasan usia, pemain muda juga bisa bersinar. Mereka salah satunya adalah debutan yang membela Papua Barat, M. Althaf Dhaifullah. Ia mengalahkan seniornya, David Agung (30), di semifinal tunggal putra, 7-5, 3-6, 7-6 (5). Althaf bangga dan tidak menyangka bisa mengalahkan seniornya tersebut.
Meskipun kalah di laga final dari petenis muda Jatim, M. Rifqy Fitriadi (22), kemenangan atas David tetap menjadi memori terbaik Althaf. ”Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya itu akan terjadi,” kata petenis yang pernah bergabung dalam tim Piala Davis itu.
Turut memacu yunior
Tak hanya memacu yunior, ”pertarungan bebas” di Papua juga sukses melecut semangat barisan senior. Aldila misalnya, dipaksa mengeluarkan kemampuan terbaiknya saat menghadapi yunior terbaik Indonesia, Priska Madelyn Nugroho (18), di babak final tunggal putri.
Aldila mengaku terbebani dengan kehadiran Priska sejak awal PON. Hal itu yang membuatnya tampil di bawah standar sebelum final. Namun, di final, dia bisa mengalahkan beban tersebut dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Aldila menang dalam laga ketat, 6-4, 7-6 (7) di babak itu.
Juara tunggal putri PON sejak edisi 2012 silam itu enggan menyerah meskipun wajahnya sudah memerah karena kelelahan. Pada saat bersamaan, Priska—yang lebih muda 8 tahun—terus melecut sang senior dengan permainan energiknya.
Kedua petenis putri terbaik Indonesia itu pun sama-sama diuntungkan. Priska bisa belajar dari kekalahan itu, sementara Aldila menyadari yuniornya sudah mulai mendekati kemampuannya. ”Priska tampil sangat baik. Dia akan melaju di tahun-tahun berikutnya untuk menggantikan para senior,” ujar Aldila kemudian.
Format kompetisi tenis saat ini diyakini juga oleh Pengurus Pusat Persatuan Tenis Lapangan Seluruh Indonesia (PP PELTI) sebagai yang terbaik untuk ajang PON.
”Prestasi itu jangan dibatasi umur. Kasihan kan jika ada pemain (berusia) 22-23 tahun yang potensial, tapi tidak bisa lagi ikut. Padahal, kita kan bicara kesejahteraan juga. Mereka kan pasti juga butuh bonus dan lain sebagainya untuk berkarier,” kata Ketua Umum PELTI Rildo Ananda Anwar.
Sementara itu, Jatim keluar sebagai juara umum cabang tenis dengan menyapu bersih seluruh medali emas di PON Papua. Mereka menambah lima emas, setelah sebelumnya meraih dua emas di nomor beregu. Tambahan emas berasal dari Christo/Aldila, Christo/David, Aldila, Rifqy, dan Beatrice Gumulya/Jessy Rompies.
Berkat tambahan medali itu, kontingen Jatim hingga semalam mengoleksi 49 emas, 40 perak, dan 38 perunggu. Mereka menempati peringkat keempat pada klasemen perolehan medali di PON Papua.