Atlet nasional yang masih di pelatnas maupun mantan pelatnas masih mendominasi di hari pertama cabang atletik PON Papua 2021. Harapan untuk ada regenerasi terkendala pandemi Covid-19 yang membuat pembinaan tak optimal.
Oleh
Adrian Fajriansyah
·4 menit baca
TIMIKA, KOMPAS – Tidak ada kejutan di hari pertama penyelenggaraan cabang atletik Pekan Olahraga Nasional Papua 2021 di Stadion Atletik Kompleks Olahraga Mimika PT Freeport Indonesia, Kota Timika, Kabupaten Mimika, Selasa (5/10/2021). Atlet nasional baik yang masih di pelatnas maupun mantan pelatnas masih menjadi yang terbaik di tujuh nomor yang dipertandingkan.
Pada pagi hari, pelari jarak jauh Jawa Barat sekaligus pelatnas Agus Prayogo meraih emas lari 5.000 meter dengan waktu 14 menit 44,29 detik. Tak lama, pelompat jauh putri Bali sekaligus pelatnas Maria Natalia Londa merebut emas dengan lompatan terbaik 6,26 meter.
Pada sore hari, pelari 100 meter gawang putri DKI Jakarta sekaligus pelatnas Emilia Nova meraih emas dengan waktu 13,74 detik. Pelari jarak jauh DKI Jakarta sekaligus pelatnas Odekta Elvina Naibaho merebut emas lari 5.000 meter putri dengan 16 menit 57,58 detik.
Pelompat jauh Nusa Tenggara Barat sekaligus pelatnas Sapwaturrahman mendapatkan emas dengan lompatan terbaik 7,58 meter. Pelempar lembing Sumatera Utara sekaligus pelatnas Abdul Hafiz membawa pulang emas dengan lemparan terbaik 71,03 meter sekaligus memecahkan rekor PON milik atlet Papua Agustinus Mahuse dengan 68,81 meter yang diciptakan pada PON Jakarta 1989.
Praktis yang bukan atlet pelatnas tetapi meraih emas hanya pelari 110 meter gawang putra Sumatera Selatan, Rio Maholtra, yang meraih emas dengan waktu 14,11 detik sekaligus memecahkan rekor PON milik atlet Jawa Timur Edy Jakaria dengan 14,16 detik yang diciptakan pada PON Sumatera Selatan 2004. Namun, Rio adalah mantan atlet pelatnas yang terakhir kali mewakili Indonesia di SEA Games Filipina 2019.
Sehabis perlombaan, Emilia Nova berpendapat, dominasi atlet pelatnas itu karena nomor yang dipertandingan adalah nomor teknik. Selama ini, di nomor itu, atlet pelatnas memang lebih baik karena mendapatkan program latihan dari pelatih lebih berpengalaman dan fasilitas latihan lebih mumpuni. Mereka pun punya pengalaman ikut kejuaraan internasional.
Nomor lari gawang putra maupun putri misalnya, ada teknik khusus yang perlu dipelajari dan perkembangan ilmu keteknikannya sangat pesat. Latihannya juga memerlukan peralatan spesifik, seperti gawang dan lintasan yang baik.
Untuk nomor teknik, gap antara atlet pelatnas dan daerah memang masih lebar. Sebab, atlet pelatnas mendapatkan pelatihan lebih baik dibanding atlet daerah. Jadi, jarang sekali memang ada kejutan atlet pelatnas kalah dari atlet daerah di nomor ini.
”Untuk nomor teknik, gap antara atlet pelatnas dan daerah memang masih lebar. Sebab, atlet pelatnas mendapatkan pelatihan lebih baik dibanding atlet daerah. Jadi, jarang sekali memang ada kejutan atlet pelatnas kalah dari atlet daerah di nomor ini. Tapi, kalau nomor lari, seperti 100 meter biasanya sering ada kejutan. Sebab, nomor seperti itu lebih condong ke bakat alam,” ujarnya.
Memori dari pelatnas
Rio Maholtra sependapat dengan itu. Walau tidak lagi bergabung dengan pelatnas dalam dua tahun terakhir, tetapi atlet berusia 28 tahun tersebut punya memori program latihan yang didapat semasa bergabung dengan pelatnas. Lagi pula, dia masih sering berdiskusi soal pelatihan dengan mantan pelatihnya di pelatnas.
Berkat itu, Rio yang bermodal latihan mandiri di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat masih belum tertandingi di nomor spesialisnya. ”Tapi, ini perlombaan yang sangat berat, bahkan paling berat sepanjang karir saya. Sebab, dua tahun ini, saya latihan mandiri. Belum lagi, tidak ada kejuaraan selama pandemi Covid-19 sehingga saya agak kaget pas berlomba lagi. Tadi rasanya mau pingsan sehabis lomba,” katanya.
Anggota Komisi Pembibitan Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) sekaligus Ketua Umum Pengurus Provinsi PASI DKI Jakarta Mustara Musa menerangkan, pandemi Covid-19 cukup berpengaruh negatif untuk perkembangan atlet, terutama daerah. Selama pandemi, tidak ada kejuaraan yang bisa diikuti. Belum lagi, program latihan yang terhambat.
Akibatnya, atlet daerah tidak ada kesempatan mengukur batas kemampuan dengan atlet pelatnas. ”Ini pula yang membuat regenerasi yang terkesan lambat. Tapi, tidak sepenuhnya seperti itu. Buktinya, tadi pas final lompat jauh putri, atlet muda Papua (Vinsensia Awutet Amjaram/23) bisa meraih perunggu (dengan lompatan terbaik 5,72 meter di kesempatan keenam). Itu medali pertama Papua di lompat jauh putri. Jadi, kesempatan muncul bibit baru dari PON Papua masih ada,” tuturnya.
Untuk menciptakan pemerataan pembinaan atlet, Ketua Umum PB PASI Luhut Binsar Pandjaitan bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia akan menjadikan Stadion Atletik Kompleks Olahraga Mimika sebagai pusat pelatihan atletik nasional untuk Indonesia bagian timur. Sementara itu, pusat pelatihan Indonesia bagian barat ada di Senayan, Jakarta dan Pangalengan, Jawa Barat.
”Stadion ini kan sudah standar internasional. Sekarang, tinggal kita penuhi semua kebutuhan lainnya, seperti pelatih, asupan gizi, dan pendidikan agar atlet bisa dibina dengan baik. Kami yakin tempat ini bisa menjadi pusat lahirnya atlet-atlet nasional. Apalagi orang Papua memiliki bakat alam di atletik,” terang Luhut.
Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan, mereka membangun Kompleks Olahraga Mimika itu memang bertujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga di Papua. ”Kami berkomitmen tumbuh dan berkembang dengan masyarakat. Sebab, tidak ada perusahaan yang sukses di tengah masyarakat yang kesusahan,” ujarnya.
Bupati Mimika Eltinus Omaleng terkesan dengan Kompleks Olahraga Mimika yang dianggap seperti di Australia. Akan tetapi, agar bisa menjadi pusat lahirnya bibit atlet baru, pemerintah pusat maupun Freeport harus membangun lebih banyak sekolah. Selain untuk meningkatkan mutu SDM di Mimika, sekolah bisa menjadi tempat menjaring bakat baru.